TEORI EKSISTENSIAL HUMANISTIK
1. Konsep Dasar Tentang Manusia
Pendekatan Eksistensial-humanistik berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Pendekatan Eksisteneial-Humanistik dalam konseling menggunakan sistem tehnik-tehnik yang bertujuan untuk mempengaruhi konseli. Pendekatan konseling eksistensial-humanistik bukan merupakan konseling tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup konseling-konseling yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia. Konsep-konsep utama pendekatan eksistensial yang membentuk landasan bagi praktek konseling, yaitu:
a. Kesadaran Diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri seorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. Kesadaran untuk memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan secara bebas didalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai tanggung jawab. Para ekstensialis menekan manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.
b. Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan ekstensial bisa diakibatkan atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (nonbeing). Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesasaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa ekstensial yang juga merupakan bagian kondisi manusia. Adalah akibat dari kegagalan individu untuk benar-benar menjadi sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
c. Penciptaan Makna
Manusia itu unik dalam arti bahwa ia berusaha untuk menentukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia juga berarti menghadapi kesendirian (manusia lahir sendirian dan mati sendirian pula). Walaupun pada hakikatnya sendirian, manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah mahluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna bisa menimbulkan kondisi-kondisi isolasi dipersonalisasi, alineasi, kerasingan, dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Sampai tarap tertentu, jika tidak mampu mengaktualkan diri, ia bisa menajdi “sakit”.
2. Proses Konseling
Ada tiga tahap proses konseling yaitu
1. Konselor membantu konseli dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka tentang dunia. Konseli diajak untuk mendefinisikan dan menayakan tentang cara mereka memandang dan menjadikan eksistensi mereka bisa diterima. Mereka meneliti nilai mereka, keyakinan, serta asumsi untuk menentukan kesalahannya. Bagi banyak konseli hal ini bukan pekerjaan yang mudah, oleh karena itu awalnya mereka memaparkan problema mereka. Konselor disini mengajarkan mereka bagaimana caranya untuk bercermin pada eksistensi mereka sendiri.
2. Konseli didorong semangatnya untuk lebih dalam lagi meneliti sumber dan otoritas dari sistem nilai mereka. Proses eksplorasi diri ini biasanya membawa konseli ke pemahaman baru dan berapa restrukturisasi dari nilai dan sikap mereka. Konseli mendapat cita rasa yang lebih baik akan jenis kehidupan macam apa yang mereka anggap pantas. Mereka mengembangkan gagasan yang jelas tentang proses pemberian nilai internal mereka.
3. Konseling eksistensial berfokus pada menolong konseli untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka sendiri. Sasaran konseling adalah memungkinkan konseli untuk bisa mencari cara pengaplikasikan nilai hasil penelitian dan internalisasi dengan jalan kongkrit. Biasanya konseli menemukan jalan mereka untuk menggunakan kekuatan itu demi menjalani konsistensi kehidupannya yang memiliki tujuan.
3. Penerapan langkah / Teknik dalam konseling
Teori eksistensial-hunianistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Prosedur-prosedur konseling bisa dipungut dari beberapa teori konseling lainnya. Metode-metode yang berasal dari teori Gestalt dan Analisis Transaksional sering digunakan, dan sejumlah prinsip dan prosedur psikoanalisis bisa diintegrasikan ke dalam teori eksistensial-humanistik. Buku The Search for "Authenticity (1965) dari Bugental adalah sebuah karya lengkap yang mengemukakan konsep-konsep dan prosedur-prosedur psikokonseling eksistensial yang berlandaskan model psikoanalitik. Bugental menunjukkan bahwa konsep inti psikoanalisis tentang resistensi dan transferensi bisa diterapkan pada filsafat dan praktek konseling eksistensial. Ia menggunakan kerangka psikoanalitik untuk menerangkan fase kerja konseling yang berlandaskan konsep-konsep eksistensial seperti kesadaran, emansipasi dan kebebasan, kecemasan eksistensial, dan neurosis eksistensial.
Rollo May (1953,1958,1961), seorang psikoanalisis Amerika yang diakui luas atas pengembangan psikokonseling eksistensial di Amerika, juga telah mengintegrasikan metodologi dan konsep-konsep psikoanalisis ke dalam psikokonseling eksistensial.
Pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang menempati kedudukan sentral dalam konseling adalah: Seberapa besar saya menyadari siapa saya ini? Bisa menjadi apa saya ini? Bagaimana saya bisa memilih menciptakan kembali identitas diri saya yang sekarang? Seberapa besar kesanggupan saya untuk menerima kebebasan memilih jalan hidup saya sendiri? Bagaimana saya mengatasi kecemasan yang ditimbulkan oleh kesadaran atas pilihan-pilihan? Sejauh mana saya hidup dari dalam pusat diri saya sendiri? Apa yang saya lakukan untuk menemukan makna hidup ini? Apa saya menjalani hidup, ataukah saya hanya puas atas keberadaan saya? Apa yang saya lakukan untuk membentuk identitas pribadi yang saya inginkan? Pada pembahasan di bawah ini diungkap dalil-dalil yang mendasari praktek konseling eksistensial-humanistik. Dalil-dalil ini, yang dikembangkan dari suatu survai atas karya-karya para penulis psikologi eksistensial, berasal dari Frankl (1959,1963), May (1953, 1958, 1961), Maslow (1968), Jourard (1971), dan Bugental (1965), merepresentasikan sejumlah tema yang penting yang merinci praktek-praktek konseling.
a. Tema-Tema Dan Dalil-Dalil Utama Eksistensial dan Penerapan-Penerapan Pada Praktek Konseling
Dalil 1 : Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari diri yang menjadikan dirinya mampu melampaui situasi sekarang dan membentuk basis bagi aktivitas-aktivitas berpikir dan memilih yang khas manusia.
Kesadaran diri itu membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Manusia bisa tampil di luar diri dan berefleksi atas keberadaannya. Pada hakikatnya, semakin tinggi kesadaran diri seseorang, maka ia semakin hidup sebagai pribadi atau sebagaimana dinyatakan oleh Kierkegaard, "Semakin tinggi kesadaran, maka semakin utuh diri seseorang." Tanggung jawab berlandaskan kesanggupan untuk sadar. Dengan kesadaran, seseorang bisa menjadi sadar atas tanggung jawabnya untuk memilih. Sebagaimana dinyatakan oleh May (1953), "Manusia adalah makhluk yang bisa menyadari dan, oleh karenanya, bertanggung jawab atas keberadaannya”.
Kesadaran bisa dikonseptualkan dengan cara sebagai berikut: Umpamakan Anda berjalan di lorong yang di kedua sisinya terdapat banyak pintu, Bayangkan bahwa Anda bisa membuka beberapa pintu, baik membuka sedikit ataupun membuka lebar-lebar. Barangkali, jika Anda membuka satu pintu, Anda tidak akan menyukai apa yang Anda temukan di dalamnya menakutkan atau menjijikkan. Di lain pihak, Anda bisa menemukan sebuah ruangan yang dipenuhi oleh keindahan. Anda mungkin berdebat dengan diri sendiri, apakah akan membiarkan pintu itu tertutup atau terbuka.
Apabila seorang konselor dihadapkan pada konseli yang kesadaran dirinya kurang maka konselor harus menunjukkan kepada konseli bahwa harus ada pengorbanan untuk meningkatkan kesadaran diri. Dengan menjadi lebih sadar, konseli akan lebih sulit untuk “ kembali ke rumah lagi “, menjadi orang yang seperti dulu lagi.
Dalil 2 : Kebebasan dan tanggung jawab
Manusia adalah makhluk yang menentukan diri, dalam arti bahwa dia memiliki kebebasan untuk memilih di antara altematif-altematif. Karena manusia pada dasamya bebas, maka dia harus bertanggung jawab atas pengarahan hidup dan penentuan nasibnya sendiri.
Pendekatan eksistensial meletakkan kebebasan, determinasi diri, keinginan, dan putusan pad a pusat ke beradaan manusia. Jika kesadaran dan kebebasan dihapus dari manusia, maka dia tidak lagi hadir sebagai manusia, sebab kesanggupan-k esanggupan itulah yang memberinya kemanusiaan. Pandangan eksistensial adalah bahwa individu, dengan putusan-putusannya, membentuk nasib dan mengukir keberadaannya sendiri. Seseorang menjadi apa yang diputuskannya, dan dia harus bertanggung jawab atas jalan hid.up yang ditempuhnya. Tillich mengingatkan, "Manusia benar-benar menjadi manusia hanya saat mengambil putusan. Sartre mengatakan, "Kita adalah pilihan kita." Nietzsche menjabarkan kebebasan sebagai "kesanggupan untuk menjadi apa yang memang kita alami". Ungkapan Kierkegaard, "memilih diri sendiri", menyiratkan bahwa seseorang bertanggung jawab atas kehidupan dan keberadaannya. Sedangkan Jaspers menyebutkan bahwa "kita adalah makhluk yang memutuskan".
Tugas konselor adalah mendorong konseli untuk belajar menanggung risiko terhadap akibat penggunaan kebebasannya. Yang jangan dilakukan adalah melumpuhkan konseli dan membuatnya bergantung secara neurotik pada konselor. Konselor perlu mengajari konseli bahwa dia bisa mulai membuat pilihan meskipun konseli boleh jadi telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk melarikan diri dari kebebasan memilih.
Dalil 3: Keterpusatan dan kebutuhan akan orang lain
Setiap individu memiliki kebutuhan untuk memelihara keunikan tetapi pada saat yang sama ia memiliki kebutuhan untuk keluar dari dirinya sendiri dan untuk berhubungan dengan orang lain serta dengan alam. Kegagalan dalam berhubungan dengan orang lain dan dengan alam menyebabkan ia kesepian dan mengalamin keterasingan.
Kita masing-masing memiliki kebutuhan yang kuat untuk menemukan suatu diri, yakni menemukan identitas pribadi kita. Akan tetapi, penemuan siapa kita sesungguhnya bukanlah suatu proses yang otomatis; ia membutuhkan keberanian. Secara paradoksal kita juga memiliki kebutuhan yang kuat untuk keluar dari keberadaan kita. Kita membutuhkan hubungan dengan keberadaan-keberadaan yang lain. Kita harus memberikan diri kita kepada orang lain dan terlibat dengan mereka.
Usaha menemukan inti dan belajar bagaimana hidup dari dalam memerlukan keberanian. Kita berjuang untuk menemukan, untuk menciptakan, dan untuk memelihara inti dari ada kita. Salah satu ketakutan terbesar dari para konseli adalah bahwa mereka akan tidak menemukan diri mereka. Mereka hanya menganggap bahwa mereka bukan siapa-siapa.
Para konselor eksistensial bisa memulai dengan meminta kepada para konselinya untuk mengakui perasaannya sendiri. Sekali konseli menunjukan keberanian untuk mengakui ketakutannya, mengungkapkan ketakutan dengan kata-kata dan membaginya, maka ketakutan itu tidak akan begitu menyelubunginya lagi. Untuk mulai bekerja bagi konselor adalah mengajak konseli untuk menerima cara-cara dia hidup di luar dirinya sendiri dan mengeksplorasi cara-cara untuk keluar dari pusatnya sendiri.
Dalil 4 : Pencarian makna
Salah satu karakteristik yang khas pada manusia adalah perjuangannya untuk merasakan arti dan maksud hidup. Manusia pada dasarnya selalu dalam pencarian makna dan identitas pribadi.
Biasanya konflik-konflik yang mendasari sehingga membawa orang-orang ke dalam konseling adalah dilema-dilema yang berkisar pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial: Mengapa saya berada? Apa yang saya inginkan dari hidup? Apa maksud dan makna hidup saya?
Konseling eksistensial bisa menyediakan kerangka konseptual untuk membantu konseli dalam usahanya mencari makna hidup. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan oleh konselor kepada konseli adalah: 'Apakah Anda menyukai arah hidup Anda? Apakah Anda puas atas apa Anda sekarang dan akan menjadi apa Anda nanti? Apakah Anda aktif melakukan sesuatu yang akan mendekatkan Anda pada ideal-diri Anda? Apakah Anda mengetahui apa yang Anda inginkan? Jika Anda bingung mengenai siapa Anda dan apa yang Anda inginkan, apa yang Anda lakukan untuk memperoleh kejelasan?
Salah satu masalah dalam konseling adalah penyisihan nilai-nilai tradisional (dan nilai-nilai yang dialihkan kepada seseorang) tanpa disertai penemuan nilai-nilai lain yang sesuai untuk menggantikannya. Tugas konselor dalam proses konseling adalah membantu konseli dalam menciptakan suatu sistem nilai berlandaskan cara hidup yang konsisten dengan cara ada-nya konseli.
Konselor harus menaruh kepercayaan terhadap kesanggupan konseli dalam menemukan sistem nilai yang bersumber pada dirinya sendiri dan yang memungkinkan hidupnya bermakna. Konseli tidak diragukan lagi akan bingung dan mengalami kecemasan sebagai akibat tidak adanya ni1ai-nilai yang jelas. Kepercayaan konselor terhadap konseli adalah variabel yang penting dalam mengajari konseli agar mempercayai kesanggupannya sendiri dalam menemukan sumber nilai-nilai baru dari dalam dirinya.
Dalil 5 : Kecemasan sebagai syarat hidup
Kecemasan adalah suatu karakteristik dasar manusia. Kecemasan tidak perlu merupakan sesuatu yang patologis, sebab ia bisa menjadi suatu tenaga motivasi yang kuat untuk pertumbuhan. Kecemasan adalah akibat dari kesadaran atas tanggung jawab untuk memilih.
Kebanyakan orang mencari bantuan profesional karena mereka mengalami kecemasan atau depresi. Banyak konseli yang memasuki kantor konselor disertai harapan bahwa konselor akan mencabut penderitaan mereka atau setidaknya akan memberikan formula tertentu untuk mengurangi kecemasan mereka. Konselor yang berorientasi eksistensial, bagaimanapun, bekerja tidak semata-mata untuk menghilangkan gejala-gejala atau mengurangi kecemasan. Sebenamya, konselor eksistensial tidak memandang kecemasan sebagai hal yang tak diharapkan. Ia akan bekerja dengan cara tertentu sehingga untuk sementara konseli bisa mengalami peningkatan taraf kecemasan. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan adalah: Bagaimana konseli mengatasi kecemasan? Apakah kecemasan merupakan fungsi dari pertumbuhan ataukah fungsi kebergantungan pada tingkah laku neurotik? Apakah konseli menunjukkan keberanian untuk membiarkan dirinya menghadapi kecemasan atas hal-hal yang tidak dikenalnya?
Kecemasan adalah bahan bagi konseling yang produktif, baik konseling individual maupun konseling kelompok. Jika konseli tidak mengalami kecemasan, maka motivasinya untuk berubah akan rendah. Kecemasan dapat ditransformasikan ke dalam energi yang dibutuhkan untuk bertahan menghadapi risiko bereksperimen dengan tingkah laku baru.
Dalil 6: Kesadarau atas kematian dan non-ada
Kesadaran atas kematian adalah kondisi manusia yang mendasar, yang memberikan makna kepada hidup. Frankl (1965) sejalan dengan May menyebutkan bahwa kematian memberikan makna kepada keberadaan manusia. Jika kita tidak akan pernah mati, maka kita bisa menunda tindakan untuk selamanya. Akan tetapi, karena kita terbatas, apa yang kita lakukan sekarang memiliki arti khusus. Bagi Frankl, yang menentukan kebermaknaan hidup seseorang bukan lamanya, melainkan bagaimana orang itu hidup.
Dalil 7 Perjuangan untuk aktualisasi diri
Manusia berjuang untuk aktualisasi diri, yakni kecenderungan untuk menjadi apa saja yang mereka mampu. Setiap orang memiliki dorongan bawaan untuk menjadi seorang pribadi, yakni mereka memiliki kecenderungran kearah pengembangan keunikan dan ketunggalan, penemuan identitas pribadi, dan perjuangan demi aktualisasi potensi-potensinya secara penuh. Jika seseorang mampu mengaktualkan potensi-potensinya sebagai pribadi, maka dia akan mengalami kepuasan yang paling dalam yang bisa dicapai oleh manusia, sebab demikianlah alam mengharapkan mereka berbuat. Alam seolah-olah berkata kepada kita, "Kamu harus menjadi apa saja yang kamu bisa." Menjadi sesuatu memerlukan keberanian. Dan apakah kita ingin menjadi sesuatu atau tidak menjadi sesuatu adalah pilihan kita. Maslow merancang suatu studi yang menggunakan subjek-subjek yang terdiri dari orang-orang yang mengaktualkan diri. Beberapa ciri yang ditemukan oleh Maslow (1968, 1970) pada orang-orang yang mengaktualkan diri itu adalah: kesanggupan menoleransi dan bahkan menyambut ketidaktentuan dalam hidup mereka, penerimaan terhadap diri sendiri dan orang lain, kespontanan dan kreatifitas, kebutuhan akan privacy dan kesendirian, otomoni, kesanggupan menjalin hubungan interpersonal yang mendalam dan intens, perhatian yang tulus terhadap orang lain, rasa humor, keterarahan kepada diri sendiri (kebalikan dari kecenderungan untuk hidup berdasarkan pengharapan orang lain), dan tidak adanya dikotomi-dikotomi yang artifisial (seperti kerja-bermain, cinta-benci, lemah-kuat).
4. Fungsi dan Peran Konselor
Tugas utama Konselor adalah berusaha memahami konseli sebagai ada dalam-dunia. Teknik yang digunakan mengikuti alih-alih melalui pemahaman. Karena menekankan pada pengalaman konseli sekarang, para konselor eksistensial menunjukkan keleluasaan dalam menggunakan metode-metode, dan prosedur yang digunakan oleh mereka bervariasi tidak hanya dari konseli yang satu kepada konseli yang lainnya, tetapi juga dari satu ke lain fase konseling yang dijalani oleh konseli yang sama.
Meskipun konseling eksistesial bukan merupakan metode tunggal, di kalangan konselor eksistensial dan humanistik ada kesepakatan menyangkut tugas-tugas dan tanggung jawab konselor. Buhler dan Allen (1972) sepakat bahwa psikokonseling difokuskan pada pendekatan terhadap hubungan manusia alih-alih system teknik. Menurt Buhler dan Allen, para ahli psikologi humanistik memiliki orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut :
1. Mengakui pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.
2. Menyadari dari peran dari tangung jawab konselor.
3. Mengakui sifat timbal balik dari hubungan konseling.
4. Berorientasi pada pertumbuhan.
5. Menekankan keharusan konselor terlibat dengan konseli sebagai suatu pribadi yang menyeluruh.
6. Mengakui bahwa putusan-putusan dan pilihan-pilihan akhir terletak ditangan konseli.
7. Memandang konselor sebagai model, dalam arti bahwa konselor dengan gaya hidup dan pandangan humanistiknya tentang manusia bisa secara implisit menunjukkan kepada konseli potensi bagi tindakan kreatif dan positif.
8. Mengakui kebebasan konseli untuk mengungkapkan pandangan dan untuk mengembangkan tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.
9. Bekerja kearah mengurangi kebergantungan konseli serta meningkatkan kebebasan konseli.
May (1961) memandang tugas konselor di antaranya adalah membantu konseli agar menyadari keberadaannya dalam dunia: “Ini adalah saat ketika konseli melihat dirinya sebagai orang yang terancam, yang hadir di dunia mengancam, dan sebagai subjek yang memiliki dunia”.
Jika konseli mengungkapkan perasan-perasaannya kepada konselor pada pertemuan konseling, maka konselor sebaiknya bertindak sebagai berikut:
1. Memberikan reaksi-reaksi pribadi dalam kaitan dengan apa yang dikatakan oleh konseli.
2. Terlibat dalam sejumlah pernyataan pribadi yang relevan dan pantas tentang pengalaman-pengalaman yang mirip dengan yang dialami oleh konseli.
3. Meminta kepada konseli untuk bisa mengungkapkan ketakutannya terhadap keharuan memilih dalam dunia yang tak pasti.
4. Menantang konseli untuk melihat seluruh cara dia menghindari pembuatan putusan-putusan, dan memberikan penilaian terhadap penghindaran itu.
5. Mendorong konseli untuk memeriksa jalan hidupnya pada periode sejak mulai konseling dengan bertanya.
6. Beri tahu kepada konseli bahwa ia sedang mempelajari apa yang dialaminya sesungguhnya adalah suatu sifat yang khas sebagai manusia. Bahwa dia pada akhirnya sendirian, bahwa dia harus memutuskan untuk dirinya sendiri, bahwa dia akan mengalami kecemasan atas ketidakpastian putusan-putusan yang dia buat, dan bahwa dia akan berjuang untuk menetapkan makna kehidupannya di dunia yang sering tampak tak bermakna.
a. Hubungan antara Konselor dan Konseli
Hubungan konselor sangat penting dalam konseling eksistensial. Penekanan diletakkan pada pertemuan antar manusia dan perjalanan bersama alih-alih pada teknik – teknik yang memepengaruhi konseli. Isi pertemuan konseling adalah pengalaman konseli sekarang, bukan “masalah” konseli. Hubungan dengan orang lain dalam kehadiran yang otentik difokuskan kepada “disini dan sekarang”. Masa lampau atau masa depan hanya penting bila waktunya berhubungan langsung.
Dalam menulis tentang hubungan konseling, Sidney Jourard (1971) menghimbau agar konselor, melalui tingkah lakunya yang otentik dan terbuka, mengajak konseli kepada keontetikan. Jourard meminta agar konselor bisa membangun hubungan Aku-Kamu, dimana pembukaan diri konselor yang spontan menunjang pertumbuhan dan keontetikan konseli. Sebagaimana dinyatakan oleh Jourard, “Manipulasi melahirkan kontramanipulasi. Pembukaan diri melahirkan Pembukaan diri pula”.
Jourard tetap bependapat bahwa jika konselor menyembunyikan diri dalam pertemuan konseling, maka dia terlibat dalam tingkah laku tidak otentik sama dengan yang menimbulkan gejala-gejala pada diri konseli. Menurut jourard, cara untuk membantu kien agar menemukan dirinya yang sejati serta agar tidak menjadi asing dengan dirinya sendiri adalah, konselor secara spontan membukakan pengalaman otentiknya kepada konseli pada saat yang tepat dalam pertemuan konseling. Hal ini bukan berarti bahwa konselor harus menghentikan penggunaan teknik-tenik, diagnosis-diagnosis, dan penilaian-penilaiannya, melainkan berarti bahwa konselor harus sering menyatakan atau menyampaikan kepada konseli bahwa dia tidak ingin mengungkapkan apa yang dipikirkan atau dirasakan.
b. Pengalaman Konseli
Dalam konseling pendekatan ini, konseli mampu mengalami secara subjektif persepsi-persepsi tentang dunianya. Dia harus kreatif dalam proses konseling, sebab dia harus memutuskan ketakutan-ketakutan, perasaan-perasaan berdosa, dan kecemasan-kecemasan apa yang akan dieksplorasinya. Memutuskan untuk menjalani konseling saja sering merupakan tindakan yang menakutkan.
Dengan kata lain, konseli dalam konseling pendekatan ini terlibat dalam pembukaan pintu menuju diri sendiri. Pengalaman sering menakutkan atau menyenangkan, mendepresikan atau gabungan dari semua perasaan tersebut. Dengan membuka pintu yang tertutup, konseli mulai melonggarkan belenggu deterministik yang telah menyebabkan dia terpenjara secara psikologi. Lambat laun konseli menjadi sadar, apa dia tadinya dan siapa dia sekarang serta konseli lebih mampu menetapkan masa depan seperti apa yang diinginkannya.
BAB II
TEORI CLIENT CENTERD
1. Konsep Dasar Tentang Manusia Menurut Teori Client – Centerd
Carl Ransom Rogers mengembangkan konseling client-centered sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Konselor berfugsi terutama sebagai penunjang pertumbuhan pribadi seseorang dengan jalan membantunya dalam menemukan kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalah. Pendekatan client centered ini menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan seseorang untuk mengikuti jalan konseling dan menemukan arahnya sendiri.
Rogers membangun teorinya ini berdasarkan penelitian dan observasi langsung terhadap peristiwa-peristiwa nyata, dimana pada akhirnya ia memandang bahwa manusia pada hakekatnya adalah baik. Beberapa konsepsi Rogers tentang hakekat manusia (human being) adalah sebagai berikut:
a. Manusia tumbuh melalui pengalamannya, baik melalui perasaan, berfikir, kesadaran ataupun penemuan.
b. Manusia adalah makhluk subyektif, secara, esensial manusia hidup dalam pribadinya sendiri dalam dunia subjektif
c. Keakraban hubungan manusia merupakan salah satu cara seseorang paling banyak memenuhi kebutuhannya.
d. Pada umumnya. setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan untuk bebas, bersama-sama dan saling berkomunikasi.
e. Manusia memiliki kecenderungan ke arah aktualisasi, yaitu tendensi yang melekat pada organisme untuk mengembangkan keseluruhan kemampuannya dalam cara memberi pemeliharaan dan mempertinggi aktualisasi diri.
2. Ciri-Ciri Teori Client – Centered
Rogers tidak mengemukakan teori client-centered sebagai suatu pendekatan konseling dan tuntas. la mengharapkan orang lain akan memandang teorinya sebagai sekumpulan prinsip percobaan yang berkaitan dengan perkembangan proses konseling. Rogers menguraikan ciri-ciri yang membedakan pendekatan client-centered dari pendekatan-pendekatan lain. Berikut ini ciri-ciri pendekatan client centered yaitu:
Ø Difokuskan pada tanggungjawab dan kesanggupan seseorang untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara lebih penuh. Sebagai orang yang paling mengetahui diri sendiri, maka orang tersebut yang harus menemukan tingkah laku yang lebih pantas bagi dirinya.
Ø Menekankan dunia fenomenal seseorang konseli. Dengan empati yang cermat dan dengan usaha memahami kerangka acuan internal seseorang, konselor memberikan perhatian terutama pada persepsi-diri konseli dan persepsinya terhadap dunia.
Ø Prinsip-prinsip konseling client centered diterapkan pada individu yang fungsi psikologisnya berada pada taraf yang relative normal maupun pada individu yang derajat penyimpangan psikologisnya lebih besar.
Ø Menurut pendekatan ini juga, psikokonseling hanyalah salah satu contoh dari hubungan pribadi yang konstruktif. Konseli akan melalui hubungannya dengan seseorang yang membantunya melakukan apa yang tidak bisa dilakukannya sendiri. Itu adalah hubungan dengan konselor yang selaras (menyeimbangkan tingkah laku dan ekspresi eksternal dengan perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran internal), bersikap menerima dan empatik yang bertindak sebagai agen perubahan terapeutik bagi konseli.
3. Tujuan Teori Client – Center
Tujuan dasar konseling client-centered adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu konselit untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan terapeutik tersebut, konselor perlu mengusahakan agar konselit bisa memahami hal-hal yang ada di balik topeng sebagai pertahanan terhadap ancaman. Sandiwara yang dimainkan oleh konselit, menghambatnya untuk tampil utuh dihadapan orang lain dan dalam usahanya menipu orang lain, ia menjadi asing terhadap dirinya sendiri. Adapun tujuan-tujuan teori client-centered secara luas yaitu :
a. Keterbukaan pada Pengalaman
Keterbukaan pada pengalamam menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir di luar dirinya. Orang memiliki kesadaran atas diri sendiri pada saat sekarang dan kesanggupan mengalami dirinya dengan cara-cara yang baru.
b. Kepercayaan pada Organisme Sendiri
Salah satu tujuan konseling adalah membantu konseli dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Dengan meningkatnya keterbukaan konseli terhadap pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun akan mulai timbul.
c. Tempat Evaluasi Internal
Tempat evaluasi internal ini berkaitan dengan kepercayaan diri, yang berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalahnya. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
d. Kesediaan untuk menjadi Satu Proses.
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian, yang merupakan lawan dari konsep tentang diri sebagai produk, sangat penting. Meskipun client dapat menjalani konseling untuk mencari sejenis formula untuk membangun keadaan berhasil dan berbahagia (hasil akhir), mereka menjadi sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para konselit dalam konseling berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaan serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru.
4. Fungsi dan Peran Konselor dalam Konseling Client-Centered
Peran konselor client centered berakar pada cara-cara keberadaannya dan sikap-sikapnya, bukan pada penggunaan teknik-teknik yang dirancang untuk menjadikan konseli "berbuat sesuatu". Penelitian tentang konseling client centered tampaknya menunjukan bahwa yang menuntut perubahan kepribadian konseli adalah sikap-sikap konselor alih-alih pengetahuan, teori-teori atau teknik-teknik yang dipergunakannya. Pada dasarnya, konselor menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mengubah. Adapun fungsi konselor adalah membangun suatu iklim terapeutik yang menunjang pertumbuhan konseli.
Jadi, konselor client centered membangun hubungan yang membantu dimana konseli akan mengalami kebebasan yang diperlukan untuk mengeksplorasi area-area hidupnya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Konseli menjadi kurang defensif dan menjadi lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemingkinan yang ada dalam dirinya maupun dalam dunia.
Yang pertama dan terutama, konselor harus bersedia menjadi nyata dalarn hubungan dengan konseli. Konselor menghadapi konseli berlandaskan pengalaman dari saat ke saat dan membantu konseli dengan jalan memasuki dunianya. Melalui perhatian yang tulus, respek, penerimaan. dan pengertian konselor, konseli bisa menghilangkan pertahanan-pertahanan dan persepsi-persepsinya yang kaku serta bergerak menuju taraf fungsi pribadi yang lebih baik.
5. Proses dan Prosedur Konseling Menurut Teori Client – Centered
Pemahaman dari proses dan prosedur konseling ini dapat dilakukan melalui tiga hal, yaitu:
a. Kondisi-kondisi konseling
Rogers percaya bahwa keterampilan-keterampilan teknis dan latihan-latihan khusus tidak menjamin keberhasilan konseling atau therapy, tetapi sikap-sikap tertentu dari konselor merupakan elemen penting dalam perubahan konseli. Sikap tertentu tersebut merupakan Condition Variable atau Facilitative Conditions, termasuk sebagai berikut:
- Dalam relationship therapist hendaknya tampil secara kongruen atau tampil apa adanya (asli).
- Penghargaan tanpa syarat terhadap pengalaman-pengalaman konseli secara positif dan penerimaan secara hangat.
- Melakukan emphatik secara akurat.
Dengan kondisi tersebut memungkinkan konseli mampu menerima konselor sepenuhnya, di samping terjadinya iklim Therapeutik. Client Centered juga sering dideskripsikan sebagai konseling, konselor tampak passive, karena kerja konselor hanya mengulang apa yang diucapkan konseli sebelumnya, bahkan sering dikatakan sebagai teknik wawancara khusus. Hal ini disebabkan karena mereka melihat permukaannya saja. Ketiga kondisi di atas, tidak terpisah satu dengan yang lain masing-masing saling bergantung dan berhubungan, di samping itu, terdapat beberapa konsidi yang memudahkan komunikasi, seperti sikap badan, ekspresi wajah, nada suara, komentar-komentar yang akurat.
b. Proses konseling
Pada dasamya teori ini tidak ada proses therapy yang khusus, namun beberapa hal berikut ini menunjukkan bagaimana proses konseling itu terjadi.
- Awal
Semula dijelaskan proses konseling dan psikokonseling sebagai cara kerja melalui kemajuan yang bertahap, tetapi overlaving, Sp Der (1945), menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan emosi yang negatif kemudian diikuti dengan pertanyaan - pernyataan emosi yang positif, dan keberhasilan konseling adalah dengan mengarahkan penyataan-penyataan tersebut kepada insight, diskusi perencanaan aktivitas.
- Perubahan. Self
Proses konseling berarti pula proses perubahan self konsep dan sikap-sikap kea rah self. Konseling yang berhasil berarti bergeraknya. perasaan-perasaan yang negatif ke arah yang positif.
- Teori Formal
Rogers juga mengemukakan teori formal tentang proses konseling (1953), yaitu:
a) Konseli secara meningkat menjadi lebih bebas dalam menyatakan perasaan perasaannya.
b) Munculnya perbedaan objek dari ekspresi perasaan persepsinya.
c) Perasaan-perasaan yang diekspresikan secara bertahap menampakkan adanya kecenderungan inkongruensi antara pengalaman tertentu dengan self konsepnya.
d) Self konsep secara meningkat menjadi terorganisir, termasuk pengalaman- pengalaman. yang sebelumnya ditolak dalam kesadarannya.
e) Konseli secara meningkat merasakan adanya penghargaan diri secara. positif.
c. Hasil konseling
Pada prinsipnya sulit untuk membedakan antara proses dengan hasil konseling. Ketika kita mempelajari hasil secara langsung, maka sebenarnya kita menguji perbedaan-perbedaan antara dua perangkat observasi yang dibuat pada awal dan akhir dari rangkaian wawancara. Walau demikian Rogers mengatakan hasil konseling ialah konseli menjadi lebih kongruen, lebih terbuka terhadap masalah-masalahnya yang kurang defensif, yang sernua ini nampak dalam dimensi-dimensi pribadi dan perilaku. Berdasarkan hasil riset, beberapa hasil konseling antara lain:
- Peningkatan dalarn penyesuaian psikologis.
- Kurangnya keteganggan pisik dan pemikiran kapasitas yang lebih besar untuk merespon rasa frustasi.
- Menurunnya sikap defensive.
- Tingkat hubungan yang lebih besar antara self picture dengan self ideal.
- Secara, emosional lebih matang.
- Lebih kreatif.
Untuk penerapannya di sekolah, dengan mengacu pada filsafat yang melandasi teori client centered memiliki penerapan langsung pada proses belajar mengajar. Perhatian Rogers pada sifat proses belajar yang dilibatkan di dalam konseling juga telah beralih kepada perhatian terhadap apa yang terjadi dalam pendidikan. Pada dasamya, filsafat pendidikan yang diajukan oleh Rogers sama dengan pandangannya tentang konseling dan konseling, yakni ia yakin bahwa siswa bisa dipercaya untuk menemukan masalah-masalah yang penting, yang berkaitan dengan dirinya. Para siswa bisa menjadi terlibat dalam kegiatan belajar yang bermakna, yang bisa timbul dalam bentuknya yang terbaik. Jika guru menciptakan iklim kebebasan dan kepercayaan. Fungsi guru sama dengan fungsi konselor client centered kesejatian, keterbukaan, ketulusan, penerimaan, pengertian, empati dan kesediaan untuk membiarkan para siswa mengeksplorasi material yang bermakna menciptakan atmosfer di mana kegiatan belajar yang signifikan bisa bejalan. Rogers menganjurkan pembaharuan pendidikan dan menyatakan bahwa jika ada satu saja di antara seratus orang guru mengajar di ruangan kelas yang terpusat pada siswa di mana para siswa diizinkan untuk bebas menekuni persoalan-persoalan yang relevan maka pendidikan akan mengalami revolusi.
Konseling bisa diintegrasikan ke dalam kurikulum yang dibuat terpisah dari kegiatan belajar mengajar, sehingga bisa menempatkan siswa pada suatu tempat yang sentral yang menyingkirkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan diri serta nilai-nilai, pengalaman, perasaan-perasaan, perhatian dan minat para siswa yang sesungguhnya.
6. Kontribusi dan Kelemahan Pendekatan Konseling Client Centered
Pendekatan client centered merupakan corak yang dominan yang digunakan dalam. pendidikan konselor. Salah satu alasannya adalah, konseling client centered memiliki sifat keamanan. Konseling client centered menitik beratkan mendengar aktif, memberikan resfek kepada konseli, memperhitungkan kerangka acuan intemal konseli, dan menjalin kebersamaan dengan konseli yang merupakan kebalikan dari menghadapi konseli dengan penafsiran-penafsiran. Para konselor client centered secara khas merefleksikan isi dan perasaan-perasaan, menjelaskan pesan-pesan, membantu para konseli untuk memeriksa sumber-sumbemya sendiri, dan mendorong konseli untuk menemukan cara-cara pemecahannya sendiri. Jadi, konseling client centered jauh lebih aman dibanding dengan model konseling lain yang menempakan konseling pada posisi direktif. Pendekatan client centered dengan berbagai cara memberikan sumbangan-sumbangan kepada situasi-siuasi konseling individual maupun kelompok. Konselor bertindak sebagai cermin, merefleksikan perasaan konselinya yang lebih mendalam. Jadi, konseli memiliki kemungkinan untuk mencapai fokus yang lebih maju dan makna. yang lebih dalam bagi aspek-aspek dari strukur dirinya yang sebelumnya hanya diketahui sebagian oleh konseli. Teori client centered tidak terbatas pada psikokonseling. Rogers menunjukan bahwa teorinya memiliki implikasi-implikasi bagi pendidikan, bisnis, dan hubungan internasional.
Kelemahan pendekatan client centered terletak pada cara sejumlah pempraktek yang salah menafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari posisi client centered. Tidak semua konselor bisa mempraktekan client centered, sebab banyak konselor yang tidak mempercayai filsafat yang melandasinya. Satu. kekurangan dari pendekaan client centered adalah adanya jalan yang menyebabkan sejumlah pempraktek menjadi terlalu terpusat pada konseli sehingga mereka sendiri merasa kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik. Secara paradoks, konselor dibenarkan berfokus pada konseli sampai batas tertentu. sehingga menghilangkan nilai kekuatannya sendiri sebagai pribadi dan oleh karenanya kepribadiannya kehilangan pengaruh. Konselor perlu menggarisbawahi kebutuhan-kebutuhan dan maksud-maksud konseli, dan pada saat yang sama ia bebas mernbawa kepribadiannya sendiri ke dalam pertemuan konseling.
Jadi, orang bisa memiliki kesan bahwa konseling client centered tidak lebih dari teknik mendengar dan merefleksikan. Konseling client centered berlandaskan sekumpulan sikap yang dibawa oleh konselor ke dalam pertemuan dengan konselinya, dan lebih dari kualitas lain yang manapun, kesejatian konselor menentukan kekuatan hubungan terapeutik. Beberapa kritik lain terhadap client centered:
- Penggunaan informasi untuk membantu konseli, tidak sesuai dengan teori
- Tujuan ditetapkan oleh konseli, tetapi tujuan konseling kadang-kadang dibuat tergantung lokasi konselor dan konseli
- Sulit bagi konselor untuk benar-benar bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal
Namun dernikian dalam sumber lain dikatakan bahwa konseling client centered telah memberikan kontribusi dalam hal:
- Pemusatan pada konseli dan bukan pada konselor dalam konseling
- Idenifikasi dan penekanan hubungan konseling sebagai wahana utama, dalam mengubah kepribadian
- Lebih menekankan pada sikap konselor daripada teknik
- Penanganan emosi, perasaan dan afektif dalam konseling.
BAB III
TEORI GESTALT
BAB IV
TEORI ANALISIS TRANSAKSIONAL
1. Pandangan Sifat Manusia
AT berakar pada suatu filsafah yang antideterministik serta menekankan bahwa manusia sanggup melampaui pengkondisian dan pemrograman awal. Tidak hanya itu, AT juga berpijak pada asumsi-asumsi bahwa orang-orang sanggup memahami putusan-putusan masa lampaunya dan bahwa orang-orang mampu memilih untuk memutuskan ulang.
Pandangan tentang manusia ini memiliki implikasi-implikasi nyata bagi praktek AT. Konselor tidak menerima perkataan-perkatan “Saya coba”, “Saya tidak bisa membantunya”, dan “Jangan menyalahkan saya, sebab saya bodoh”. Dengan premis dasar bahwa bahwa praktek terapeutik AT tidak bisa menerima alasan akal-akalan atau penolakan terhadap kewajiban. Holland (1973) mengajukan komentarnya bahwa “seseorang konselor yang dengan cepat dan kasar menolak untuk menerima penolakan kewajiban seorang calon konseli tidak akan memproleh orang itu sebagai konselinya, kecuali jika konseli itu sungguh-sungguh berjanji untuk berubah.
Oleh karena itu, jika para konseli tidak diperbolehkan tetap pada gaya menghindari kewajibanya dalam hubungan terapeutik, maka terdapat kesempatan yang baik bagi mereka untuk menemukan kekuatan-kekuatan internal dan kesanggupanya untuk menggunakan kebebasan dalam merancang ulang kehidupannya sendiri dengan cara-cara yang baru dan efektif
2. Perwakilan-Perwakilan Ego
AT adalah suatu sistem konseling yang berlandaskan teori kepribadian yang mengunakan tiga pola tingkah laku atau perwakilan ego yang terpisah yaitu Orang Tua, Orang Dewasa, dan Anak.
Ego Orang Tua adalah bagian dari kepribadian yang merupakan introyeksi dari orang tua atau dari substitute orang tua. Jika ego orang tua itu dialami kembali oleh kita, maka apa yang dibayangkan oleh kita adalah perasaan-perasaan orang tua kita dalam suatu situasi. Ego Orang Tua berisi perintah-perintah “harus” dan “semestinya”.
Ego Orang Dewasa adalah pengolah data dan informasi. Ia adalah bagian objektif dari kepribadian, ia juga tidak emosional dan tidak menghakimi tetapi menangani fakta-fakta dan kenyataan eksternal.
Ego Anak berisi perasaan-perasaan, dorongan-dorongan, dan tindakan-tindakan spontan. Anak yang ada dalam diri kita bisa berupa “Anak Alamiah”, “Profesor Cilik”, dan “Anak yang Disesuaikan”. Ia adalah bagian dari ego anak yang intiutif, bagian yang bermain diatas firasat-firasat. Anak disesuaikan terhadap apa yang dihasilkan tergantung dari pengalaman-pengalaman teraumatik, tuntutan, latihan dan ketetapan-ketetapan tentang bagaimana memproleh belaian.
3. Skenario-Skenario Kehidupan dan Posisi-Posisi Psikologi Dasar
Skenario-skenario kehidupan adalah ajaran-ajaran orang tua yang kita pelajari dan putusan-putusan awal yang dibuat oleh kita sebagai anak,selanjutnya dibawa oleh kita sebagai orang dewasa.
Perintah-perintah orang tua adalah bagian dari skenario kehidupan kita yang mencangkup “harus”, “semestinya”, “lakukan”, “jangan lakukan”, dan pengharapan-pengharapan orang tua. Berkaitan dengan perintah-perintah orang tua tersebut ada 4 konsep dalam AT tentang empat posisi dasar dalam hidup: (1) “Saya Ok” – “Kamu Ok”, (2) “Saya OK” – “Kamu Tidak OK”, (3) “Saya Tidak Ok” – “ Kamu OK”, dan (4) “Saya Tidak OK” – “Kamu OK”. Masing-masing posisi itu berlandaskan putusan-putusan yang dibuat orang sebagai hasil dari pengalaman dini dimasa kanak-kanak. Posisi sehat adalah posisi dengan perasaan sebagai pemenang atau posisi Saya OK – Kamu OK. Dalam posisi tersebut dua orang merasa seperti pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung yang terbuka. Saya OK – Kamu Tidak OK adalah posisi orang-orang yang memproyeksikan massalah-masalahnya kepada orang lain dan mempermasalahkan orang lain. Ia adalah posisi yang arogan yang menjauhkan seseorang dari orang lain dan mempertahankan seseorang dalam penyingkiran diri. Saya Tidak OK – Kamu OK adalah posisi orang yang mengalami depresi yang merasa tak kuasa dibanding dengan orang lain, dan yang cenderung menarik diri atau lebih suka memenuhi keinginan orang lain ketimbang keinginan sendiri. Saya Tidak OK – Kamu Tidak OK adalah posisi orang-orang yang menyingkirkan semua harapan, yang kehilangan minat hidup, dan melihat hidup sebagai tidak mengandung harapan.
4. Kebutuhan Manusia Akan Belaian
Semua orang butuh belaian, baik secara fisik maupun emosional. Tidak hanya manusia, hewan juga membutuhkan belaian, jika kebutuhan akan belaian itu tidak terpenuhi, maka menyebabkan seseorang tidak berkembang secara sehat, baik emosional maupun fisikal. Oleh karena itu AT memberikan perhatian pada bagaimana orang-orang menyusun waktunya dalam usaha memperoleh belaian.
Belaian yang positif adalah esensial bagi perkembangan pribadi yang sehat secara psikologis dengan perasaan OK. Jika belaian yang kita terima itu otentik dan bersumber pada posisi Saya OK – Kamu Ok, kita akan terpelihara dengan baik. Belaian-belaian yang positif, yang bisa berbentuk ungkapan-ungkapan afeksi atau penghargaan, bisa disalurkan melalui kata-kata, elusan, pandangan atau mimik muka.
Belaian yang negatif oleh orang tua mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan anak. Belaian negatif berbentuk pesan-pesan (verbal dan nonverbal) yang merampas kehormatan dan meyebabkan seseorang merasa dikesampingkan dan tak berarti, ini yang mengirimkan pesan “Kamu Tidak OK”, menyangkut pengecilan, penghinaan,pencemoohan, dan sebagainya. Menurut Berne (1961. 1964) dan Harris (1967), ada enam transaksi yang bisa muncul di antara orang-orang, yakni penarikan diri, upacara-upacara, aktivitas-aktivitas, hiburan-hiburan, permainan-permaian dan keakraban. Teori AT menekankan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk mengadakan hubungan dalam bentuk yang terbaik melalui keakraban. Harris (1967) “ hubungan yang akrab berlandaskan penerimaan posisi Saya OK – Kamu OK di kedua belah pihak.
5. Permainan-Permaianan yang Kita Mainkan
AT mengajari orang bagian mana dari perwakilan ego yang dimiliki yang sebaiknya digunakan untuk membuat putusan-putusan penting bagi kehidupannya. Dengan menggunakan prinsip AT orang bisa sadar akan jenis belaian yang diperolehnya dan mereka bisa merubah respon-respon belain dari negatif ke positif. Salah satu sasaran AT adalah membantu orang-orang agar memahami sifat transaksi-transaksi mereka dengan orang lain sehingga mereka bisa merespon orang lain secara langsung menyeluruh dan akrab. AT memandang permainan sebagai penukaran belaian yang mengakibatakan berlarut-larutnya perasaan-perasaan tidak enak. Permaian-permaian yang umum meliputi “ Saya yang malang”, “ Pahlawan”, “Ya. tapi”, “ Jika bukan untuk kamu”, “ lihat apa yang kamu lakukan sehingga aku berbuat”, “ Terganggu”, dan “ Si Tolol”. Masalah yang timbul oleh permaian itu ialah motif yang tersembunyi tetap terpendam dan para pemain memperoleh perasaan tidak OK.
Segitiga Drama Karpman, bisa digunakan untuk membantu orang -orang memahami permainan-permaian.Pada segitiga terdapat seorang “Penuntut”, seorang “Penyelamat” dan seorang “Korban”. Berikut gambar Segitiga Drama Karpman :
Penuntut Penyelamat
Korban
6. Tujuan-Tujuan Konseling
Tujuan dasar Analisis Transaksional adalah membantu konseli dalam membuat putusan-putusan baru yang menyangkut tingkah lakunya sekarang dan arah hudupnya. Sasaran adalah mendorong konseli menyadari bahwa kebebasan dirinya dalam memilih telah dibatasi oleh putusan-putusan dini mengenai posisi hidupnya dan oleh pilihan terhadap cara-cara hidup.
Harris (1967) menyatakan bahwa “Tujuan pemberian treatment adalah menyembuhkan gejala yang timbul, dan metode treatment adalah membebaskan Ego Orang Dewasa sehingga mengalami kebebasan memilih dan pencitaan pilihan-pilihan baru diatas dan diseberang pengaruh-pengaruh masa lampau yang membatasi.
Berne (1964) menyatakan bahwa tujuan utama AT adalah pencapain otonomi yang diwujudkan oleh penemuan kembali tiga karakteristik yaitu kesadaran, spontanitas, dan keakraban.
Sama dengan Berne, James dan Jongeward (1971) melihat pencapain otonomi sebagai tujuan utama AT, yang bagi mereka berarti mengatur diri, menentukan nasib sendiri, memikul tanggung jawab atas tindakan-tindakan dan perasaan-perasaan tersendiri. Mereka menyimpulkan tujuan menjadi pribadi yang sehat sebagai berikut “Jalan manusia yang etis yang secara otonom sadar, spontan, dan mampu menjadi akrab tidak selalu mudah.
7. Fungsi dan Peran Konselor
Harris (1967) melihat peran konselor sebagai “seorang guru, pelatih, dan narasumber dengan penekanan kuat pada keterlibatan” (h.239). Konselor membantu konseli dalam menemukan kondisi-kondisi masa lampau yang merugikan yang membuat konseli membuat putusan-putusan dini tertentu. Memungut rencana-rencana hidup, dam mengembangkan strategi-staregi yang telah digunakan dalam menghadapi orang lain yang sekarang barang kali ingin dipertimbangkannya.
Claude Steiner _ menekankan pentingnya hubungan yang setaraf antara konselor dan konseli dan menunjukkan kepada kontrak konseling sebagai bukti bahwa konselor dan konseli adalah pasangan dalam proses-proses konseling. Tugas konselor adalah mengunakan pengetahuannya untuk menunjang konseli dalam hubungan suatu kontrak spesifik yang jelas, yang diprakarsai oleh konseli.
8. Pengalamam Konseli Dalam Konseling
Salah satu persyaratan dasar untuk menjadi konseli AT adalah memiliki kesanggupan dan kesediaan untuk memahami dan menerima suatu kontrak konseling. Kontrak treatment berisi suatu pernyataan yang spesifik dan konkret tentang sasaran-sasaran yang hendak dicapai oleh konseli dan kriteria untuk menentukan bagaimana dan kapan sasaran itu dicapai secara efektif. Ini berarti bahwa konselor tidak akan mencari keterangan dari riwayat hidup konseli secara tidak sah. Konseli tahu untuk apa dia datang kekonselor dan, ketika kontrak habis, hubungannya diakhiri kecuali membuat kontak baru.
9. Hubungan Antara Konselor dan Konseli
Pendekatan kontrak dengan jelas menyiratkan suatu tanggung jawab bersama. Dengan berbagi tanggung jawab dengan konselor, konseli menjadi rekan dalam treatment-nya. Konselor tidak melakukan sesuatu kepada konseli sementara konseli itu sendiri berlaku pasif ; tapi baik konseli maupun konselor aktif dalam hubungan itu. Keduanya memiliki pemahaman yang sama tentang situasi yang dihadapi. Ini berarti konseli tidak dipaksa untuk menyingkapkan hal-hal yang dipilihnya untuk tidak disingkapkan. Harris (1967) “Penerapan konseling Analisis Transaksional melalui pembentukan hubungan kontraktual memiliki pengaruh mengangkat pasien kepada status sebagai rekan konselor. Istilah ‘pasien’ dan ‘konselor’ selanjutnya berfungsi untuk menyatakan peran-peran yang berbeda dalam hubungan terapeutik alih-alih menunjukkan perbedaan-perbedaan dalm nilai, status, atau bentuk-bentuk kehomatan lainnya” (h. 384)
10. Teknik-Teknik dan Prosedur-Prosedur Terapeutik
Mereka menjadi paham atas struktur dan fungsi kepribadian mereka sendiri serta belajar bagaimana bertransaksi dengan orang lain. Harris ( 1967 ) sepakat bahwa “ treatment atas individu – individu dalam kelompok adalah metode memilih oleh analisis – analisis transaksional” ( h. 234 ) ia memandang fase permulaan kelompok AT sebagai suatu proses mengajar dan belajar serta meletakkan kepentingannya pada peran didaktik konselor kelompok sebagaimana dinyatakannya. “ karena karakter yang essensial dari kelompok adalah unsur mengajar, belajar dan menganalisisnya. Maka keefektifan AT bertumpu pada semangat dan kemampuannya sebagai pengajar dan kesiagaannya dalam mengikuti setiap komunikasi atau isyarat dalam kelompok baik verbal maupun non verbal”.
11. Prosedur-Prosedur Terapeutik
Dalam praktek AT, teknik-teknik dari berbagai sumber, terutama dari konseling Gestalt digunakan. Sebenarnyya ada prosedur-prosedur yang menyaksikan yang dihasilkan dari perkawinan antara Analisis Transaksional dengan konseling Gestal. James dan Jongeward (1971) menggabungkan konsep-konsep dan proses-proses AT dengan eksperiment-eksperiment Gestalt, dan dengan pendekatan gabungan itu, ia mendemonstrasikan peluang yang lebih besar untuk mencapi kesadaran diri dan otonomi.
Sebagian besar metode dan proses terapeutik AT ini bisa ditetapkan pada konseling individual maupun pada konseling kelompok. Bagaimana, seperti yang disinggung di atas,meskipun bisa dijalankan secara efektif diatas landasan pribadi-ke-pribadi, kelompok,adalah wahana yang penting bagi perubahan pendidikan dan terapeutik dalam praktek AT.
12. Analisis struktural
Analisis struktural adalah alat yang bisa membantu konseli agar menjadi sadar atas isi dan fungsi ego Orang Tua, ego Orang Dewasa, dan ego Anaknya. Analisis struktural membantu kllien dalam mengubah pola-pola yang dirasakan menghambat. Dua tipe masalah yangberkaitan dengan struktur kepribadian bisa diselidiki dengan analisis struktural: pencemaran dan penyisihan. Pencemaran terjadi apabila isi perwakilan ego yang satu bercampur dengan isi perwakilan ego yang lainnya.
Orang Tua mencemari Anak mencemari Orang Tua dan Anak
Orang Dewasa Orang Dewasa Mencemari Orang
Dewasa
Gambar Pencemaran
Ego Orang Tua yang konstan menyisihkan ego Orang Dewasa, dan ego anak bisa ditemukan pada orang yang begitu terikat pada tugas dan berorientasi pada pekerjaan, tetapi tugas dan pekerjaan itu tidak bisa dilaksanakannya. Orang semacam ini bisa bersifat menghalimi, moralitas, dan menuntut terhadap oranglain. Dia sering bertindak dengan cara yang mendoninasi dan otoriter. Ego anak yang knstan menyisihkan ego Orang Dewasa dan ego Orang Tua dan, pada ujungnya merupakan sosiopat tanpa nurani. Orang yang berorientasi terutama dari ego Anak yang konstan ini terus menerus bersifat kekanak-kanakan orang yang menolak untuk tumbuhan. Dia tidak bisa berpikir dan memutuskan sendiri, dan selalu berusaha mempertahankan keberuntungannya untuk menghindari tanggung jawab atas tingkah lakunya sendiri, serta berusaha menemukan orang lain yang bisa memeliharanya. Ego Orang Dewasa yang konstan yang menyisihkan ego Orang Tua dan ego Anak ditemukan pada orang yang objektif, yakni yang terus-menerus terlibat dan berurusan dengann fakta-fakta.
13. Metode-Metode Didaktik
Karena AT menekankan domain kognitif, proseedur-prosedur belajar mengajar menjadi prosedur-prosedur dasar bagi AT. Para anggota kelompok-kelompok AT diharapkan sepenuhnya mengenal analisis structural dengan menguasai landasan-landasan perwakilan-perwakilan ego. Yang juga dianjurkan kepada para kelompok AT adalah berpartisipasi dalam bengkel-bengkel kerja khusus, konfrensi-konfrensi, dan pendidikan-pendidikan yang berkaitan dengan AT.
14. Analisis Transaksional
Analisis transaksional pada dasarnya adalah suatu penjabaran atas apa yang dilakukan dan dikatakan oleh orang-orang terhadap satu sama lain. Apapun yang terjadi diantara orang-orang melibatkan satu transaksi diantara perwakilan ego mereka. Ketika pesan-pesan disampaikan, diharapkan ada respon. Ada tiga tipe transaksi: komplementer, menyilang, dan terselubung. Transaksi komplementer terjadi suatu pesan yang disampaikan oleh suatu perwakilan ego seseorang memperoleh respons yang diperkirakan dari perwakilanego seseorang yang lainnya. Transaksi menyilang terjadi apabila respons yang tidak diharapkan diberikan kepada suatu pesan yang disampaikan oleh seseorang. Transaksi terselubung yang merupakan suatu transaksi yang kompleks, terjadi apabila lebih dari satu perwakilan ego terlibat serta seseorang menyampaikan pesan terselubung kepada seseorang yang lain.
X: “aku ingin bermain luncur di atas salju bersamamu.”
Y: “Hay, itu kedengarannya menarik! Mari kita pergi!”
X Y
X: “aku ingin bermain luncur di atas salju bersamamu.”
Y: “Ah, sudahlah dan bertindaklah sesuai dengan usiamu. Aku tidak punya waktu yang dibuang percuma untuk ketololan seperti itu!”
X Y
Gambar Transaksi menyilang
“Suami kepada istri : “Maukah kamu pergi
keluar dan bermain diatas salju, atau kita
kita harus menyelesaikan pekerjaan
dirumah!”
Suami menyampaikan suatu pesan terselubung yang bisa didenger oleh istri sebagai (a) Mari kita pergi keluar dan bermain di atas salju(Anak-Anak), atau (b) Bertanggung jawab Dan selesaikan pekerjaan kita (Orang Tua-Orang Tua)
15. Kursi Kosong
“Kursi kosong” adalah suatu prosedur yang sesuai dengan analisis struktural. Konseli diminta untuk membayangkan bahwa seseorang tengah duduk disebuah kursi dihadapannya dan mengajaknya berdialog. Prosedur ini memberikan kesempatan kepada konseli untuk menyatakan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan sikap-sikapnya selama dia menjalankan peran-peran perwakilan-perwakilan egonya. Teknik kursi kosong bisa digunakan oleh orang-orang yang mengalami konflik-konflik internal yang hebat guna memproleh upaya pemecahan.
McNeel (1976) menguraikan teknik dua kursi sebagai alat yang efektif untuk membantu konseli dalam memecahkan konflik dimasa lampau dengan orang tua atau orang lain di lingkungan dia dibesarkan. McNeel menyajikan pedoman-pedoman untuk mengamati masalah-masalah dalam teknik dua-kursi dan menganjurkan penggunaan “peninggi-peninggi” untuk memperjelas masalah-masalah yang tersangkut.
16. Permainan Peran
Prosedur-prosedur AT juga bisa digabungkan dengan teknik-teknik psikodrama dan permainan peran. Dalam konseling kelompok, situasi-situasi permainan peran bisa melihatkan para anggota lain. Seorang anggota kelompok memainkan peranan sebagai perwakilan ego yang menjadi sumber masalah bagi seorang anggota lainnya, dan ia berbicara kepada anggota tersebut. Para anggota yang lain pun bisa bisa “menjalankan permainan peran serupa dan boleh mencobanya di luar pertemuan konseling. Bentuk permainan yang lainnya adalah permainan menonjolkan gaya-gaya yang khas dari ego Orang Tua yang Konstan, ego Orang Dewasa yang Konstan, dan ego Anak yang konstan, atau permainan-permainan tertentu agar memungkinkan konseli memproleh umpan balik tentang tingkah laku sekarang dalam kelompok.
17. Pencontohan Keluarga
Pencontohan keluarga, suatu pendekatan lain untuk bekerja dengan struktural, terutama berguna bagi penanganan Orang Tua yang Konstan, Orang Dewasa yang Konstan, atau Anak yang Konstan. Konseli diminta untuk membayangkan suatu adegan yang melibatkan sebanyak mungkin orang yang berpengaruh dimasa lampau, termasuk dirinya sendiri. Konseli menjadi sutradara, produser, dan aktor. Dia menetapkan situasi dan menggunakan para anggota kelompok sebagai pemeran-pemeran para anggota keluarga serta menetapkan mereka pada situasi yang dibayangkan. Diskusi, tindakan, dan evaluasi selanjutnya bisa mempertinggi kesadaran tentang situasi yang spesifik dan makna-makna pribadi yang masih berlaku pada konseli.
18. Analisis Upacara, Hiburan, dan Permainan
Analisis transaksi-transaksi mencakup pengenalan terhadap upacara-upacara (ritual-ritual), hiburan-hiburan, dan permainan-permainan yang digunakan dalam menyusun waktunya. Penyusunan waktu adalah bahan yang penting bagi diskusi dan pemeriksaan karena ia merefleksikan putusan-putusan tentang bagaimana menjalankan transaksi dengan orang lain dan memperoleh belaian. Orang yang menyusun waktunya terutama dengan upacara-upacara dan hiburan-hiburan boleh jadi mengalami kekurangan belaian dan karenanya dia kekurangan keakraban dalam transaksinya dengan orang lain. Karena transaksi-transaksi ritual dan hiburan memiliki nilai belaian yang rendah, maka transaksi sosial yang dilakukan oleh orang itu bisa mengakibatkan keluhan-keluhan seperti kehampaan, kejenuhan, kekurangan gairah, merasa tak dicintai, dan rasa tak bermakna.
19. Analisis Permainan dan Ketegangan
Analisis permainan-permainan dan ketegangan-keteganangan bagi pemahaman sifat transaksi-transaksi bagi orang lain. Berne, menjabarkan permainan sebagai rangkaian transaksi terselubung komplementer yang terus berlangsung menuju hasil yang didenifisikan dengan baik dan dapat diprakirakan. Belajar untuk memahami “penipuan” oleh seseorang dan bagaiman kaitan penipuan itu dengan permainan-permainan, putusan-putusan, dan skenario-skenario dalam konseling AT.
Penipuan terdiri atas kumpulan berbagai perasaan untuk digunakan sebagai pembenar bagi skenario kehidupan. Orang bisa mengembangkan “penipuan marah”, “penipuan sakit hati”, “penipuan rasa berdosa”, atau “penipuan depresi”. Penipuan adalah suatu perasaan tidak enak yang telah lama dikenal, sama halnya dengan perasaan-perasaan menyesal, berdosa, takut, terluka, dan tidak memadai.
Penipuan melibatkan “kumpulan cirri khas” yang nantinya ditukarkan dengan hadiah psikologis. Orang mengumpulkan perasaan-perasaan kuno (pengumpulan ciri khas) dengan memanipulasi orang lain untuk membuat dirinya merasa ditolak, marah, tertekan, diabaikan, berdosa, dan sebagainya. Orang itu mengajak orang lain untuk memainkan peran tertentu.
Apabila seseorang memanipulasi orang lain untuk mengalami kembali dan mengumpulkan perasaan-perasaan lamanya, dia mengumpulkan perasaan-perasaan tidak enak, dan penipuannya pun terdiri atas kumpulan seperti itu. penipuan sama pentingnya dengan permainan-permainan dalam memanipulasi oranglain karena penipuan itu merupakan metode utama bagi seseorang untuk menyembunyikan dirinya dari dunia nyata. Dibutuhkan seorang konselor yang ahli untuk membedakan kemarahan, kesedihan, dan ketakutan yang digunakan sebagai penipuan, dengan ungkapan-ungkapan emosi yang jujur.
20. Analisis Skenario
Skenario kehidupan atau rencana seumur hidup yang berlandaskan serangkaian putusan dan adaptasi sangat mirip dengan pementasan sandiwara. Orang mengalami peristiwa-peristiwa hidup tertentu, menerima dan mempelajari peran-peran tertentu, mengulang-ulang dan menampilkan peran-peran itu sesuai skenario. Ada casting watak, adegan-adegan, dialog-dialog, dan aksi-aksi yang menuju kepada akhir cerita. Skenario kehidupan psikologis, menggariskan kemana seseorang akan menuju dalam hidupnya, dan apa yang akan dilakukannya setibanya ditempat tujuan.
Pembuatan skenario mula-mula terjadi secara non verbal pada masa kanak-kanak melalui pesan-pesan dari orangtua. Selanjutnya, pembentukan skenario berjalan melalui cara-cara langsung maupun tidak langsung misalnya, dalam sebuah keluarga seorang anak boleh jadi menangkap pesan-pesan dari orangtua. Karena skenario kehidupan seseorang membentuk inti identitas dan nasib pribadinya, maka pengalaman-penglaman bisa mengarahkan seseorang itu kepada kesimpulan.
Analisis skenario adalah bagian dari proses terapeutik yang memungkinkan pola hidup yang diikuti oleh individu bisa dikenali ia bisa menunjukkan kepada individu proses yang dijalaninya dalam memperolah skenario dan cara-caranya membenarkan tindakan-tindakan yang tertera pada skenario. Analisis skenario membuka alternatif-alternatif baru yang menjadikan orang bisa memilih sehingga ia tidak lagi merasa dipaksa memainkan permainan-permainan mengumpulkan perasaan-perasaan untuk membenarkan tindakan yang melaksanakan menurut plot skenario. Holland menyatakan bahwa otonomi dan keakraban bisa menggantikan skenario dan permainan-permainan melalui analisis skenario dan permainan : “Satu-satunya alternatif yang menarik bagi kehidupan memainkan permainan dan skenario kehidupan yang mendorong penipuan adalah hidup dalam pola kehidupan otonom yang dipilih sendiri, yang bisa diubah menjadi pola yang lebih menarik dan sewaktu-waktu, memberikan ganjaran mencakup kemungkinan menjalin keakrababan sejati dengan orang lain. itu adalah alternatif yang oleh analisis skenario dan permainan dimungkinkan, sebab analisis itu menyajikan kemungkinan kepada pasien untuk membongkar pola hidup yang dikenalnya tetapi tidak memuaskan, guna menempatkan pola yang lebih baru dan lebih menarik ”(H.398).
Melalui penggabungan AT, konseling gestal, dan modifikasi tingkah laku. Goulding dan Goulding menemukan bahwa para konseli bisa berubah tanpa memerlukan analisis bertahun-tahun. Mereka menekankan konsep putusan-putusan ulang dengan menantang para konseli untuk menyadari anggapan bahwa skenario-skenario itu ditanamkam kedalam kepala mereka adalah suatu mitos. Goulding dan goulding menunjukkan apabila para konseli mempersepsi diri mereka adalah pembuat putusan putusan tertentu, maka mereka juga akan menggunakan kekuatan mereka sendiri untuk mengubah putusan-putusan dini. Dengan perkataan lain, para konseli memutuskan untuk menyingkirkan diri, tidak menaruh kepercayaan, atau kekanak-kanakan, dan para konseli itu pula yang mengubah semua putusannya itu melalui putusan-putusan ulang. Pengambilan putusan-putusan ulang didukung oleh penggarapan disini dan sekarang dan dengan menghindari pembicaraan tentang masa lampau.
BAB V
TEORI BEHAVIORAL
1. Konsep Dasar Tentang Manusia Menurut Teori Behaviorisme
Konsep Behavioral adalah perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkresi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya.
Pendekatan behavioral modern didasarkan pada pandangan ilmiah tentang tingkah laku. Manusia yang menekankan pentingnya pendekatan sistematis dan struktur pada konseling. Namun pendekatan ini tidak mengesampingkan pentingnya hubungan konseli untuk membuat pilihan-pilihan. Dari dasar pendekatan tersebut diatas, dapat dikemukakan konsep tentang hakekat manusia sebagai berikut :
1. Tingkah laku manusia diperoleh dari belajar, dan proses terbentuknya kepribadian adalah melalui proses kematangan dari belajar.
2. Kepribadian manusia berkembang bersama-sama dengan interaksinya dengan lingkungannya.
3. Setiap manusia lahir dengan membawa kebutuhan bawaa, tetapi sebagian besar kebutuhan dipelajari dari hasil interaksi dengan lingkungannya.
4. Manusia tidak dilahirkan dalam keadaan baik atau jahat, tetapi dalam keadaan netral, bagaimana kepribadian seseorang dikembangkan, tergantung pada interaksinya dengan lingkungan.
Dari konsep tentang manusia menurut teori behavioral terdapat ciri-ciri unik konseling tingkah laku, yaitu:
1. Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan spesifik.
2. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment.
3. Perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah.
4. Penaksiran objektif atas hasil-hasil konseling.
Konseling tingkah laku tidak berlandaskan sekumpulan konsep yang sistematik, juga tidak berakar pada suatu teori yang dikembangkan dengan baik. Sekalipun memiliki banyak teknik, namun teori tingkah laku hanya memiliki sedikit konsep. Urusan terapeutik utama adalah mengisolasi tingkah laku masalah, dan kemudian menciptakan cara-cara untuk mengubahnya.
Dua aliran utama membentuk esensi metode-metode dan teknik-teknik pendekatan-pendekatan konseling yang berlandaskan teori belajar yaitu: pengondisian klasik dan pengondisian Operan. Pengondisian klasik atau pengondisian responden, berasal dari karya Pavlov,sebagi contoh yaitu tentang anjing. Pertama kali lampu dihidupkan anjing dikasi makan tetapi air liurnya tidak keluar, begitu seterusnya sampai akhirnya baru dihidupkan lampu air liur anjing itu keluar dengan sendirinya tetapi pemilik anjing tidak memberikan makanan,hal ini bertujuan untuk kebiasaan. pengondisian Operan, satu aliran utama lainnya dari pendekatan konseling yang berlandaskan Teori Belajar, melibatkan pemberian ganjaran kepada individu atas pemunculan tingkahlakunya (yang diharapkan) pada saat tingkah laku itu muncul. Pengondisian ini juga dikenal dengan sebutan instrumental karena memperlihatkan bahwa tingkah laku instrumental bisa dimunculkan oleh organisme yang aktif sebelum perkuatan diberikan untuk tingkah laku tersebut. Contoh- contoh prosedur yang spesifik yang berasal dari pengondisian operan adalah perkuatan positif, penghapusan, hukuman, pencontohan dan penggunaan token economy.
Pada dasarnya konseling tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan. Karena tingkah laku yang dituju dispesifikasi dengan jelas, tujuan-tujuan treatment dirinci, dan metode terapeutik diterangkan, maka hasil-hasil konseling menjadi bisa dievaluasi. Karena konseling tingkah laku menekankan evaluasi atas keefektifan eknik-teknik yang digunakan, maka evolusi dan perbaikan yang berkesinambungan atas prosedur-prosedur treatment menandai proses terapeutik.
2. Proses Konseling Behaviorisme
Dalam proses konseling behavioral terdapat tujuan umum konseling tingkah laku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotic learned, maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh.
Hampir semua konselor tingkah laku akan menolak anggapan yang menyebutkan bahwa pendekatan mereka hanya menangani gejala-gejala, sebab mereka melihat konselor sebagai pemikul tugas menghapus tingkah laku yang maladaptif dan membantu konseli untuk menggantikannya dengan tingkah laku yang lebih adjustive (dapat disesuaikan). Tujuan-tujuan yang luas dan umum tidak dapat diterima oleh para konselor tingkah laku. Contohnya, seorang konseli mendatangi konseling dengan tujuan mengaktualkan diri. Tujuan umum semacam itu perlu diterjemahkan kedalam perubahan tingkah laku yang spesifik yang diinginkan konseli serta dianalisis kedalam tindakan-tindakan spesifik yang diharapkan oleh konseli sehingga baik konselor maupun konseli mampu manaksir secara lebih kongkret kemana dan bagaimana mereka bergerak. Misalnya tujuan mengaktualkan diri bisa dipecah kedalam beberapa subtujuan yang lebih kongkret sebagai berikut:
1) Membantu konseli untuk menjadi lebih asertif dan mengekspresikan pemikiran-pemikiran dan hasrat-hasratnya dalam situasi-situasi yang membangkitkan tingkah laku asertif.
2) Membantu konseli dalam menghapus ketakutan-ketakutan yang tidak realistis yang menghambat dirinya dari keterlibatan dalam peristiwa-peristiwa sosial.
3) Konflik batin yang menghambat konseli dari pembuatan putusan-putusa yang penting bagi kehidupannya.
Krumboltz dan Thorensen telah mengembangkan tiga kriteria bagi perumusan tujuan yang bisa diterima dalam konseling tingkah laku yaitu,
1) Tujuan yang dirumuskan haruslah tujuan yang diinginkan oleh konseli.
2) Konselor harus bersedia membantu konseli dalam mencapai tujuan.
3) Harus terdapat kemungkinan untuk menaksir sejauh mana klian bisa mencapai tujuannya.
Tugas konselor adalah mendengarkan kesulitan konseli secara aktif dan empatik. Konseling memantulkan kembali apa yang dipahaminya untuk memastikan apakah persepsinya tentang pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan konseli benar. Lebih dari itu, konselor membantu konseli menjabarkan bagaimana dia akan bertindak diluar cara-cara yang ditempuh sebelumnya. Dengan berfokus pada tingkah laku yang spesifik yang ada pada kehidupan konseli sekarang, konselor membantu konseli menerjemahkan kebingungan yang dialaminya kedalam suatu tujuan kongkret yang mungkin untuk dicapai.
Fungsi dan peran konselor
Satu fungsi penting peran konselor adalah sebagai model bagi konseli. Bandura (1969) menunjukkan bahwa sebagian besar proses belajar yang muncul melalui pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah laku orang lain. Ia mengungkapkan bahwa salah satu proses fundamental yang memungkinkan konseli bisa mempelajari tingkah laku baru adalah imitasi atau pencontohan sosial yang disajikan oleh konselor. Konselor sebagai pribadi, menjadi model yang penting bagi konseli. Karena konseli sering memandang konselor sebagai orang yang patut diteladani, konseli acap kali meniru sikap-sikap, nila-nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan tingkah laku konselor. Jadi, konselor harus menyadari peranan penting yang dimainkannya dalam proses identifikasi. Bagi konselor, tidak menyadari kekuatan yang dimilikinya dalam mempengaruhi dan membentuk cara berpikir dan bertindak konselinya, berarti mengabaikan arti penting kepribadiannya sendiri dalam proses konseling.
Pengalaman Konseli dalam Konseling
Salah satu sumbangan yang unik dari konseling tingkah laku adalah suatu sistem prosedur yang ditentukan dengan baik yang digunakan oleh konselor dalam hubungan dengan peran yang juga ditentukan dengan baik. Konseling tingkah laku juga memberikan kepada konseli peran yang ditentukan dengan baik, dan menekankan pentingnya kesadaran dan partisipasi konseli dalam proses terapeutik.
Satu aspek yang penting dari peran konseli dalam konseling tingkah laku adalah konseli didorong untuk bereksperimen dalam tingkah lau baru dengan maksud memperluas perbendaharaan tingkah laku adaptifnya. Dalam konseling, konseli dibantu untuk menggeneralisasi dan mentransfer belajar yang diperoleh didalam situasi konseling kedalam diluar konseling.
Konseling ini belum lengkap apabila verbalisasi-verbalisasi tidak atau belum diikuti oleh tindakan-tindakan. Konseli harus berbuat lebih dari sekedar memperoleh pemahaman, sebab dalam konseling tingkah laku konseli harus bersedia mengambil resiko. Masalah-masalah kehidupan nyata harus dipecahkan dengan tingkah laku baru di luar konseling, berarti fase tindakan merupakan hal yang esensial. Keberhasilan dan kegagalan usaha-usaha menjalankan tingkah laku baru adalah bagian yang vital dari perjalanan konseling.
Hubungan antara Konseli dan Konselor
Peran konselor yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan. Peran konselor tingkah laku tdak dicetak untuk memainkan peran yang dingin dan impersonal yang mengerdilkan mereka menjai mesin-mesin yang di prrogran yang memaksakan teknik-teknik kepada konseli yang mirip robot-robot.
Dalam hubungan konselor dan konseli sebagian besar dari mereka mengakui bahwa faktor-faktor seperti kehangatan, empati, keotentikan, sikap permisif, dan penerimaan adalah kondisi-kondisi yang diperlukan, tetapi tidak cukup, bagi kemunculan perubahan tingkah laku dalam prosen terapeutik. Goldstin menyatakan bahwa pengembangan hubungan kerja membentuk tahap bagi kelangsungan konseling. Ia mencatat bahwa “hubungan semacam itu dalam dan oleh dirinya sendiri tidak cukup sebagai pemaksimal konseling yang efektif. Sebelum interpensi terapeutik tertentu bisa dimunculkan dengan suatu derajat keefektifan, konselor terleih dahulu haus mengembangkan atmosfer kepercayaan dengan memperlihatkan bahwa
1) Ia memahami dan menerima pasien,
2) Kedua orang di antara mereka bekerjasama, dan
3) Konselor memiliki alat yang berguna dalam membantu kearah yang dikehendaki oleh pasien.
3. Tehnik-tehnik dalam Konseling Behaviorisme
Salah satu sumbangan konseling tingkah laku adalah pengembangan prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yang memiliki kemungkinan untuk diperbaiki melalui metode ilmiah. Teknik-teknik tingkah laku harus menunjukkan keefektifannya melalui alat-alat yang objektif, dan ada usaha yang konstan untuk memperbaikinya. Meskipun para konselor tingkah laku boleh jadi membuat kekeliruan-kekeliruan dalam mendiagnosis atau dalam menerapkan teknik-teknik, akibat-akibat kekeliruan-kekeliruan itu akan jelas bagi mereka. Mereka menerima umpan balik langsung dari konselinya, baik konselinya itu sembuh ataupun tidak. Sebagaimana dinyatakan oleh Krumboltz dan Thorensen, “Teknik-teknik yang tidak berfungsi akan selalu disisihkan dan teknik-teknik baru bisa dicoba”. Mereka menegaskan bahwa teknik-teknik harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan individual konseli dan bahwa tidak pernah ada teknik yang diterapkan secara rutin pada setiap konseli tanpa disertai metode-metode alternatif untuk mencapai tujuan-tujuan konseli.
Teknik-teknik utama konseling tingkah laku
Desensitisasi sistematik
Desensitisasi sistematik merupakan salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam konseling tingkah laku. Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi diarahkan kepada mengajar konseli untuk menampilkan suatu respons yang tidak konsisten dengan kecemasan.
Desensitisasi sistematik juga melibatkan teknik-teknik relaksasi. Konseli dilatih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengancam. Tingkatan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus-stimulus penghasil keadaan santai sampai kaitan antara stimulus-stimulus penghasil kecemasan dan respons kecemasan itu terhapus. Dalam teknik ini Wolpe telah mengembangkan suatu respons-yakni relaksasi, yang secara fisiologis bertentangan dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek dari situasi yang mengancam.
Desensitisasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, konseling keliru apabila menganggap teknik ini hanya bisa diterapkan pada penanganan kekuatan-kekuatan. Desensitisasi sistematik bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan, mencangkup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang generalisasi, kecemasan-kecemasan neurotic, serta impotensa dan frigiditas seksual.
Wolpe (1969) mencatat tiga penyebab kegagalan dalam pelaksanaan desensitisasi sistematik: (1) kesulitan-kesulitan dalam relaksasi, yang bisa jadi menunjuk kepada kesilitan-kesulitan dalam komunikasi antara konselor dan konseli atau kepada keterhambatan yang ekstrem yang dialami oleh konseli, (2) tingkatan-tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan, yang ada kemungkinan melibatkan penanganan tingkatan yang keliru, dan (3) ketidakmemadaian dalam membayangkan.
Konseling Implosive dan Pembanjiran
Teknik-teknik pembanjiran berlandaskan paradigma mengenai penghapusan eksperimental. Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa pemberian perkuatan. Teknik pembanjiran berada dengan teknik desensitisasi sistematik dalam arti teknik pembanjiran tidak menggunakan agen pengondisian balik maupun tingkatan kecemasan. Konselor memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan, konseli membayangkan situasi, dan konselor berusaha mempertahankan kecemasan konseli.
Stampfl (1975) mengembangkan teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran, yang disebut “konseling implosif”. Seperti halnya dengan desensitisasi sistematik, konseling implosive berasumsi bahwa tingkah laku neurotik melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil kecemasan konseling implosif berbeda dengan desensitisasi sistematik dalam usaha konselor untuk menghadirkan luapan emosi yang masih. Alasan yang digunakan oleh teknik ini adalah bahwa, jika seorang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan tidak muncul, maka kecemasan tereduksi atau terhapus. Konseli diarahkan untuk membayangkan situasi-situasi (stimulus-stimulus) yang mengancam. Dengan secara berulang-ulang dimunculkan dalam setting konseling di mana konsekwensi-konsekwensi yang diharapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus-stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotic.
Latihan asertif
Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif, yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya, memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”, mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif lainnya, merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Konseling kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku pada kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan cara-cara yang berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi interpersonal. Fokusnya adalah mempraktekkan, melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperoleh sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketakmemadainya dan belajar bagaimana mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu.
Konseling aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Kendali aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman. Contoh penggunaan hukuman sebagai cara pengendalian adalah pemberian kejutan listrik kepada anak autistic ketika tingkah laku spesifik yang tidak diinginkan muncul.
Teknik-teknik aversi adalah metoda-metoda yang paling kontroversial yang dimiliki oleh para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metoda-metoda untuk membawa orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan. Kondisi-kondisi diciptakan sehingga orang-orang melakukan apa yang diharapkan dari mereka dalam rangka menghindari konsekuensi-konsekuensi aversif.
Butir yang penting dalam teknik aversi adalah bahwa maksud prosedur-prosedur aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternative yang adaptif dan yang akan terbukti memperkuat dirinya sendiri.
Pengondisian operan
Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang menjadi ciri organisme yang aktif. Ia adalah tingkah laku beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku operan merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari, yang mencakup membaca, berbucara, bepakaian, makan dengan alat-alat makan, bemain, dan sebagainya. Menurut Skinner (1971), jika suatu tingkah laku diganjar,maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut di masa mendatang akan tinggi. Prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laku, merupakan inti dari pengondisian operan. Berikut uraian ringkas dari metode-metode pengondisian operan yang mencakup perkuatan positif, pembentukan respons, perkuatan intermiten, penghapusan, pencontohan, dan token economy.
a. Perkuatan positif
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku. Pemerkuat-pemerkuat, baik primer maupun sekunder, diberikan untuk rentang tingkah laku yang luas. Pemerkuat-pemerkuat primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Contoh pemerkuat primer adalah makanan dan tidur atau istirahat. Pemerkuat-pemerkuat sekunder, yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis dan sosial, memiliki nilai karena berasosiasi dengan pemerkuat-pemerkuat primer. Contoh-contoh pemerkuat sekunder yang bisa menjadi alat yang ampuh untuk membentuk tingkah laku yang diharapkan antara lain adalah senyuman, persetujuan, pujian, bintang-bintang emas, medali atau tanda penghargaan, uang, dan hadiah-hadiah. Penerapan pemberian perkuatan positif pada psikokonseling membutuhkan spesifikasi tingkah laku yang diharapkan, penemuan tentang apa agen yang memperkuat bagi individu, dan penggunaan perkuatan positif secara sistematis guna memunculkan tingkah laku yang diinginkan.
b. Pembentukan respons
Pembentukan respons berwujud pengembangan suatu respons yang pada mulanya tidak terdapat dalam pembendaharaan tingkah laku individu. Perkuatan sering digunakan dalam proses pembentukan respons ini. Jadi, misalnya, jika seorang guru ingin membentuk tingkah laku kooperatif sebagai tingkah laku kompetitif, dia bisa memberikan perhatian dan persetujuan kepada tingkah laku yang diinginkannya itu. Pada anak autisik yang tingkah laku motorik, verbal, emosional, dan sosialnya kurang adaptif, konselor bisa membentuk tingkah laku yang lebih adaptif dengan memberikan pemerkuat-pemerkuat primer maupun sekunder.
c. Perkuatan intermiten
Di samping membentuk, perkuatan-perkuatan bisa juga digunakan untuk memelihara tingkah laku yang telah terbentuk. Untuk memaksimalkan nilai pemerkuat-pemerkuat, konselor harus memahami kondisi-kondisi umum dimana perkuatan-perkuatan muncul. Oleh karenanya jadwal-jadwal perkuatan merupakan hal yang penting. Perkuatan terus menerus mengganjar tingkah laku setiap kali ia muncul. Sedangkan perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap penghapusan dibanding dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang terus menerus.
Dalam menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan tingkah laku, pada tahap-tahap permulaan konselor harus mengganjar setiap terjadi munculnya tingkah laku yang diinginkan. Jika mungkin, perkuatan-perkuatan diberikan segera setelah tingkah laku yang diinginkan muncul. Dengan cara ini, penerima perkuatan akan belajar, tingkah laku spesifik apa yang diganjar. Bagaimanapun, setelah tingkah laku yang diinginkan itu meningkat frekuensi kemunculannya, frekuensi pemberian perkuatan bisa dikurangi. Seorang anak yang diberi pujian setiap berhasil menyelesaikan soal-soal matematika, misalnya, memiliki kecenderungan yang lebih kuat untuk berputus asa ketika menghadapi kegagalan disbanding dengan apabila si anak hanya diberi pujian sekali-kali.
d. Penghapusan
Konselor, guru dan orang tua yang menggunakan penghapusan sebagai teknik utama dalam menghapus tingkah laku yang tidak diinginkan harus mencatat bahwa tingkah laku yang tidak diinginkan itu pada mulanya bisa menjadi lebih buruk sebelum akhirnya terhapus atau terkurangi. Contohnya, seorang anak yang telah belajar bahwa dia dengan menomel biasanya memperoleh apa yang diinginkan, mungkin akan memperhebat omelannya ketika permintaannya tidak segera dipenuhi. Jadi, kesabaran menghadapi periode peralihan amat diperlukan.
e. Pencontohan
Dalam pencontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuan untuk mencontoh tingkah laku sang model. Bandura (1969) menyatakan bahwa segenap belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh secara tidak langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya. Jadi, kecakapan-kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model yang ada. Juga reaksi-reaksi emosional yang terganggu yang dimilki seseorang bisa dihapus dengan cara orang itu mengamati orang lain yang mendekati objek-objek atau situasi-situasi yang ditakuti tanpa mengalami akibat-akibat yang menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya. Pengendalian diri pun bisa dipelajari melalui pengamatan atas model yang dikenai hukuman. Status dan kehormatan model amat berarti, dan orang-orang pada umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku model-model yang menempati status yang tinggi dan terhormat di mata mereka sebagai pengamat.
f. Token Economy
Metode token economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila persetujuan dan penguatan-penguatan yang tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan pengaruh. Dalam token economy, tingkah laku yang layak bisa diperkuat dengan perkuatan-perkuatan yang bisa diraba (tanda-tanda seperti kepingan logam) yang nantinya bisa ditukar dengan objek-objek atau hak istimewa yang diingini. Metode token economy amat mirip dengan yang dijumpai dalam kehidupan nyata dimana, misalnya, para pekerja di bayar untuk hasil pekerjaan mereka. Penggunaan tanda-tanda sebagai pemerkuat-pemerkuat bagi tingkah laku yang layak memiliki beberapa keuntungan: (1) tanda-tanda tidak kehilangan nilai insentifnya, (2) tanda-tanda bisa mengurangi penundaan yang ada di antara tingkah laku yang layak dengan ganjarannya, (3) tanda-tanda bisa digunakan sebagai pengukur yang kongkret bagi motivasi individu untuk mengubah tingkah laku tertentu, (4) tanda-tanda adalah bentik perkuatan yang positif, (5) individu memiliki kesempatan untuk memutuskan bagaimana menggunakan tanda-tanda yang diperolehnya, dan (6) tanda-tanda cenderung menjembatani kesenjangan yang sering muncul di antara lembaga dan kehidupan sehari-hari.
Token Economy merupakan salah satu contoh dari perkuatan yang ekstrinsik, yang menjadikan orang-orang melakukan sesuatu untuk meraih “pemikat di ujung tombak”. Tujuan prosedur ini adalah mengubah motivasi yang ekstrinsik menjadi motivasi yang intrinsic. Diharapkan bahwa perolehan tingkah laku yang diinginkan akhirnya dengan sendirinya akan menjadi cukup mengganjar untuk memlihara tingkah laku yang baru.
4. Peran Konselor dalam Konseling Behavioral
Jika kita perhatikan lebih lanjut, pendekatan dalam konseling behavioral lebih cenderung direktif, karena dalam pelaksanaannya konselorlah yang lebih banyak berperan.
Adapun peran konselor dalam konseling behavioral adalah :
1) Bersikap menerima.
2) Memahami konseli.
3) Tidak menilai dan mengkritik apa yang diungkapkan oleh konseli.
4) Konselor behavioral berperan sebagai guru, pengarah, dan ahli yang membantu konseli dalam mendiagnosis dan melekukan teknik-teknik modifikasi perilaku yang sesuai dengan masalah dan tujuan yang diharapkan sehingga mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustif.
BAB VI
TEORI RASIONAL EMOTIF
1. Konsep Dasar Tentang Manusia
Konseling rasional emotif adalah aliran yang berasumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik berpikir rasional dan irasional. Manusia memiliki kecendrungan-kecendrungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir, mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain serta tumbuh mengaktualkan diri, akan tetapi adakalanya manusia memiliki kecendrungan memiliki ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, meyesali kesalahan secra terus-menerus, takhyul, mencela diri, mengindari pertumbuhan dan aktuallisasi diri. Manusia dilahirkan dengan kecendrungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat dan kebutuhan dalam hidupnya, jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya manusia mempersalahkan dirinya sendiri atau orang lain. (Ellis, 1973a, h. 175-176). Konseling ini menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara simultan, jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan-perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang perspektif.
Pandangan konseling rasional emotif terhadap manusia dalam hubungannya dengan teori kepribadian:
a. Neurosis adalah berpikir dan bertingkah laku irasional.” suatu keadaan alami yang pada taraf tertentu menimpa kita semua”
b. Psikiopatologi mulanya dipelajari dan diperhebat oleh timbunan keyakinan irasional yang berasal dari orang yang berpengaruh selama masa anak-anak.
c. Emosi-emosi adalah hasil pikiran manusia, jika kita berpikir buruk tentang sesuatu , maka kita pun akan merasakan sesuatu itu sebagai hal yang buruk.
Konseling ini berhipotesis bahwa, karena kita tumbuh dalam masyarakat, kita cenderung menjadi korban darii gagasan-gagasan yang keliru, cenderung mereindoktrinasi diri dengan gagasan-gagasan tersebut secara berulang-ulang dengan cara yang tidak dipikirkan dan autosugesti, dan kita tetap mempertahankan gagasan itu dalam tingkah laku kita.
2. Proses Terapeutik
2.1 Tujuan Konselingutik
Ellis mrnunjukkan bahwa banyak jalan yang digunakan dalam konseling rasional emotif yang diarahkan kepada satu tujuan utama yaitu psikokonseling yang lebih baik adalah menunjukkan konseli bahwa variabelitas-variabelitas diri mereka telah dan masih merupakan sumber utama dari gangguan-gangguan emosional yang dialami oleh mereka. Proses konselingutik terdiri atas penyembuhan irasionalitas dan rasionalitas, karena individu pada dasarnya adalah mahluk rasional dan karna sumber ketidakbahagiaan adalah irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional.
2.2 Fungsi dan Peran Konselor
Akitivitas konselingutik utama konseling rasional emotif dilaksanakan dengan satu maksud utama yaitu membantu konseli untuk membebaskan diri dari gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan logis sebagai penggantinya. Sasaranya adalah menjadikan konseli menginternalisasi keyakinan-keyakinan dogmatis yang irasional dan tahayul yang berasal dari orang tuanya maupun kebudayaannya.
Dimana untuk mencapai tujuan diatas harus melakukan langkah langkah sebagai berikut:
1. Menunjukan kepada konseli bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya.
2. Membawa konseli keseberang tahap kesadaran dengan menunjukan bahwa dia sekarang mempertahankan gangguan-gangguan emosional untuk tetap aktif dengan terus menerus berpikir secara tidak logis dengan mengulang-ulang kalimat-kalimat yang mengalahkan diri, dan yang mengekalkan pengaruh masa anak-anak.
3. Berusaha agar konseli memperbaiki pikiran-pikirannya dan meninggalkan gagasan-gagasan irasionalnya.
4. Menantang konseli untuk mengembangkan filsafat-filsafat hidup yang rasional sehingga dia bisa menghindari kemungkinan menjadi korban keyakinan-keyakinan yang rasional.
3. Pengalaman Konseli dalam Konseling
Proses konselingutik difokuskan pada pengalaman konseli pada saat sekarang. Sama halnya dengan konseling-konseling client centered dan ekstensial humanistic, konseling ini menitik beratkan pengalaman-pengalaman disini dan sekarang dan kemampuan konseli mengubah pola-pola berpikir dan beremosi yang diperolehnya pada masa kanak-kanak. Pengalaman utama konseli dalam konseling ini adalah mencapai pemahaman, konseling ini berasumsi bahwa pencapaian pemahaman emosi oleh konseli atas sumber-sumber gangguan yang dialaminya adalah bagian yang sangat penting dari proses konselingutik.
Konseling rasional emotif mengungkapkan tiga taraf pemahaman, dimana tiga taraf pemahaman itu akan dicontohkan sebagai berikut:
Seorang konseli pria yang berusaha mengatasi rasa takutnya terhadap wanita.konseli merasa terancam oleh wanita yang menarik dan dia merasa takut terhadap bagaimana reaksi yang mungkin diberikanya kepada wanita yang berkuasa itu terhadap apa yang sekiranya akan dilakukan wanita itu terhadap dirinya.
Dari contoh diatas kita dapat membedakan tiga taraf pemahaman itu,yakni;
a. Konseli menjadi sadar bawha antesenden tertentu menyebabkan dia takut terhadap wanita
b. Konseli mengakui bahwa dia masih merasa terancam oleh wanita dan tidak nyaman berada diantara wanita karena dia tetap mempercayai dan mengulang keyakinan irasional yang pernah diterimanya.
c. Penerimaan konseli bahwa dia tidak akan membaik, juga tidak akan berubah secara berarti kecuali jika dia berusaha dan sungguh-sungguh dan berbuat untuk mengubah keyakinan-keyakinan irasionalnya
Konseling ini menekankan pada pemaham taraf pertama dan kedua, yakni pengakuan konseli bahwa dirinyalah yang sekarang mempertahankan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang semula menggangu dan bahwa dia sebaiknya menghadapinya secara rasional emotif, memikirkannya dan berusaha menghapuskanya.
4. Hubungan antara konselor dan konseli
Hubungan konselor dan konseli pada konseling rasional emotif memiliki ati yang berbeda dengan arti yang tedapat dalam konseling lainya. Ellis berpendapat kehangatan pribadi, afeksi, dan hubungan pribadi antara konselor dan konseli yang intens memiliki arti sekunder, beliau tidak percaya bahwa hubungan pribadi yang mendalam atau hangat merupakan kondisi yang diperlukan untuk memadai bagi psikokonseling, tetapi beliau percaya bahwa hubungan antara konselor dan konseli merupakan bagian yang berarti dari proses konselingutik, tetapi arti itu berbeda dengan konseling lainya. Ellis menyatakan bahwa konseling rasional emotif menekankan pentingnya peran konselor sebagai model pada konseli. Selama pertemuan konselor harus menjadi model yang tidak terganggu secara emosional dan yang hidup secara rasional, konselor juga menjadi model yang berani bagi konseli dalam arti secara langsung mengungkapkan system keyakinan konseli yang irasional tanpa takut kehilangan rasa suka dan persetujuan dari konseli. Konseling ini menekankan toleransi penuh dan penghormatan positif tanpa syarat dari konselor terhadap kepribadian konseli dalam arti konselor menghindari sikap menyalahkan konseli, konselor menerima konseli sebagai manusia yang pantas dihormati karena keberadaanya, dan bukan karena apa yang dicapai.
5. Penerapan Tehnik-Tehnik dan Prosedur –Prosedur Konselingutik.
5.1 Tehnik-Tehnik dan Prosedur Utama Konseling Rasional Emotif.
Tehnik konseling rasional emotif yang esensial adalah mengajar secara aktif direktif. Segera setelah konseling dimulai, konselor memainkan peran sebagai pengajar aktif untuk mereeduksi konseli, konseling rasioanl emotif adalah proses didaktik dan karenanya menekankan pada metode-metode kognitif. Ellis menunjukan bawha penggunaan metode-metode konseling tingkah laku seperti pekerjaan rumah, desensitiasti, pengkondisian operan,hipnokonseling, dan latihan asertif cenderung digunkan secara aktif-direktif dimana konselor lebih banyak berperan sebagai guru ketimbang sebagai pasangan berelasi secara intens.
a. Penerapan pada Konseling Individual
RET di terapkan pada penanganan seorang kepada seorang yang pada umumnya di rancang sebagai konseling yang relatif singkat. Ellis menyatakan bahwa kebanyakan konseli yang di tangani secara individual memiliki satu session setiap minggunya dengan jumlah antara lima sampai sepuluh session.konseli mulai dengan mendiskusikan makalah makalah yang paling menenangkan dan menjabarkan perasaan perasaan yang membingungkannya. Konselor juga mengajak konseli untuk melihat keyakinan yang irasional yang diasosiasikan dengan kejadian- kejadian pencetus dan mengajak konseli untuk mengatasi keyakinan- keyakinan irasionalnya dengan menugaskan pekerjaan kegiatan pekerjaan rumah yang dapat membantu konseli secara langsung melumpuhkan gagasan- gagasan irasionalnya.
b. Penerapan Pada Konseling Kelompok
TRE sangat cocok diterapkan pada konseling kelompok karena semua anggota diajari untuk menerapkan prinsip- prinsip TRE pada rekan- rekannya dalam setting kelompok. Mereka memperoleh kesempatan untuk mempraktekkan tingkah laku- tingkah laku baru yang melibatkan pengambilan resiko dan untuk pelaksanaan pekerjaan rumah.Dalam setting kelompok, para anggota juga memiliki kesempatan untuk berlatih bermain peran, kecakapan sosial, dan berinteraksi dengan anggota- anggota lain sesudah pertemuan kelompok. Baik para anggota lain maupun ketua kelompok dapat mengamati tingkah laku semua anggota serta memberika umpan balik atas tingkah lakunya itu.
Ellis (1969) telah mengembangkan suatu bentuk konseling kelompok yang dikienal dengan nama A Weekend of Rational Encounter, y6ang memanfaatkan metode dan prinsip Konseling Rasional Emotif. Konseling kelompok ini dibagi kedalam dua bagian utama. Bagian pertama terdiri atas 14 jam konseling rational ecounter tanpa berhenti, yanb=ng diikuti oleh waktu istirahat selama delapan jam. Bagian kedua mencangkup terrapin 10 jam lagi, selama tahap- tahap permulaan dari pertemuan akhir pecan ini para anggota mengalami serangkaian kegiatan yang diarahkan baik verbal maupun non verbal yang dirancang untuk mereka saling mengenal. Peserta diminta untuk saling berbagi pengalaman yang paling memalukan dan didorong Untuk terlibat didalam pengambilan resiko.
BAB VII
TEORI REALITAS
1. Pandangan Tentang Sifat Manusia
Pandangan tentang konseling realita berlandaskan premis bahwa ada suatu kebutuhan psikologis tunggal yang hadir sepanjang hidup yaitu, kebutuhan akan identitas yang mencakup suatu kebutuhan untuk merasakan keunikan, keterpisahan, dan ketersendirian
Menurut Glasser (1965), basis dari konseling realitas adalah membantu para konseli dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencakup “kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain”.
Maka jelaslah bahwa konseling realitas tidak berpijak pada filsafat deterministic tentang manusia, tetapi dibangun di atas asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Prinsip ini menyiratkan bahwa masing-masing orang memikul tanggung jawab untuk menerima konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri. Tampaknya, orang menjadi apa yang ditetapkannya.
2. Ciri – Ciri Pendekatan Konseling Realita
Ciri-ciri pendekatan konseling realita adalah sebagai berikut :
à Konseling realitas menolak konsep tentang penyakit mental. Glasser berasumsi bahwa bentuk-bentuk gangguan tingah laku yang spesifik adalah akibat dari ketidak bertanggung jawaban.
à Konseling realita berfokus pada saat sekarang bukan pada masa lampau. Karena masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak bisa diubah, maka yang bisa diubah hanyalah saat sekarang dan yang akan datang.
à Konseling realita menekankan tanggung jawab. Yang oleh Glasser (1965) didefinisikan sebagai “ kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri dan melakukan dengan cara yang tidak mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.
3. Proses Konseling
Tujuan – Tujuan Konseling
Tujuan umum konseling realitas adalah membantu seseorang untuk mencapai otonomi. Pada dasarnya otonomi adalah kematangan yang diperlukan bagi kemampuan seseorang untuk mengganti dukungan lingkungan internal. Konseling realitas membantu orang-orang dalam menentukan dan menjelaskan tujuan-tujuan mereka. Konselor membantu konseli menemukan alternatife-alternatif dalam mencapai tujuan-tujuan, tetapi konseli sendiri yang menetapkan tujuan-tujun konseling.
Glasser dan Zunin ( 1973) sepakat bahwa konselor harus memiliki tujuan-tujuan tertentu bagi konseli dalam pikiranya. Akan tetapi tujuan-tujuan itu harus diungkapkan dari segi konsep tanggung jawab alih-alih dari segi tujuan-tujuan behavioral karena konseli harus menentukan tujuan-tujuan bagi dirinya sendiri.
4. Fungsi dan Peran Konselor
Fungsi konseling realitas adalah melibatkan diri dengan konseli dan kemudian membuatnya menghadapi kenyataan.
Fungsi penting lainya dari konseling realitas adalah memasang batas-batas, mencakup batas-batas dalam situasi terapeutik dan batas-batas yang ditempatkan oleh kehidupan pada seseorang. Glasser dan Zunin (1973) menunjukan penyelenggaraan kontrak sebagai suatu tipe pemasangan batas, kontrak-kontrak, yang sering menjadi bagian dari proses konseling, bisa mencakup pelaporan konseli mengenai keberhasilan maupun kegagalannya dalam pekerjaan diluar situasi konseling.
a. Pengalaman Konseli Dalam Konseling
Para konseli dalam konseling realitas bukanlah orang-orang yang telah belajar menjalani kehidupan secara bertanggung jawab, melaikan orang-orang yang termasuk tidak bertanggung jawab. Meskipun tingkah lakunya tidak layak, tidak realistis, dan tidak bertanggung jawab, tingkah laku para konseli itu masih merupakan upaya utuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka akan cinta dan rasa berguna.
Para konseli diharapkan berpokus pada tingkah laku mereka sekarang alih-alih kepada perasaan-perasaan dan sikap-sikap mereka. Konselor menangtang para konseli untuk memandang secara kritis apa yang mereka perbuat dengan kehidupan mereka dan kemudian membuat pertimbangan-pertimbangan nilai yang menyangkut keefektipan tungkah laku mereka dalam mencapai tujuan-tujuan.
Setelah para konseli membuat penilaian tertentu tentang tingkah lakunya sendiri serta memutuskan bahwa mereka ingin berubah, mereka diharapkan membuat rencana-rencana yang spesifik guna mengubah tingkah laku yang gagal menjadi tingkah laku yang berhasil.
b. Hubungan Antara Konselor dan Konseli
Menurut yang dikemukakan oleh Glasser ( 1965,1969) serta Glasser dan Zunin (1973) hubungan konselor dengan konseli adalah sebagai berikut :
1. Konseling realitas berlandaskan hubungan antara keterlibatan pribadi antara konselor dengan konseli. Konselor dengan kehangatan, pengertian, penerimaan, dan kepercayaan atas kesanggupan konseli untuk mengembangkan suatu identitas keberhasilan, harus mengomunikasikan bahwa dia menaruh perhatian.
2. Perencanaan adalah hal selalu esensial dalam konseling realitas. Mereka harus membentuk rencana-rencana, jika telah terbentuk harus dijalankan.
3. Komitmen adalah kunci utama konseling realitas. Setelah para konseli membuat pertimbangan-pertimbangan nilai mengenai tingkah lakunya sendiri dan memutuskan rencana tindakan, konselor membantu mereka dalam membuat suatu komitmen untuk melaksanakan rencana-rencana itu dalam kehidupan sehari-hari mereka.
4. Konseling realitas tidak menerima dalih. Tidak semua komitmen konseli bisa terlaksan. Rencana-rencana bisa saja gagal, akan tetapi jika rencana-rencana gagal, konselor realitas tidak menerima dalih. Ia tidak tertarik untuk mendengar alasan-alasan, penyalahan, dan keterangan-keterangan konseli tentang mengapa rencana itu gagal.
5. Penerapan : Teknik – Teknik Dan Prosedur – Prosedur Konseling
a. Teknik-teknik dan Prosedur-Prosedur Utama
Dalam membantu konseli untuk menciptakan identitas keberhasilan, konselor bisa menggunakan beberapa teknik sebagai berikut :
1. Terlibat dalam permainan peran dengan konseli.
2. Menggunakan humor.
3. Mengkonfrontasikan konseli dan menolak dalih apapun.
4. Membantu konseli dalam merumuskan rencana-rencana yang spesifik bagi tindakan.
5. Bertindak sebagai model dan guru.
6. Memasang batas-batas dan menyusun situasi konseling.
7. Menggunakan “konseling kejutan verbal” atau sarkasme yang layak untuk mengkonfrontasikan konseli dengan tingkah lakunya yang tidak realistis; dan
8. Melibatkan diri dengan konseli dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif.
b. Penerapan Pada Situasi-Situasi Konseling
Glasser dan Zunin ( 1973) percaya bahwa teknik-teknik konseling tealitas bisa diterapkan pada lingkup masalah behavioral dan emosional yang luas. Mereka menyatakan bahwa prosodur – prosodur konseling realitas telah digunakan dengan berhasil pada penanganan” masalah - masalah individu yang spesifik seperti masalah kecemasan, maladjustment,dan konflik-konflik perkawinan. Konseling realitas cocok untuk digunakan dalam konseling individual, kelompok, dan konseling perkawinan.
BAB VIII
TEORI TRAIT AND FACTOR
1. Konsep Dasar Teori Konseling Trait dan Factor Tentang Manusia
Kepribadian merupakan suatu sistem sifat atau faktor yang saling berkaitan satu sama lain seperti kecakapan, minat, sikap, dan temperamen. Hal yang mendasar bagi konseling trait dan factor adalah asumsi bahwa individu berusaha untuk menggunakan pemahaman diri dan pengetahuan kecakapan dirinya sebagai dasar bagi pengembangan potensinya. Maksud konseling menurut Williamson adalah untuk membantu perkembangan kesempurnaan berbagai aspek kehidupan manusia, serta tugas konseling trait dan factor adalah membantu individu dalam memperoleh kemajuan memahami dan mengelola diri dengan cara membantunya menilai kekuatan dan kelemahan diri dalam kegiatan dengan perubahan kemajuan tujuan-tujuan hidup dan karir (Shertzer & Stone, 1980, 171).
Williamson menyebut filsafatnya sebagai “personalisme” bahwa manusia merupakan seorang individu yang unik untuk sebagian besar dapat mempengaruhi dan menguasai baik pembawaan, maupun lingkungannya. Pada tiap orang ada sifat-sifat yang umum secara manusiawi dan terdapat pada semua manusia. Di samping itu ada pula sifat yang khas terdapat pada seseorang yaitu sifat yang unik. Hal itu terjadi karena pembawaan dan lingkungan tiap orang berbeda-beda.
Dasar psikologis dari aliran trait and factor ini banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh psikologi lain, misalnya Cattell, Spearman, dan Mc Dougall, juga dipengaruhi oleh psikoanalisa. Aliran ini memandang bahwa manusia bersifat rasional dengan kemampuan berkembang kearah positif atau negatif. Manusia memerlukan bantuan orang lain dalam perkembangannya.
Perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor keturunan dan lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan belajar. Potensi pribadi seseorang relatif stabil setelah berumur 7 tahun. Eysenck mendapat pengaruh dari Alport yang menekankan adanya sistem, sruktur dan organisasi dalam perilaku seseorang. Eysenk mengemukakan batasan kepribadian sebagai berikut. Karakter adalah sistem yang sedikit banyak tetap dan berkelanjutan dari perilaku konatif (kemauan). Yang dimaksud dengan temperamen adalah sistem yang sedikit banyak berkelanjutan dari perilaku afektif (emosi). Yang dimaksud dengan intelek adalah sistem yang sedikit banyak tetap dan berkelanjutan dari perilaku kognitif (kecerdasan). Yang dimaksud dengan fisik adalah sistem yang sedikit banyak tetap dan berkelanjutan dari bentuk tubuh dan pembawaan susunan saraf kelenjar endokrin. Sedangkan Williamson memiliki pandangan tentang manusia adalah sebagai berikut:
1. Manusia memiliki potensi berbuat baik dan buruk. Makna hidup adalah mencari kebenaran dan berbuat baik serta menolak kejahatan, paling tidak menguasai keburukan dan kejahatan. Menjadi manusia seutuhnya tergantung dari derajat kewaspadaan dan penguasaan diri dan hanya bisa dicapai dalam hubungan dengan manusia lainnya.
2. Diri manusia hanya akan berkembang di dalam masyarakat dan pada hakekatnya manusia tak bisa hidup sepenuhnya di luar masyarakat.
3. Manusia ingin mencapai kehidupan yang baik. Sebenarnya pencaharian serta usaha ke arah itu pun sudah menunjukkan dan merupakan kehidupan yang baik.
2. Konsep Dasar Teori Konseling Trait-Factor
Yang dimaksud dengan trait adalah suatu ciri yang khas bagi seseorang dalam berpikir, berperasaan, dan berprilaku, seperti intelegensi (berpikir), iba hati (berperasaan), dan agresif (berprilaku). Ciri itu dianggap sebagai suatu dimensi kepribadian, yang masing-masing membentuk suatu kontinum atau skala yang terentang dari sangat tinggi sampai sangat rendah. Teori Trait dan Factor adalah pandangan yang mengatakan bahwa kepribadian seseorang dapat dilukiskan dengan mengidentifikasikan jumlah ciri, sejauh tampak dari hasil testing psikologis yang mengukur masing-masing dimensi kepribadian itu.
Konseling Trait dan Factor berpegang pada pandangan yang sama dan menggunakan tes-tes psikologis untuk menganalisis atau mendiagnosis seseorang mengenai ciri-ciri dimensi/aspek kepribadian tertentu, yang diketahui mempunyai relevansi terhadap keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam jabatan dan mengikuti suatu program studi. Dan juga istilah konseling trait dan factor dapat dideskripsikan adalah corak konseling yang menekankan pemahaman diri melalui testing psikologis dan penerapan pemahaman itu dalam memecahkan baraneka problem yang dihadapi, terutama yang menyangkut pilihan program studi/bidang pekerjaan.
Eysenck tokoh lain dari Aliran Trait-factor menyebut pula sifat sebagai konsep pokoknya. Ia memberikan batasan yang pada dasarnya sama, tetapi dengan perumusan yang agak lain. Ia menyebut sifat sebagai prinsip pengatur yang dapat disimpulkan dari pengamatan perilaku. Secara lebih sederhana ia menyebut sifat sebagai kelompok prilaku yang berkorelasi. Metode yang digunakan untuk penelitianya sama dengan Cattell ialah analisis faktor. Mengenai tipe-tipenya ia banyak mengambil dari tipelogi yang sudah ada. Jadi sifat-sifat seseorang dikaitkanya kepada tipe-tipe.
Eyseck jga memakai istilah sikap seperti Cattell, tetapi dihubungkannya dengan minat, opini (pendapat dan ideologi). Menurut pendapatnya, minat adalah sikap yang menunjukkan nilai positif terhadap sesuatu. Sedangkan sentimen sesuai dengan arti yang diberikan Mc Dougall mencangkup daerah afektif (perasaan) maupun conative (kemauan).
Williamson berpendapat bahwa kepribadian terdiri dari sistem sifat atau faktor yang saling tergantung, seperti kemampuan, minat, sikap dan temperamen. Perkembangan individu dari masa kanak-kanak ke masa dewasa maju kalau faktor-faktor tersebut diperkuat dan menjadi matang. Studi ilmiah telah dilakukan untuk mengetahui berbagai sifat individu dan membantunya mengenal dirinya sendiri serta meramalkan keberhasilanya dalam berbagai kegiatan atau jabatan.
Williamson pun memiliki konsep pokok bahwa terdapat sifat (trait) yang unik pada tiap individu dan yang harus diselidiki secara objektif dengan pengukuran yang objektif pula. Sama juga dengan tokoh-tokoh yang lainnya, ia menekankan pentingnya lingkungan, terutama masyarakat. Tujuan penyuluhan tidak dapat terbatas kepada bantuan kepada individu untuk mengenal dirinya sendiri dan mengatur dirinya sendiri saja. Dengan demikian, ia mungkin menjadi orang yang berpusat pada diri sendiri dan hanya mementingkan diri sendiri dan tak mungkin pula ia menjadi orang yang baik dalam arti yang sebenarnya.
Sifat ini merupakan konsep pokok dalam aliran yang dipengaruhi oleh Allport, karena Allport yang mulai menekankan pentingnya konsep diri. Untuk aliran ini, sifat dapat disebut struktur mental yang ditemukan melalui pengamatan perilaku dan merupakan keteraturan dan ketetapan dari perilaku tertentu. Ada beberapa jenis dan pengelompokan sifat, yaitu:
a. Sifat umum (comon traits) ialah sifat yang terdapat pada semua manusia.
b. Sifat khas (unique traits) yang terdapat pada orang-orang tertentu, yang dapat lagi dibagi menjadi:
· Sifat unik relatif, perbedaanya terjadi karena pengaturan sifat yang berbeda.
· Sifat unik intrinsik, sifat yang betul-betul berbeda dengan orang lain, yang menyebabkan keunikan seorang individu.
Sifat-sifat ini dikelompokan pula menjadi:
a. Sifat permukaan (surfacetraits) yang bisa tampak pada seseorang dan bisa diamati orang lain merupakan hasil interaksi antara pembawaan dan lingkungan dan merupakan sekelompok peristiwa perilaku yang beralan bersama.
b. Sifat asal (source trait) merupakan pengaruh struktural sebenarnya yang mendasari kepribadian, berasal dari pembawaan dan konsistusi seseorang, sifat asal yang berinteraksi dengan lingkungan ada yang tampak sebagai sifat permukaan, tetapi ada juga yang tetap intrinsik sifatnya.
Adapun tujuan dari konseling trait dan factor adalah untuk mengajak siswa (konseling) untuk berfikir mengenai dirinya serta mampu mengembangkan cara-cara yang dilakukan agar dapat keluar dari masalah yang dihadapinya. Selain itu, dimaksudkan agar siswa mengalami:
· Self-Clarification / Klarifikasi diri
· Self-Understanding / Pemahaman diri
· Self-Acceptance / Penerimaan diri
· Self-Direction / Pengarahan diri
· Sel-Actualization / Aktualisasi diri
3. Peranan Konselor dan Proses Konseling Trait dan Factor
Peranan konselor menurut aliran trait dan factor adalah memberi tahu konseli tentang berbagai kemampuannya yang diperoleh konselor melalui hasil testing pula ia mengetahui kelemahan dan kekuatan kepribadian konseli, sehingga dapat meramalkan jabatan apa atau jurusan apa yang cocok bagi konseli. Konselor membantu konseli menentukan tujuan yang akan dicapainya disesuaikan dengan hasil testing. Juga dengan memberitahukan sifat serta bakat konseli, maka konseli bisa mengelola hidupnya sendiri sehingga dapat hidup lebih berbahagia. Jadi peranan konselor disini adalah memberitahukan, memberikan informasi, mengarahkan, karena itu pedekatan ini disebut kognitif rasional.
Proses konseling dibagi dalam 5 tahap / langkah, yaitu :
1. Analisis terdiri dari pengumpulan informasi dan data mengenai siswa atau konseli. Baik konseli maupun konselor harus mempunyai informasi yang dapat dipercaya, valid, dan relevan untuk mendiagnosa pembawaan, minat, motif, kesehatan jasmani dan lain sebagainya. Alat analisis yang dapat dikumpulkan adalah :
a. Catatan komulatif
b. Wawancara
c. Format distribusi waktu
d. Otobiografi
e. Catatan anekdot
f. Test psikologi
Study kasus dapat merupakan alat analisis maupun metode untuk memadukan semua data dan terdiri dari catatan komprehensif yang mencakup keadaan keluarga, perkembangan kesehatan, pendidikan maupun pekerjaan serta minat, dan kreasi dan kebiasaan – kebiasaan. Selain mengumpulkan data obyektif, konselor memperhatikan pula cita – cita dan sikap konseli.
2. Sintesis merupakan langkah untuk merangkum dan mengatur data dari hasil analisis, sedemikian rupa sehingga menunjukan bakat siswa, kelemahan serta kekuatannya. Penyesuaian diri maupun ketaksanggupan menyesuaikan diri.
3. Diagnosis merupakan langkah pertama dalam bimbingan dan hendaknya dapat menemukan ketetapan dan pola yang menuju kepada permasalahan, sebab – sebabnya serta sifat – sifat siswa yang berarti dan relevan yang berpengaruh kepada proses penyesuaian diri. Diagnosis meliputi 3 langkah, yaitu:
a. Identifikasi masalah yang sifatnya deskriptif dapat menggunakan kategori Bordin dan Pepinsky. Kategori diagnosis Bordin
- dependence (ketergantungan)
- lack of information (kurangnya informasi)
- self conflict (konflik diri)
- choice anxiety (kecemasan dalam membuat pilihan)
Kategori diagnosis Pepinsky
- lack of assurance (kurang dukungan)
- lack of information (kurang informasi)
- lack of skill (kurang keterampilan)
- dependence (ketergantungan)
- self conflict (konlflik diri)
b. Menentukan sebab – sebab, mencakup pencaharian hubungan antara massa lalu, masa kini, dan masa depan yang dapat menerangkan sebab – sebab gejala.
c. Prognosis merupakan upaya untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi berdasarkan data yang ada. Prognosis, misal diagnosisnya kurang cerdas, prognosisnya menjadi kurang cerdas untuk pengerjaan sekolah yang sulit, sehingga mungkin sekali gagal kalau ingin belajar menjadi dokter. Dengan demikian konselor bertanggung jawab dan membantu konseli untuk mencapai tingkat pengambilan tanggung jawab untuk dirinya sendiri, yang berarti ia mampu dan mengerti secara logis, tetapi secara emosional belum mau menerima.
4. Konseling merupakan hubungan membantu bagi konseli untuk menemukan sumber diri sendiri maupun sumber lembaga dan masyarakat membantu konseli mencapai penyesuaian optimal, sesuai dengan kemampuannya. Hal ini mencakup 5 jenis konseling :
a. Belajar terpimpin menuju pengertian diri.
b. Mendidik kembali atau mengajar kembali sesuai dengan kebutuhan individu sebagai alat untuk mencapai tujuan kepribadiannya dan penyesuaian hidupnya.
c. Bantuan pribadi dari konselor supaya konseli mengerti dan terampil dalam menerapkan prinsip dan teknik yang diperlukan dalam kehidupan sehari – hari.
d. Mencakup hubungan dan teknik yang bersifat menyembuhkan dan efektif.
e. Suatu bentuk mendidik kembali yang sifatnya sebagai katarsis atau penyaluran.
Selain itu, terdapat juga proses dari pada konseling (treatment) yang berhubungan dengan pemecahan masalah konseling yaitu ada 4 langkah:
· Pengembangan alternatif masalah.
· Proses pemecahan masalah dengan menggunakan beberapa strategi.
· Pengujian alternatif pemecahan masalah. Dilakukan untuk menentukan alternatif mana yang akan diimplementasikan, sehingga perlu diuji kelebihan dan kelemahan, keuntungan dan kerugian, serta faktor pendukung dan penghambat.
· Pengambilan keputusan. Keputusan diambil berdasarkan syarat, kegunaaan, dan fleksibilitas yang dipilih konseli.
5. Tindak lanjut atau follow up mencakup bantuan kepada siswa dalam menghadapi masalah baru dengan mengingatkannya kepada masalah sumbernya sehingga menjamin keberhasilan konseling. Teknik yang digunakan konselor harus disesuaikan dengan individualitas siswa, mengingat bahwa tiap individu unik sifatnya, sehingga tidak ada teknik yang baku yang berlaku untuk semua.
4. Penerapan Langkah atau Teknik Konseling Trait dan Factor
Ada beberapa langkah konseling menurut Cattell, yaitu:
1. Selama satu jam tiap pertemuan konseli mengerjakan test buku yang objektif dan test kepribadian maupun mengadakan pengukuran fisiologis.
2. Setengah jam ia menceritakan tentang mimpi – mimpinya dengan bantuan konselor biasanya ia dapat menafsirkan mimpi – mimpinya,
3. Setengah jam terakhir konseli disuruh berasosiasi bebas tentang mimpinya.
Konseling tidak dibatasi kepada jenis konflik tertentu, dan oleh karena itu konseling mencakup berbagai teknik yang relevan dan sepadan dengan hakekat masalah konseli dan situasi yang dihadapi. Keragaman individu memunculkan keragaman teknik konseling. Di dalam proses konseling, tidak ada teknik tertentu yang dapat digunakan untuk konseling kepada seluruh siswa dan arah konseling bersifat individual. Teknik konseling harus disesuaikan dengan individualitas siswa, dan kita tidak menghindari kenyataan bahwa setiap masalah siswa menuntut fleksibelitas dan keragaman konseling.
Teknik konseling bersifat khusus bagi individu dan masalahnya. Setiap teknik hanya dapat digunakan bagi masalah dan siswa secara khusus. Teknik– teknik yang digunakan dalam proses konseling ialah :
1. Pengukuran Hubungan Intim (rapport). Konselor menerima konseli dalam hubungan yang hangat, intim, bersifat pribadi, penuh pemahaman dan terhindar dari hal-hal yang mengancam konseli.
2. Memperbaiki pemahaman diri. Koseli harus memahami kekuatan dan kelemahan dirinya, dan dibantu untuk menggunakan kekuatanya dalam upaya mengatasi kelemahanya.
3. Pemberian nasehat atau perencanaan program kegiatan. Konselor mulai bertolak dari pilihan, tujuan, pandangan atau sikap konselor dan kemudian menunjukan data yang mendukung atau tidak mendukung dari hasil diagnosis. Ada 3 metode pemberian nasehat yang dapat digunakan oleh konselor, yaitu :
a. Nasehat langsung (direct advising), dimana konselor secara terbuka dan jelas menyatakan pendapatnya. Pendekatan ini dapat digunakan kepada konseli yang berpegang teguh pilihan atau kegiatannya, yang oleh konselor diyakini bahwa keteguhan konseli itu akan membawa kegagalan bagi dirinya sendiri
b. Metode Persuasif, dengan menunjukkan pilihan yang pasti secara jelas. Penyuluh menata evidensi ecara logis dan beralasan sehingga tersuluh melihat alternative tindakan yang mungkin dilakukannya.
c. Metode Menjelaskan, yang merupakan metode yang paling dikehendaki dan memuaskan. Konselor secara hati- hati dan perlahan-lahan menjelaskan data diagnostik dan menunjukkan kemungkinan situasi yang menuntut penggunaan potensi konseli.
4. Melaksanakan rencana, yaitu menetapkan pilihan atau keputusan.
5. Mengalihkan kepada petugas atau ahli lain yang lebih berkompeten atau disebut dengan alih tangan kasus.
Menurut Eysenc, tujuan konseling ialah mempekuat keseimbangan antara pengaktian dan pemahaman sifat – sifat, sehingga dapat bereksi dengan wajar dan stabil. Teknik penyuluhan disamping penggunaan tes, penting sekali wawancara, hubungan tatap muka antara konselor dan konseli. Pendekatan konseling harus berbeda kalau berhadapan dengan anak – anak, remaja atau dewasa.
Menurut pendapatnya, hubungan konseling merupakan hubungan yang akrab, sangat bersifat pribadi dari hubungan yang akrab, sangat bersifat pribadi dari hubungan tatap muka kemudian konselor bukan hanya membantu individu mengembangkan individualitas apa saja yang sesuai dengan potensinya, tetapi konselor harus mempengaruhi siswa berkembang ke suatu arah yang terbaik baginya. Konselor memang tidak menetapkan, tetapi hanya cara yang baik yang memberi pengaruh, karena itu pula aliran ini disebut dengan konseling direktif.
BAB IX
TEORI PSIKOANALISA
1. Konsep Utama Teori Psikoanalisa Sigmund Freud.
1.1 Pandangan tentang sifat manusia
Pandangan freud tentang sifat manusia pada dasarnya manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional,motifasi-motifasi tak sadar, kebutuhan—kebutuhan dan dorongan-dorongan biologis dan naruliah, dan oleh peritiwa-peristiwa psikosek sual yang terjadi selama lima tahun pertama dari kehidupan.
Manusia dipandang sebagai sistem—sistem energi, menurut pandangan freud , dinamika kepribadian terdiri dari cara-cara energi psikis dibagikan kepada id,ego, dan superego. Karena energi psikis itu terbatas, maka satu sistem memegang kendali atas energy yang tersedia sambil mengorbankan dua sistem yang lainnya. Tingkah laku dideterminasi oleh energi psikis ini. Freud juga menekankan peran naluri-naluri. Segenap naluri bersifat bawaan dan biologis. Freud menekankan naluri—naluri seksual dan implus-implus agresif. Ia melihat tingkah laku sebagai dideterminasi oleh hasrat memperoleh kesenangan dan menghindari kesakitan. Manusia memiliki naluri-naluri kehidupan maupun naluri-naluri kematian. Menurut freud,tujuan segenap kehidupan adalah kematian; kehidupan tidak lain dalah jalan melingkar kearah kematian.
1.2 Struktur Kepribadian
Menurut pandangan psikoanalitik, struktur kepribadian terdiri dari tiga sistem: id, ego, dan superego. Ketiganya adalah nama bagi proses-proses psikologi dan jangan dipikirkan sebagai agen-agen yang secara terpisah mengoperasikan kepribadian; merupakan fungsi-fungsi kepribadian sebagai keseluruhan ketimbang sebagai tiga bagian yang terasing satu sama lain. Id adalah komponen biologis, ego adalah komponen psikologis, sedangkan superego merupakan komponen sosial.
Id
Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir. Aspek kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif. Menurut Freud, id adalah sumber segala energi psikis, sehingga komponen utama kepribadian. Id didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan, keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak puas langsung, hasilnya adalah kecemasan negara atau ketegangan. Sebagai contoh, peningkatan rasa lapar atau haus harus menghasilkan upaya segera untuk makan atau minum. id ini sangat penting awal dalam hidup, karena itu memastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi. Jika bayi lapar atau tidak nyaman, ia akan menangis sampai tuntutan id terpenuhi.
Namun, segera memuaskan kebutuhan ini tidak selalu realistis atau bahkan mungkin. Jika kita diperintah seluruhnya oleh prinsip kesenangan, kita mungkin menemukan diri kita meraih hal-hal yang kita inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan keinginan kita sendiri. Perilaku semacam ini akan baik mengganggu dan sosial tidak dapat diterima. Menurut Freud, id mencoba untuk menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh prinsip kesenangan melalui proses utama, yang melibatkan pembentukan citra mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan.
Ego
Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk menangani dengan realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id dan memastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di dunia nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar, prasadar, dan tidak sadar. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang berusaha untuk memuaskan keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan sosial yang sesuai. Prinsip realitas beratnya biaya dan manfaat dari suatu tindakan sebelum memutuskan untuk bertindak atas atau meninggalkan impuls. Dalam banyak kasus, impuls id itu dapat dipenuhi melalui proses menunda kepuasan – ego pada akhirnya akan memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam waktu yang tepat dan tempat. Ego juga pelepasan ketegangan yang diciptakan oleh impuls yang tidak terpenuhi melalui proses sekunder, di mana ego mencoba untuk menemukan objek di dunia nyata yang cocok dengan gambaran mental yang diciptakan oleh proses primer id’s.
Superego
Komponen terakhir untuk mengembangkan kepribadian adalah superego. superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua orang tua dan masyarakat – kami rasa benar dan salah. Superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian.
Ada dua bagian superego:
Yang ideal ego mencakup aturan dan standar untuk perilaku yang baik. Perilaku ini termasuk orang yang disetujui oleh figur otoritas orang tua dan lainnya. Mematuhi aturan-aturan ini menyebabkan perasaan kebanggaan, nilai dan prestasi. Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang dianggap buruk oleh orang tua dan masyarakat. Perilaku ini sering dilarang dan menyebabkan buruk, konsekuensi atau hukuman perasaan bersalah dan penyesalan. Superego bertindak untuk menyempurnakan dan membudayakan perilaku kita. Ia bekerja untuk menekan semua yang tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk membuat tindakan ego atas standar idealis lebih karena pada prinsip-prinsip realistis. Superego hadir dalam sadar, prasadar dan tidak sadar.
Interaksi dari Ego, Id dan superego
Dengan kekuatan bersaing begitu banyak, mudah untuk melihat bagaimana konflik mungkin timbul antara ego, id dan superego. Freud menggunakan kekuatan ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan ego berfungsi meskipun kekuatan-kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego yang baik dapat secara efektif mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan kekuatan ego terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras hati atau terlalu mengganggu.
1.3 Kesadaran dan ketaksadaran
Sumbangan-sumbangan freud terbesar adalah konsep-konsepnya tentang kesadaran dan ketaksadaran yang merupakan kunci-kunci untuk memahami tingkahlaku dan masalah-masalah kepribadaian. Ketaksadaran tidak bisa dipelajari secara langsung; ia bisa dipelajari dari tingkahlaku. Pembuktian klinis guna membuktian konsep ketaksadaran mencakup: (1) mimpi-mimpi, yang merupakan representasi-representasi simbolik dari kebutuhan-kebutuhan, hasrat-hasrat, dan koflik-konflik yak sadar; (2) salah ucap atau lupa misalnya terhadap nama yang di kenal; (3) sugesti-sugesti pasca hipnotik; (4) bahan-bahan yang berasal dari teknik-teknik saosiasi bebas; dan (5) bahan-bahan yang berasal dari teknik-teknik proyaktif.
Bagi Freud, kesadaran merupakan bagian terkecil dari keseluruhan jiwa. Seperti gunung es yang mengapung yang bagian terbesarnya berada di bawah permukaan air, bagian jiwa yang terbesar berada di bawah permukaan kesadaran. Ketaksadaran itu menyimpan pengalaman-pengalaman , ingtan-ingtan, dan bahan-bahan yang di represi. Kebutuhan-kebutuhan dan motivasi-motivasi yang tidak bisa dicapai yakni terletak di luar kesadaran/ juga berada di luar daerah kendali. Ferud juga percaya bahwa sebagian besar fungsi psikologis terletak di luar kawsan kesadaran.
1.4 Kecemasan
Kecemasan adalah suatu keadaan tegang yang memotivasi kita untuk berbuat sesuatu. Fungsinya adalah memperingatkan adanya ancaman bahaya-yakni sinyal bagi ego yang akan terus meningkat jika tindakan-tindakan yang layak untuk mengatasi acnaman bahaya itu tidak di ambil.
Ada tiga macam kecemasan: kecemasan relistis, kecemasan neorotik, dan kecemasan moral. Kecemasan realistis adalah ketakutan terhadap bahaya dari dunia eksternal, dan taraf kecemasannya sesuai dengan derajat ancaman yang ada, kecemasan neurotik adalah ketakutan terhadap tidak terkendalinya naluri-naluri yang menyebabkan seseorang melakukan sesuati tindakan yang bisa mendatangkan hukuman bagi dirinya. Kecemasan moral adalah ketakutan terhadap hati nurani sendiri.
1.5 Mekanisme pertahanan ego
Mekanisme pertahahan ego termasuk dalam teori psikoanalisis Sigmund Freud. Timbulnya mekanisme pertahanan ego tersebut, karena adanya kecemasan-kecemasan yang dirasakan individu. Maka, mekanisme pertahanan ego terkait dengan kecemasan individu. Adapun definisi kecemasan ialah perasaan terjepit atau terancam, ketika terjadi konflik yang menguasai ego (Boeree, 2005:42). Kecemasan-kecemasan ini ditimbulkan oleh ketegangan yang datang dari luar. Sigmund Freud sendiri mengartikan mekanisme pertahanan ego sebagai strategi yang digunakan individu untuk mencegah kemunculan terbuka dari dorongan-dorongan id maupun untuk menghadapi tekanan superego atas ego, dengan tujuan agar kecemasan bisa dikurangi atau diredakan. Mekanisme-mekanisme pertahanan ego itu tidak selalu patologis, dan bisa memiliki nilai penyesuaian jika tidak menjadi suatu gaya hidup untuk menghindari kenyataan. Mekanisme-mekanisme pertahanan ego yang digunakan oleh individu bergantung pada taraf perkembangan dan derajat kecemasan yang dialaminya. Berikut ini penjabaran-penjabaran singkat mengenai beberapa bentuk mekanisme pertahanan ego: (1) Penyangkalan, (2) Proyeksi, (3) Fiksasi, (4) Regresi, (5) Rasionalisasi, (6) sublimasi, (7) displacement, (8) represi, (9) formasi reaksi
Ø Penyangkalan: Pertahanan melawan kecemasan dengan “ menutup mata “ terhadap keberadaan kenyataan yang mengancam. Individu menolak sejumlah aspek kenyataan yang membangkitkan kecemasan. Contohnya, kecemasan atas kematian orang yang yang dicintai misalnya sering memanifestasikan oleh penyangkalan terhadap fakta kematian.
Ø Proyeksi: Mengalamatkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego kepada orang lain. Seseorang melihat pada diri orang lain hal-hal yang tidak disukai dan ia tidak bisa menerima adanya hal-hal yang itu pada diri sendiri, jadi dengan proyeksi seseorang akan mengutuk orang lain karena kejahatannya dan menyangkal memiliki dorongan jahat seperti itu.
Ø Fiksasi: Menjadi terpaku pada tahap-tahap yang lebih awal, karena mengambil langkah ketahap selanjutnya. Selanjutnya bisa menimbulkan kecemasan.
Ø Regresi: Melangkah mundur ke fase perkembangan yang lebih awal yang tuntutan-tuntutan tidak terlalu besar.
Ø Rasionalisasi: Menciptakan alasan-alasan yang baik guna menghindari ego dari cedera memalsukan diri sehingga kenyataan yang mengecewakan menjadi tidak menyakitkan.
Ø Sublimasi: Menggunakan jalan keluar yang lebih tinggi atau yang secara sosial lebih dapat diterima bagi dorongan-dorongannya.
Ø Displacement: Mengarahkan energy kepada objek atau orang lain apabila objek asal atau orang yang sesungguhnya tidak bisa dijangkau.
Ø Represi: Sebentuk upaya pembuangan setiap bentuk impuls, ingatan, atau pengalaman yang menyakitkan atau memalukan dan menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.
Ø Formasi reaksi: Melakukan tindakan yang berlawanan dengan hasrat-hasrat tak sadar jika perasaan-perasaan yang lebih dalam menimbulkan ancaman maka seseorang menampilkan tingkah laku yang berlawanan guna menyangkal perasaan-perasaan yang menimbulkan ancaman.
2. Perkembangan Kepribadian
2.1 Pentingnya perkembangan awal
Sumbangan yang berarti dari model psikoanalitik adalah pelukisan tahap-tahap perkembangan psikososial dan psikoseksual individu dari lahir hingga dewasa. Kepada konselor ia menyuguhkan perangkat-perangkat konseptual bagi pemahaman kecenderungan-kecendrungan dalam perkembangan, karakteristik tugas-tugas perkembangan utama dari berbagai taraf pertumbuhan, fungsi personal dan sosial yang normal dan abnormal, kebutuhan-kebutuhan yang kritis berikut dan frustrasinya, sumber-sumber kegagalan perkembangan kepribadian yang mengarah pada masalah-masalah penyesuaian di kemudian hari, serta penggunaan mekanisme-mekanisme pertahanan ego yang sehat dan tidak sehat. Freud telah menemukan bahwa masalah-masalah yang paling khas yang dibawa orang-orang, baik dalam kondisi-kondisi konseling individual maupun kelompok, terdiri dari: (1) ketidakmampuan menaruh kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain, ketakutan untuk mencintai dan untuk membentuk hubungan intim, dan rendahnya rasa harga diri; (2) ketidakmampuan mengakui dan mengungkapkan perasaan-perasaan benci dan marah, penyangkalan terhadap kekuatan sendiri sebagai pribadi, dan kekurangan perasaan-perasaan otonom; (3) ketidakmampuan menerima sepenuhya seksualitas dan perasaan-perasaan diri-sendiri, kesulitan untuk menerima diri-sendiri sebagai pria dan wanita, dan ketakutan terhadap seksualitas. Menurut pandangan psikoanalitik Freudian, ketiga area perkembangan personal dan sosial (cinta dan rasa percaya, penanganan perasaan-perasaan negatif, dan pengembangan penerimaan yang positif terhadap seksualitas) itu berlandaskan lima tahun pertama dari kehidupan. Periode perkembangan ini merupakan landasan bagi perkembangan kepribadian selanjutnya.
2.2 Tahun pertama kehidupan: fase oral
Freud mengajukan teori tentang seksualitas infantil. Sejak Freud, kegagalan masyarakat untuk mengakui seksualitas infantil bisa diterangkan oleh tabu-tabu kultural, dan setiap represi individu atas pengalaman-pengalaman infantile dan masa kanak-kanak berada dalam area ini. Dari lahir sampai akhir usia satu tahun seorang bayi menjalani fase oral. Menghisap buah dada ibu memuaskan kebutuhannya akan makanan dan kesenangan. Karena mulut dan bibir merupakan zone-zone erogen yang peka selama fase oral ini, bayi mengalami kenikmatan erotik dari tindakan menghisap. Benda-benda yang dicari oleh anak dapat menjadi substitut-subtitu bagi apa-apa yang sesungguhnya diinginkannya yakni makanan dan cinta dari ibunya. Tugas perkembangan utma fase oral adalah memperoleh rasa percaya kepada orang lain, kepada dunia, dan kepada diri sendiri. Cinta adalah suatu perlindungan terbaik terhadap ketakutan dan ketidakamanan. Anak-anak yang dicintai oleh orang lain hanya mendapat sedikit kesulitan dalam menerima dirinya sendiri. Sedangkan anak yang merasa tidak diinginkan, tidak diterima, dan tidak dicintai, cenderung mengalami kesulitan yang besar dalam menerima diri sendiri. Efek penolakan pada fase oral adalah kecenderungan dimasa kanak-kanak selanjutnya untuk menjadi penakut, tidak aman, haus akan perhatian, iri, agresif, benci, dan kesepian.
2.3 Usia satu sampai tiga tahun: fase anal
Fase oral metuntut untuk mengalami rasa bergantung yang sehat, menaruh kepercayaan pada dunia, dan menerima cinta, sedangkan fase anal menandai langkah lain dalam perkembangan kepribadian. Tugas-tugas yang harus diselesaikan selama fase ini adalah belajar mandiri, memiliki kekuatan pribadi dan otonomi, serta belajar bagaimana mengakui dan menangani perasaan-perasaan tang negatif. Selama fase anal, anak dipastikan akan mengalami perasaan-perasaan negatif seperti benci, hasratmerusak, marah, dan sebagainya, penting bagi anda untuk belajar bahwa perasaan-perasaan yang negatif itu bisa diterima adanya, hal yang juga penting pada fase ini adalah, anak memperoleh rasa memiliki kekuatan, kemandirian, dan otonomi. Pada fase anal ini anak perlu bereksperimen, berbuat salah, dan merasa bahwa mereka tetep diterima untuk kesalahannya itu, dan menyadari diri sebagai individu yang terpisah dan mandiri.
2.4 Usia tiga sampai lima tahun: fase falik
Kita telah melihat bahwa diantara usia satu dan tiga tahun seorang anak menyingkirkan cara-cara yang infantil, dan secara aktif maju mendaki dunia yang lain. Ini fase ketika kesanggupan-kesanggupan untuk berjalan, berbicara, berpikir, dan mengendalikan otot-otot berkembang pesat. Masturbasi yang disertai oleh fantasi-fantasi seksual adalah hal yang normal pada masa kanak-kanak awal. Pada fase falik, masturbasi itu meningkatkan frekuensinya. Eksperimentasi masa kanak-kanak adalah hal yang umum, dan karena banyak sikap terhadap seksualitas yang bersumber pada fase falik, maka penerimaan terhadap seksualitas dan penanganan dorongan seksualitas pada fase ini menjadi penting. Fase falik adalah periode perkembangan hati nurani, suatu masa ketika anak-anak belajar mengenal standar-standar moral. Selama fase falik anak perlu belajar menerima persaan-perasaan seksualitas seksualnya sebagai hal yang alamiah dan belajar memandang tubuhnya sendiri secara sehat. Fase falik ini anak membentuk sikap-sikap mengenai kesenangan fisik, mengenai apa yang “ benar “ dan “ salah” serta mengenai apa yang “ maskulin “ dan yang “ feminim”. Fase falik memiliki implikasi-implikasi yang berarti bagi konselor yang sedang menangani orang-orang dewasa. Banyak konseli yang tidak pernah sepenuhnya mampu memahami perasaan-perasaan tentang seksualitasnya sendiri. Mereka memiliki perasaan-perasaan yang sangat membingungkan sehubungan dengan indenfikasi peran seksual, dan mereka berada dalam pergulatan untuk menerima perasaan-perasan dan tingkah laku seksualnya sendiri. Denagn demikian, mereka juga akan menyadari bahwa, meskipun sikap-sikap dan tingkah laku mereka yang sekarang dibentuk oleh masa lampau, mereka tidak ditakdirkan untuk terus menjadi korban masa lampau.
3. Proses konselingutik
3.1 Tujuan-tujuan konselingutik
Tujuan konseling psikoanalitik adalah membentuk kembali struktur karakter individual dengan jalan membuat kesadaran yang tidak disadari didalam diri konseli. Proses konselingutik difokuskan pada upaya mengalami kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak. Pengalaman-pengalaman masa lampau direkonstruksi, dibahas, dianalisis, ditafsirkan, dengan sasaran merekonstruksi kpribadian. Konseling psikonalitik menekankan dimensi afektif dari upaya menjadikan ketidaksadaran diketahui. Pemahaman dan pengertian intelektual memiliki arti penting, tetapi perasaan-perasaan dan ingatan-ingatan yangberkaitan dengan pemahaman diri lebih penting lagi.
3.2 Fungsi dan Peran Konselor
Karakteristik psikoanalisis adalah, konselor atau analis membiarkan dirinya anonim serta hanya berbagi sedikit perasaan dan pengalaman sehingga konseli memproyeksikan dirinya kepada analis. Proyeksi-proyeksi konseli, yang menjadi bahan konseling, ditafsirkan dan dianalisis. Analis terlebih dahulu harus membangunkan hubungan kerja dengan konseli, kemudian perlu banyak mendengar dan menafsirkan. Analis memberikan perhatian khusus pada penolakan-penolakan konseli. Sementara yang dilakukan oleh konseli sebagian besar adalah berbicara, yang dilakukan oleh analis adalah mendengarkan dan berusaha untuk mengetahui kapan dia harus membuat penafsiran-penafsiran yang layak untuk mempercepat proses penyingkapan hal-hal yang tidak disadari. Analis mendengarkan kesenjangan-kesenjangan dan pertentangan-pertentangan pada cerita konseli, mengartikan mimpi-mimpi dan asosiasi bebas yang dilaporkan oleh konseli mengamati konseli secara cermat selama pertemuan konseling berlangsung, dan peka terhadap isyarat-isyarat yang menyangkut perasaan-perasaan konseli pada analis. Fungsi utama analis adalah mengajarkan arti proses-proses pada konseli sehingga konseli mampu memperoleh pemahaman terhadap masalah-masalahnya sendiri, mengalami peningkatan kesadaran atas cara-cara untuk berubah dan dengan demikian, memperoleh kendali yang lebih rasional atas kehidupannya sendiri.
3.3 Pengalaman Konseli dalam Konselor
Konseli harus bersedia melibatkan diri dalam proses konseling dan berjaka panjang. Biasanya konseli mendatangi konseling beberapa kali seminggu dalam masa tiga sampai 5 tahun. Pertemuan konseling biasaya berlangsung 1 jam. Setelah beberapa kali pertemuan tatap muka dengan analis, konseli kemudian diminta berbaring melakukan asosiasi bebas, yakni mengatakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Konseli mencapai kesepakatan dengan analis mengenai pembayaran biaya konseling, mendatangi pertemuan konseling pada waktu tertentu, dan bersedia terlibat dalam proses intensif. Konseli sepakat untuk berbicara karena produksi-produksi verbal konseli merupakan konseling psikoanalitik. Selama konseling konseli bergerak melalui tahap-tahap tertentu: mengembangkan hubungan dengan analis., mengalami krisis treatment, memperoleh pemahaman atas masa lampaunya yang tak disadari, mengembangkan resistansi-resistansi untuk belajar lebih banyak tentang diri sendiri, mengembangkan suatu hubungan transferensi dengan analis, memperdalam konseling, menangani resistansi-resistansi dan masalah yang tersingkap, dan mengakhiri konseling.
3.4 Hubungan antara konselor dan konseli
Hubungan konseli dengan analis dikonseptualkan dalam proses transferensi yang menjadi inti pendekatan psikoanalitik. Transferensi mendorong konseli untuk mengalamatkan pada analis “urusan yang tak selesai” yang terdapat hubungan konseli di masa lampau dengan orang yang berpengaruh. Transferensi terjadi pada saat konseli membangkitkan kembali konflik-konflik masa dirinya yang menyangkut cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan, dan dendamnya membawa konflik-konflik itu kesaat sekarang, mengalami kembali, dan menyangkutkannya pada analis. Konseli kemungkinan memandang analis sebagai figur kekuasaan yang menghukum, menuntut, dan mengendalikan. Jika konseling yang diinginkan memiliki pengaruh menyembuhkan, maka hubungan transferensi harus digarap. Proses penggarapannya melibatkan eksplorasi oleh konseli atas kesejajaran-kesejararan antara pengalaman masa lampau dan pengalaman masa kini. Jika analis mengembangkan pandangan-pandangan yang tidak selaras yang berasal dari konflik-konfliknya sendiri maka akan terjadi kontratransferensi. Kontratransferensi ini bisa terdiri dari perasaan tidak suka atau keterikatan dan keterlibatan yang berlebihan. Analisis harus menyadariperasaan-perasaannya terhadap konseli dan mencegah pengaruh-pengaruhnya yang merusak. Analis diharapkan agar relative objektif dalam menerima kemarahan, cinta, rujukan, kritik, dan perasaan-perasaan lainnya yang kuat dari konseli. Sebagian besar program latihan psikoanalitk mewajibkan calon analis untuk menjalani analisis yang intensif sebagai konseli. Analis dianggap telah berkembang mencapai taraf dimana konflik-konflik utamanya sendiri terselesaikan,dan karenanya dia mampu memisahkan kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalahnya sendiri dari situasi konseling. Sebagai hasil hubungan terapeutik, khususnya penggarapan situasi transferensi, konseli memperoleh pemahaman terhadap psikodinamika-psikodinamika tak sadarnya. Kesadaran dan pemahaman atas bahan yang direfresi merupakan landasan bagi proses pertumbuhan analitik. Konseli mampu memahami asosiasi antara pengalaman-pengalaman masa lampaunya dengan kehidupan sekarang. Pendekatan psikoanalitik berasumsi bahwa kesadaran diri ini bisa secara otomatis mangarah pada perubahan kondisi konseli.
4. Teknik-teknik terapeutik
4.1 Asosiasi bebas
Teknik pokok dalam terapai psikoanalisa adalah asosiasi bebas. Konselor memerintahkan konseli untuk menjernihkan pikiranya dari pemikiran sehari-hari dan sebanyak mungkin untuk mengatakan apa yang muncul dalam kesadaranya. Yang pokok, adalah konseli mengemukakan segala sesuatu melalui perasaan atau pemikiran dengan melaporkan secepatnya tanpa sensor. Asosiasi bebas adalah suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasn emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi-situasi traumatic dimasa lampau yang dikenal dengan sebutan kataris. Kataris hanya menghasilkan peredaan sementara atas pengalaman-pengalaman menyakitkan yang dialami konseli, tidak memainkan peran utama dalam proses treatment psikoanalitik kontemporer: kataris mendorong konseli untuk menyalurkan sejumlah perasaannya yang terpendam, dan karenanya meratakan jalan bagi pencapaian pemahaman. Guna membantu konseli dalam memperoleh pemahaman dan evaluasi diri yang lebih obyektif, analis menafsirkan makna-makna utama dari asosiasi bebas ini. Selama proses asosiasi bebas berlangsung, tugas analis adalah mengenali bahan yang direpres dan dikurung di dalam ketaksadaran.
4.2 Penafsiran
Penafsiran adalah suatu prosedur dasar dalam menganalisis asosiasi-asosiasi bebas, mimpi-mimpi, resistensi-resistensi, dan transferensi-transferensi. Prosedurnya terdiri atas tindakan-tindakan analis yang menyatakan, menerangkan, bahkan mengajari konseli makna-makna tingkah laku yang dimanifestasikan oleh mimpi-mimpi, asosiasi bebas, resistensi-resistensi, dan oleh hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi penafsiran-penafsiran adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru dan mempercepat proses penyingkapan bahan tak sadar lebih lanjut. Penafsiran-penafsiran analis menyebabkan pemahaman dan tidak terhalanginya bahan tak sadar pada pihak konseli. Penafsiran-penafsiran harus tepat waktu, sebab konseli akan menolak penafsiran-penafsiran yang diberikan pada saat yang tidak tepat. Sebuah aturan umum adalah bahwa penafsiran harus disajikan pada saat gejala yang hendak ditafsirkan itu dekat dengan kesadaran konseli. Aturan umum yang lainnya adalah bahwa penafsiran harus berawal dari permukaan serta menembus hanya sedalam konseli mampu menjangkaunya sementara dia mengalami situasi itu secara emosional. Aturan umum yang ketiga adalah bahwa resistensi atau pertahanan paling baik ditunjukan sebelum dilakukan penafsiran atas emosi atau konflik yang ada di baliknya.
4.3 Analis mimpi
Analisis mimpi adalah sebuah prosedur yang penting untuk menyikap bahan yang tak disadari dan memberikan kepada konseli pemahaman atas beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Freud memandang mimpi-mimpi sebagai “jalan istimewa menuju ketaksadaran”, sebab melalui mimpi-mimpi itu hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan-ketakutan yang tak disadari. Mimpi-mimpi memiliki dua taraf isi: isi laten dan isi manifest. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tak disadari. Karena begitu menyakitkan dan mengancam, dorongan-dorongan seksual dan agresif tak sadar yang merupakan isi laten ditransformasikan kedalam isi manifest yang lebih dapat diterima, yakni impian sebagaimana yang tampil pada si pemimpi. Proses transformasi isi laten mimpi kedalam isi manifest yang kurang mengancam itu disebut kerja mimpi. Selama jam analitik, analis bisa meminta konseli untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifest impian guna menyingkap makna-makna yang terselubung.
4.4 Analis dan Penafsiran Resistensi
Resistensi, sebuah konsep yang fundamental dalam praktek konseling psikoanalitik, adalah sesuatu yang melawan kelangsungan konseling dan mencegah konseli mengemukakan bahan yang tak disadari. Freud memandang resistensi sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh konseli sebagai pertahanan terhadap kecemasaan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkatkan jika konseli menjadi sadar atas dorongan-dorongan dan perasaan-perasaannya yang direpresi itu. Resistensi ditujukan untuk mencegah bahan yang mengancam memasuki ke kesadaran, analis harus menunjukkannya dengan konseli harus menghadapinya jika dia mengharapkan bisa menangani komplik-komplik secara realitis. Penafsiran analis atas resistensi ditujukan untuk membantu konseli agar menyadari alasan-alasan yang ada dibalik resistensi sehingga dia bisa menanganinya. Resistensi-resistensi bukanlah hanya sesuatu yang harus diatasi. Karena merupakan perwujutan dari pendekatan-pendekatan defensif konseli yang biasa dalam kehidupan sehari-harinya, resistensi-resistensi harus dilihat sebagai alat bertahan terhadap kecemasan, tetapi menghambat kemampuan konseli untuk mengalami kehidupan yang lebih memuaskan.
4.5 Analisis dan penafsiran transferensi
Sama halnya dengan resistensi, transferensi merupakan inti dari konseling psikoanalitik. Analisis transferensi adalah teknik yang utama dalam psikoanalisis, sebab mendorong konseli untuk menghidupkan kembali masa lampau dalam konseling. Ia memungkinkan konseli mampu memperoleh pemahaman atas sifat dari fiksasi-fiksasi dan deprivasi-deprivasinya, dan menyajikan pemahaman tentang pengaruh masa lampau terhadap kehidupannya sekarang. Penafsiran hubungan transferensi juga memungkinkan konseli mampu menembus konflik-konflik masa lampau yang tetapdipertahankannya hingga sekarang dan yang menghambat pertumbuhan emosionalnya. Singkatnya, efek-efek psikopatologis dari hubungan masa dini yang tidak diinginkan, dihambat oleh penggarapan atas konflik emosional yang sama yang terhadap dalam hubungan konselingutik dengan analis.
1. Konsep Dasar Tentang Manusia
Pendekatan Eksistensial-humanistik berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Pendekatan Eksisteneial-Humanistik dalam konseling menggunakan sistem tehnik-tehnik yang bertujuan untuk mempengaruhi konseli. Pendekatan konseling eksistensial-humanistik bukan merupakan konseling tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup konseling-konseling yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia. Konsep-konsep utama pendekatan eksistensial yang membentuk landasan bagi praktek konseling, yaitu:
a. Kesadaran Diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri seorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. Kesadaran untuk memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan secara bebas didalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai tanggung jawab. Para ekstensialis menekan manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.
b. Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan ekstensial bisa diakibatkan atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (nonbeing). Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesasaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa ekstensial yang juga merupakan bagian kondisi manusia. Adalah akibat dari kegagalan individu untuk benar-benar menjadi sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
c. Penciptaan Makna
Manusia itu unik dalam arti bahwa ia berusaha untuk menentukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia juga berarti menghadapi kesendirian (manusia lahir sendirian dan mati sendirian pula). Walaupun pada hakikatnya sendirian, manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah mahluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna bisa menimbulkan kondisi-kondisi isolasi dipersonalisasi, alineasi, kerasingan, dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Sampai tarap tertentu, jika tidak mampu mengaktualkan diri, ia bisa menajdi “sakit”.
2. Proses Konseling
Ada tiga tahap proses konseling yaitu
1. Konselor membantu konseli dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka tentang dunia. Konseli diajak untuk mendefinisikan dan menayakan tentang cara mereka memandang dan menjadikan eksistensi mereka bisa diterima. Mereka meneliti nilai mereka, keyakinan, serta asumsi untuk menentukan kesalahannya. Bagi banyak konseli hal ini bukan pekerjaan yang mudah, oleh karena itu awalnya mereka memaparkan problema mereka. Konselor disini mengajarkan mereka bagaimana caranya untuk bercermin pada eksistensi mereka sendiri.
2. Konseli didorong semangatnya untuk lebih dalam lagi meneliti sumber dan otoritas dari sistem nilai mereka. Proses eksplorasi diri ini biasanya membawa konseli ke pemahaman baru dan berapa restrukturisasi dari nilai dan sikap mereka. Konseli mendapat cita rasa yang lebih baik akan jenis kehidupan macam apa yang mereka anggap pantas. Mereka mengembangkan gagasan yang jelas tentang proses pemberian nilai internal mereka.
3. Konseling eksistensial berfokus pada menolong konseli untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka sendiri. Sasaran konseling adalah memungkinkan konseli untuk bisa mencari cara pengaplikasikan nilai hasil penelitian dan internalisasi dengan jalan kongkrit. Biasanya konseli menemukan jalan mereka untuk menggunakan kekuatan itu demi menjalani konsistensi kehidupannya yang memiliki tujuan.
3. Penerapan langkah / Teknik dalam konseling
Teori eksistensial-hunianistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Prosedur-prosedur konseling bisa dipungut dari beberapa teori konseling lainnya. Metode-metode yang berasal dari teori Gestalt dan Analisis Transaksional sering digunakan, dan sejumlah prinsip dan prosedur psikoanalisis bisa diintegrasikan ke dalam teori eksistensial-humanistik. Buku The Search for "Authenticity (1965) dari Bugental adalah sebuah karya lengkap yang mengemukakan konsep-konsep dan prosedur-prosedur psikokonseling eksistensial yang berlandaskan model psikoanalitik. Bugental menunjukkan bahwa konsep inti psikoanalisis tentang resistensi dan transferensi bisa diterapkan pada filsafat dan praktek konseling eksistensial. Ia menggunakan kerangka psikoanalitik untuk menerangkan fase kerja konseling yang berlandaskan konsep-konsep eksistensial seperti kesadaran, emansipasi dan kebebasan, kecemasan eksistensial, dan neurosis eksistensial.
Rollo May (1953,1958,1961), seorang psikoanalisis Amerika yang diakui luas atas pengembangan psikokonseling eksistensial di Amerika, juga telah mengintegrasikan metodologi dan konsep-konsep psikoanalisis ke dalam psikokonseling eksistensial.
Pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang menempati kedudukan sentral dalam konseling adalah: Seberapa besar saya menyadari siapa saya ini? Bisa menjadi apa saya ini? Bagaimana saya bisa memilih menciptakan kembali identitas diri saya yang sekarang? Seberapa besar kesanggupan saya untuk menerima kebebasan memilih jalan hidup saya sendiri? Bagaimana saya mengatasi kecemasan yang ditimbulkan oleh kesadaran atas pilihan-pilihan? Sejauh mana saya hidup dari dalam pusat diri saya sendiri? Apa yang saya lakukan untuk menemukan makna hidup ini? Apa saya menjalani hidup, ataukah saya hanya puas atas keberadaan saya? Apa yang saya lakukan untuk membentuk identitas pribadi yang saya inginkan? Pada pembahasan di bawah ini diungkap dalil-dalil yang mendasari praktek konseling eksistensial-humanistik. Dalil-dalil ini, yang dikembangkan dari suatu survai atas karya-karya para penulis psikologi eksistensial, berasal dari Frankl (1959,1963), May (1953, 1958, 1961), Maslow (1968), Jourard (1971), dan Bugental (1965), merepresentasikan sejumlah tema yang penting yang merinci praktek-praktek konseling.
a. Tema-Tema Dan Dalil-Dalil Utama Eksistensial dan Penerapan-Penerapan Pada Praktek Konseling
Dalil 1 : Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari diri yang menjadikan dirinya mampu melampaui situasi sekarang dan membentuk basis bagi aktivitas-aktivitas berpikir dan memilih yang khas manusia.
Kesadaran diri itu membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Manusia bisa tampil di luar diri dan berefleksi atas keberadaannya. Pada hakikatnya, semakin tinggi kesadaran diri seseorang, maka ia semakin hidup sebagai pribadi atau sebagaimana dinyatakan oleh Kierkegaard, "Semakin tinggi kesadaran, maka semakin utuh diri seseorang." Tanggung jawab berlandaskan kesanggupan untuk sadar. Dengan kesadaran, seseorang bisa menjadi sadar atas tanggung jawabnya untuk memilih. Sebagaimana dinyatakan oleh May (1953), "Manusia adalah makhluk yang bisa menyadari dan, oleh karenanya, bertanggung jawab atas keberadaannya”.
Kesadaran bisa dikonseptualkan dengan cara sebagai berikut: Umpamakan Anda berjalan di lorong yang di kedua sisinya terdapat banyak pintu, Bayangkan bahwa Anda bisa membuka beberapa pintu, baik membuka sedikit ataupun membuka lebar-lebar. Barangkali, jika Anda membuka satu pintu, Anda tidak akan menyukai apa yang Anda temukan di dalamnya menakutkan atau menjijikkan. Di lain pihak, Anda bisa menemukan sebuah ruangan yang dipenuhi oleh keindahan. Anda mungkin berdebat dengan diri sendiri, apakah akan membiarkan pintu itu tertutup atau terbuka.
Apabila seorang konselor dihadapkan pada konseli yang kesadaran dirinya kurang maka konselor harus menunjukkan kepada konseli bahwa harus ada pengorbanan untuk meningkatkan kesadaran diri. Dengan menjadi lebih sadar, konseli akan lebih sulit untuk “ kembali ke rumah lagi “, menjadi orang yang seperti dulu lagi.
Dalil 2 : Kebebasan dan tanggung jawab
Manusia adalah makhluk yang menentukan diri, dalam arti bahwa dia memiliki kebebasan untuk memilih di antara altematif-altematif. Karena manusia pada dasamya bebas, maka dia harus bertanggung jawab atas pengarahan hidup dan penentuan nasibnya sendiri.
Pendekatan eksistensial meletakkan kebebasan, determinasi diri, keinginan, dan putusan pad a pusat ke beradaan manusia. Jika kesadaran dan kebebasan dihapus dari manusia, maka dia tidak lagi hadir sebagai manusia, sebab kesanggupan-k esanggupan itulah yang memberinya kemanusiaan. Pandangan eksistensial adalah bahwa individu, dengan putusan-putusannya, membentuk nasib dan mengukir keberadaannya sendiri. Seseorang menjadi apa yang diputuskannya, dan dia harus bertanggung jawab atas jalan hid.up yang ditempuhnya. Tillich mengingatkan, "Manusia benar-benar menjadi manusia hanya saat mengambil putusan. Sartre mengatakan, "Kita adalah pilihan kita." Nietzsche menjabarkan kebebasan sebagai "kesanggupan untuk menjadi apa yang memang kita alami". Ungkapan Kierkegaard, "memilih diri sendiri", menyiratkan bahwa seseorang bertanggung jawab atas kehidupan dan keberadaannya. Sedangkan Jaspers menyebutkan bahwa "kita adalah makhluk yang memutuskan".
Tugas konselor adalah mendorong konseli untuk belajar menanggung risiko terhadap akibat penggunaan kebebasannya. Yang jangan dilakukan adalah melumpuhkan konseli dan membuatnya bergantung secara neurotik pada konselor. Konselor perlu mengajari konseli bahwa dia bisa mulai membuat pilihan meskipun konseli boleh jadi telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk melarikan diri dari kebebasan memilih.
Dalil 3: Keterpusatan dan kebutuhan akan orang lain
Setiap individu memiliki kebutuhan untuk memelihara keunikan tetapi pada saat yang sama ia memiliki kebutuhan untuk keluar dari dirinya sendiri dan untuk berhubungan dengan orang lain serta dengan alam. Kegagalan dalam berhubungan dengan orang lain dan dengan alam menyebabkan ia kesepian dan mengalamin keterasingan.
Kita masing-masing memiliki kebutuhan yang kuat untuk menemukan suatu diri, yakni menemukan identitas pribadi kita. Akan tetapi, penemuan siapa kita sesungguhnya bukanlah suatu proses yang otomatis; ia membutuhkan keberanian. Secara paradoksal kita juga memiliki kebutuhan yang kuat untuk keluar dari keberadaan kita. Kita membutuhkan hubungan dengan keberadaan-keberadaan yang lain. Kita harus memberikan diri kita kepada orang lain dan terlibat dengan mereka.
Usaha menemukan inti dan belajar bagaimana hidup dari dalam memerlukan keberanian. Kita berjuang untuk menemukan, untuk menciptakan, dan untuk memelihara inti dari ada kita. Salah satu ketakutan terbesar dari para konseli adalah bahwa mereka akan tidak menemukan diri mereka. Mereka hanya menganggap bahwa mereka bukan siapa-siapa.
Para konselor eksistensial bisa memulai dengan meminta kepada para konselinya untuk mengakui perasaannya sendiri. Sekali konseli menunjukan keberanian untuk mengakui ketakutannya, mengungkapkan ketakutan dengan kata-kata dan membaginya, maka ketakutan itu tidak akan begitu menyelubunginya lagi. Untuk mulai bekerja bagi konselor adalah mengajak konseli untuk menerima cara-cara dia hidup di luar dirinya sendiri dan mengeksplorasi cara-cara untuk keluar dari pusatnya sendiri.
Dalil 4 : Pencarian makna
Salah satu karakteristik yang khas pada manusia adalah perjuangannya untuk merasakan arti dan maksud hidup. Manusia pada dasarnya selalu dalam pencarian makna dan identitas pribadi.
Biasanya konflik-konflik yang mendasari sehingga membawa orang-orang ke dalam konseling adalah dilema-dilema yang berkisar pada pertanyaan-pertanyaan eksistensial: Mengapa saya berada? Apa yang saya inginkan dari hidup? Apa maksud dan makna hidup saya?
Konseling eksistensial bisa menyediakan kerangka konseptual untuk membantu konseli dalam usahanya mencari makna hidup. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan oleh konselor kepada konseli adalah: 'Apakah Anda menyukai arah hidup Anda? Apakah Anda puas atas apa Anda sekarang dan akan menjadi apa Anda nanti? Apakah Anda aktif melakukan sesuatu yang akan mendekatkan Anda pada ideal-diri Anda? Apakah Anda mengetahui apa yang Anda inginkan? Jika Anda bingung mengenai siapa Anda dan apa yang Anda inginkan, apa yang Anda lakukan untuk memperoleh kejelasan?
Salah satu masalah dalam konseling adalah penyisihan nilai-nilai tradisional (dan nilai-nilai yang dialihkan kepada seseorang) tanpa disertai penemuan nilai-nilai lain yang sesuai untuk menggantikannya. Tugas konselor dalam proses konseling adalah membantu konseli dalam menciptakan suatu sistem nilai berlandaskan cara hidup yang konsisten dengan cara ada-nya konseli.
Konselor harus menaruh kepercayaan terhadap kesanggupan konseli dalam menemukan sistem nilai yang bersumber pada dirinya sendiri dan yang memungkinkan hidupnya bermakna. Konseli tidak diragukan lagi akan bingung dan mengalami kecemasan sebagai akibat tidak adanya ni1ai-nilai yang jelas. Kepercayaan konselor terhadap konseli adalah variabel yang penting dalam mengajari konseli agar mempercayai kesanggupannya sendiri dalam menemukan sumber nilai-nilai baru dari dalam dirinya.
Dalil 5 : Kecemasan sebagai syarat hidup
Kecemasan adalah suatu karakteristik dasar manusia. Kecemasan tidak perlu merupakan sesuatu yang patologis, sebab ia bisa menjadi suatu tenaga motivasi yang kuat untuk pertumbuhan. Kecemasan adalah akibat dari kesadaran atas tanggung jawab untuk memilih.
Kebanyakan orang mencari bantuan profesional karena mereka mengalami kecemasan atau depresi. Banyak konseli yang memasuki kantor konselor disertai harapan bahwa konselor akan mencabut penderitaan mereka atau setidaknya akan memberikan formula tertentu untuk mengurangi kecemasan mereka. Konselor yang berorientasi eksistensial, bagaimanapun, bekerja tidak semata-mata untuk menghilangkan gejala-gejala atau mengurangi kecemasan. Sebenamya, konselor eksistensial tidak memandang kecemasan sebagai hal yang tak diharapkan. Ia akan bekerja dengan cara tertentu sehingga untuk sementara konseli bisa mengalami peningkatan taraf kecemasan. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan adalah: Bagaimana konseli mengatasi kecemasan? Apakah kecemasan merupakan fungsi dari pertumbuhan ataukah fungsi kebergantungan pada tingkah laku neurotik? Apakah konseli menunjukkan keberanian untuk membiarkan dirinya menghadapi kecemasan atas hal-hal yang tidak dikenalnya?
Kecemasan adalah bahan bagi konseling yang produktif, baik konseling individual maupun konseling kelompok. Jika konseli tidak mengalami kecemasan, maka motivasinya untuk berubah akan rendah. Kecemasan dapat ditransformasikan ke dalam energi yang dibutuhkan untuk bertahan menghadapi risiko bereksperimen dengan tingkah laku baru.
Dalil 6: Kesadarau atas kematian dan non-ada
Kesadaran atas kematian adalah kondisi manusia yang mendasar, yang memberikan makna kepada hidup. Frankl (1965) sejalan dengan May menyebutkan bahwa kematian memberikan makna kepada keberadaan manusia. Jika kita tidak akan pernah mati, maka kita bisa menunda tindakan untuk selamanya. Akan tetapi, karena kita terbatas, apa yang kita lakukan sekarang memiliki arti khusus. Bagi Frankl, yang menentukan kebermaknaan hidup seseorang bukan lamanya, melainkan bagaimana orang itu hidup.
Dalil 7 Perjuangan untuk aktualisasi diri
Manusia berjuang untuk aktualisasi diri, yakni kecenderungan untuk menjadi apa saja yang mereka mampu. Setiap orang memiliki dorongan bawaan untuk menjadi seorang pribadi, yakni mereka memiliki kecenderungran kearah pengembangan keunikan dan ketunggalan, penemuan identitas pribadi, dan perjuangan demi aktualisasi potensi-potensinya secara penuh. Jika seseorang mampu mengaktualkan potensi-potensinya sebagai pribadi, maka dia akan mengalami kepuasan yang paling dalam yang bisa dicapai oleh manusia, sebab demikianlah alam mengharapkan mereka berbuat. Alam seolah-olah berkata kepada kita, "Kamu harus menjadi apa saja yang kamu bisa." Menjadi sesuatu memerlukan keberanian. Dan apakah kita ingin menjadi sesuatu atau tidak menjadi sesuatu adalah pilihan kita. Maslow merancang suatu studi yang menggunakan subjek-subjek yang terdiri dari orang-orang yang mengaktualkan diri. Beberapa ciri yang ditemukan oleh Maslow (1968, 1970) pada orang-orang yang mengaktualkan diri itu adalah: kesanggupan menoleransi dan bahkan menyambut ketidaktentuan dalam hidup mereka, penerimaan terhadap diri sendiri dan orang lain, kespontanan dan kreatifitas, kebutuhan akan privacy dan kesendirian, otomoni, kesanggupan menjalin hubungan interpersonal yang mendalam dan intens, perhatian yang tulus terhadap orang lain, rasa humor, keterarahan kepada diri sendiri (kebalikan dari kecenderungan untuk hidup berdasarkan pengharapan orang lain), dan tidak adanya dikotomi-dikotomi yang artifisial (seperti kerja-bermain, cinta-benci, lemah-kuat).
4. Fungsi dan Peran Konselor
Tugas utama Konselor adalah berusaha memahami konseli sebagai ada dalam-dunia. Teknik yang digunakan mengikuti alih-alih melalui pemahaman. Karena menekankan pada pengalaman konseli sekarang, para konselor eksistensial menunjukkan keleluasaan dalam menggunakan metode-metode, dan prosedur yang digunakan oleh mereka bervariasi tidak hanya dari konseli yang satu kepada konseli yang lainnya, tetapi juga dari satu ke lain fase konseling yang dijalani oleh konseli yang sama.
Meskipun konseling eksistesial bukan merupakan metode tunggal, di kalangan konselor eksistensial dan humanistik ada kesepakatan menyangkut tugas-tugas dan tanggung jawab konselor. Buhler dan Allen (1972) sepakat bahwa psikokonseling difokuskan pada pendekatan terhadap hubungan manusia alih-alih system teknik. Menurt Buhler dan Allen, para ahli psikologi humanistik memiliki orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut :
1. Mengakui pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.
2. Menyadari dari peran dari tangung jawab konselor.
3. Mengakui sifat timbal balik dari hubungan konseling.
4. Berorientasi pada pertumbuhan.
5. Menekankan keharusan konselor terlibat dengan konseli sebagai suatu pribadi yang menyeluruh.
6. Mengakui bahwa putusan-putusan dan pilihan-pilihan akhir terletak ditangan konseli.
7. Memandang konselor sebagai model, dalam arti bahwa konselor dengan gaya hidup dan pandangan humanistiknya tentang manusia bisa secara implisit menunjukkan kepada konseli potensi bagi tindakan kreatif dan positif.
8. Mengakui kebebasan konseli untuk mengungkapkan pandangan dan untuk mengembangkan tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.
9. Bekerja kearah mengurangi kebergantungan konseli serta meningkatkan kebebasan konseli.
May (1961) memandang tugas konselor di antaranya adalah membantu konseli agar menyadari keberadaannya dalam dunia: “Ini adalah saat ketika konseli melihat dirinya sebagai orang yang terancam, yang hadir di dunia mengancam, dan sebagai subjek yang memiliki dunia”.
Jika konseli mengungkapkan perasan-perasaannya kepada konselor pada pertemuan konseling, maka konselor sebaiknya bertindak sebagai berikut:
1. Memberikan reaksi-reaksi pribadi dalam kaitan dengan apa yang dikatakan oleh konseli.
2. Terlibat dalam sejumlah pernyataan pribadi yang relevan dan pantas tentang pengalaman-pengalaman yang mirip dengan yang dialami oleh konseli.
3. Meminta kepada konseli untuk bisa mengungkapkan ketakutannya terhadap keharuan memilih dalam dunia yang tak pasti.
4. Menantang konseli untuk melihat seluruh cara dia menghindari pembuatan putusan-putusan, dan memberikan penilaian terhadap penghindaran itu.
5. Mendorong konseli untuk memeriksa jalan hidupnya pada periode sejak mulai konseling dengan bertanya.
6. Beri tahu kepada konseli bahwa ia sedang mempelajari apa yang dialaminya sesungguhnya adalah suatu sifat yang khas sebagai manusia. Bahwa dia pada akhirnya sendirian, bahwa dia harus memutuskan untuk dirinya sendiri, bahwa dia akan mengalami kecemasan atas ketidakpastian putusan-putusan yang dia buat, dan bahwa dia akan berjuang untuk menetapkan makna kehidupannya di dunia yang sering tampak tak bermakna.
a. Hubungan antara Konselor dan Konseli
Hubungan konselor sangat penting dalam konseling eksistensial. Penekanan diletakkan pada pertemuan antar manusia dan perjalanan bersama alih-alih pada teknik – teknik yang memepengaruhi konseli. Isi pertemuan konseling adalah pengalaman konseli sekarang, bukan “masalah” konseli. Hubungan dengan orang lain dalam kehadiran yang otentik difokuskan kepada “disini dan sekarang”. Masa lampau atau masa depan hanya penting bila waktunya berhubungan langsung.
Dalam menulis tentang hubungan konseling, Sidney Jourard (1971) menghimbau agar konselor, melalui tingkah lakunya yang otentik dan terbuka, mengajak konseli kepada keontetikan. Jourard meminta agar konselor bisa membangun hubungan Aku-Kamu, dimana pembukaan diri konselor yang spontan menunjang pertumbuhan dan keontetikan konseli. Sebagaimana dinyatakan oleh Jourard, “Manipulasi melahirkan kontramanipulasi. Pembukaan diri melahirkan Pembukaan diri pula”.
Jourard tetap bependapat bahwa jika konselor menyembunyikan diri dalam pertemuan konseling, maka dia terlibat dalam tingkah laku tidak otentik sama dengan yang menimbulkan gejala-gejala pada diri konseli. Menurut jourard, cara untuk membantu kien agar menemukan dirinya yang sejati serta agar tidak menjadi asing dengan dirinya sendiri adalah, konselor secara spontan membukakan pengalaman otentiknya kepada konseli pada saat yang tepat dalam pertemuan konseling. Hal ini bukan berarti bahwa konselor harus menghentikan penggunaan teknik-tenik, diagnosis-diagnosis, dan penilaian-penilaiannya, melainkan berarti bahwa konselor harus sering menyatakan atau menyampaikan kepada konseli bahwa dia tidak ingin mengungkapkan apa yang dipikirkan atau dirasakan.
b. Pengalaman Konseli
Dalam konseling pendekatan ini, konseli mampu mengalami secara subjektif persepsi-persepsi tentang dunianya. Dia harus kreatif dalam proses konseling, sebab dia harus memutuskan ketakutan-ketakutan, perasaan-perasaan berdosa, dan kecemasan-kecemasan apa yang akan dieksplorasinya. Memutuskan untuk menjalani konseling saja sering merupakan tindakan yang menakutkan.
Dengan kata lain, konseli dalam konseling pendekatan ini terlibat dalam pembukaan pintu menuju diri sendiri. Pengalaman sering menakutkan atau menyenangkan, mendepresikan atau gabungan dari semua perasaan tersebut. Dengan membuka pintu yang tertutup, konseli mulai melonggarkan belenggu deterministik yang telah menyebabkan dia terpenjara secara psikologi. Lambat laun konseli menjadi sadar, apa dia tadinya dan siapa dia sekarang serta konseli lebih mampu menetapkan masa depan seperti apa yang diinginkannya.
BAB II
TEORI CLIENT CENTERD
1. Konsep Dasar Tentang Manusia Menurut Teori Client – Centerd
Carl Ransom Rogers mengembangkan konseling client-centered sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Konselor berfugsi terutama sebagai penunjang pertumbuhan pribadi seseorang dengan jalan membantunya dalam menemukan kesanggupan-kesanggupan untuk memecahkan masalah-masalah. Pendekatan client centered ini menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan seseorang untuk mengikuti jalan konseling dan menemukan arahnya sendiri.
Rogers membangun teorinya ini berdasarkan penelitian dan observasi langsung terhadap peristiwa-peristiwa nyata, dimana pada akhirnya ia memandang bahwa manusia pada hakekatnya adalah baik. Beberapa konsepsi Rogers tentang hakekat manusia (human being) adalah sebagai berikut:
a. Manusia tumbuh melalui pengalamannya, baik melalui perasaan, berfikir, kesadaran ataupun penemuan.
b. Manusia adalah makhluk subyektif, secara, esensial manusia hidup dalam pribadinya sendiri dalam dunia subjektif
c. Keakraban hubungan manusia merupakan salah satu cara seseorang paling banyak memenuhi kebutuhannya.
d. Pada umumnya. setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan untuk bebas, bersama-sama dan saling berkomunikasi.
e. Manusia memiliki kecenderungan ke arah aktualisasi, yaitu tendensi yang melekat pada organisme untuk mengembangkan keseluruhan kemampuannya dalam cara memberi pemeliharaan dan mempertinggi aktualisasi diri.
2. Ciri-Ciri Teori Client – Centered
Rogers tidak mengemukakan teori client-centered sebagai suatu pendekatan konseling dan tuntas. la mengharapkan orang lain akan memandang teorinya sebagai sekumpulan prinsip percobaan yang berkaitan dengan perkembangan proses konseling. Rogers menguraikan ciri-ciri yang membedakan pendekatan client-centered dari pendekatan-pendekatan lain. Berikut ini ciri-ciri pendekatan client centered yaitu:
Ø Difokuskan pada tanggungjawab dan kesanggupan seseorang untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara lebih penuh. Sebagai orang yang paling mengetahui diri sendiri, maka orang tersebut yang harus menemukan tingkah laku yang lebih pantas bagi dirinya.
Ø Menekankan dunia fenomenal seseorang konseli. Dengan empati yang cermat dan dengan usaha memahami kerangka acuan internal seseorang, konselor memberikan perhatian terutama pada persepsi-diri konseli dan persepsinya terhadap dunia.
Ø Prinsip-prinsip konseling client centered diterapkan pada individu yang fungsi psikologisnya berada pada taraf yang relative normal maupun pada individu yang derajat penyimpangan psikologisnya lebih besar.
Ø Menurut pendekatan ini juga, psikokonseling hanyalah salah satu contoh dari hubungan pribadi yang konstruktif. Konseli akan melalui hubungannya dengan seseorang yang membantunya melakukan apa yang tidak bisa dilakukannya sendiri. Itu adalah hubungan dengan konselor yang selaras (menyeimbangkan tingkah laku dan ekspresi eksternal dengan perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran internal), bersikap menerima dan empatik yang bertindak sebagai agen perubahan terapeutik bagi konseli.
3. Tujuan Teori Client – Center
Tujuan dasar konseling client-centered adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu konselit untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan terapeutik tersebut, konselor perlu mengusahakan agar konselit bisa memahami hal-hal yang ada di balik topeng sebagai pertahanan terhadap ancaman. Sandiwara yang dimainkan oleh konselit, menghambatnya untuk tampil utuh dihadapan orang lain dan dalam usahanya menipu orang lain, ia menjadi asing terhadap dirinya sendiri. Adapun tujuan-tujuan teori client-centered secara luas yaitu :
a. Keterbukaan pada Pengalaman
Keterbukaan pada pengalamam menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir di luar dirinya. Orang memiliki kesadaran atas diri sendiri pada saat sekarang dan kesanggupan mengalami dirinya dengan cara-cara yang baru.
b. Kepercayaan pada Organisme Sendiri
Salah satu tujuan konseling adalah membantu konseli dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Dengan meningkatnya keterbukaan konseli terhadap pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun akan mulai timbul.
c. Tempat Evaluasi Internal
Tempat evaluasi internal ini berkaitan dengan kepercayaan diri, yang berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalahnya. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
d. Kesediaan untuk menjadi Satu Proses.
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian, yang merupakan lawan dari konsep tentang diri sebagai produk, sangat penting. Meskipun client dapat menjalani konseling untuk mencari sejenis formula untuk membangun keadaan berhasil dan berbahagia (hasil akhir), mereka menjadi sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para konselit dalam konseling berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaan serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru.
4. Fungsi dan Peran Konselor dalam Konseling Client-Centered
Peran konselor client centered berakar pada cara-cara keberadaannya dan sikap-sikapnya, bukan pada penggunaan teknik-teknik yang dirancang untuk menjadikan konseli "berbuat sesuatu". Penelitian tentang konseling client centered tampaknya menunjukan bahwa yang menuntut perubahan kepribadian konseli adalah sikap-sikap konselor alih-alih pengetahuan, teori-teori atau teknik-teknik yang dipergunakannya. Pada dasarnya, konselor menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mengubah. Adapun fungsi konselor adalah membangun suatu iklim terapeutik yang menunjang pertumbuhan konseli.
Jadi, konselor client centered membangun hubungan yang membantu dimana konseli akan mengalami kebebasan yang diperlukan untuk mengeksplorasi area-area hidupnya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Konseli menjadi kurang defensif dan menjadi lebih terbuka terhadap kemungkinan-kemingkinan yang ada dalam dirinya maupun dalam dunia.
Yang pertama dan terutama, konselor harus bersedia menjadi nyata dalarn hubungan dengan konseli. Konselor menghadapi konseli berlandaskan pengalaman dari saat ke saat dan membantu konseli dengan jalan memasuki dunianya. Melalui perhatian yang tulus, respek, penerimaan. dan pengertian konselor, konseli bisa menghilangkan pertahanan-pertahanan dan persepsi-persepsinya yang kaku serta bergerak menuju taraf fungsi pribadi yang lebih baik.
5. Proses dan Prosedur Konseling Menurut Teori Client – Centered
Pemahaman dari proses dan prosedur konseling ini dapat dilakukan melalui tiga hal, yaitu:
a. Kondisi-kondisi konseling
Rogers percaya bahwa keterampilan-keterampilan teknis dan latihan-latihan khusus tidak menjamin keberhasilan konseling atau therapy, tetapi sikap-sikap tertentu dari konselor merupakan elemen penting dalam perubahan konseli. Sikap tertentu tersebut merupakan Condition Variable atau Facilitative Conditions, termasuk sebagai berikut:
- Dalam relationship therapist hendaknya tampil secara kongruen atau tampil apa adanya (asli).
- Penghargaan tanpa syarat terhadap pengalaman-pengalaman konseli secara positif dan penerimaan secara hangat.
- Melakukan emphatik secara akurat.
Dengan kondisi tersebut memungkinkan konseli mampu menerima konselor sepenuhnya, di samping terjadinya iklim Therapeutik. Client Centered juga sering dideskripsikan sebagai konseling, konselor tampak passive, karena kerja konselor hanya mengulang apa yang diucapkan konseli sebelumnya, bahkan sering dikatakan sebagai teknik wawancara khusus. Hal ini disebabkan karena mereka melihat permukaannya saja. Ketiga kondisi di atas, tidak terpisah satu dengan yang lain masing-masing saling bergantung dan berhubungan, di samping itu, terdapat beberapa konsidi yang memudahkan komunikasi, seperti sikap badan, ekspresi wajah, nada suara, komentar-komentar yang akurat.
b. Proses konseling
Pada dasamya teori ini tidak ada proses therapy yang khusus, namun beberapa hal berikut ini menunjukkan bagaimana proses konseling itu terjadi.
- Awal
Semula dijelaskan proses konseling dan psikokonseling sebagai cara kerja melalui kemajuan yang bertahap, tetapi overlaving, Sp Der (1945), menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan emosi yang negatif kemudian diikuti dengan pertanyaan - pernyataan emosi yang positif, dan keberhasilan konseling adalah dengan mengarahkan penyataan-penyataan tersebut kepada insight, diskusi perencanaan aktivitas.
- Perubahan. Self
Proses konseling berarti pula proses perubahan self konsep dan sikap-sikap kea rah self. Konseling yang berhasil berarti bergeraknya. perasaan-perasaan yang negatif ke arah yang positif.
- Teori Formal
Rogers juga mengemukakan teori formal tentang proses konseling (1953), yaitu:
a) Konseli secara meningkat menjadi lebih bebas dalam menyatakan perasaan perasaannya.
b) Munculnya perbedaan objek dari ekspresi perasaan persepsinya.
c) Perasaan-perasaan yang diekspresikan secara bertahap menampakkan adanya kecenderungan inkongruensi antara pengalaman tertentu dengan self konsepnya.
d) Self konsep secara meningkat menjadi terorganisir, termasuk pengalaman- pengalaman. yang sebelumnya ditolak dalam kesadarannya.
e) Konseli secara meningkat merasakan adanya penghargaan diri secara. positif.
c. Hasil konseling
Pada prinsipnya sulit untuk membedakan antara proses dengan hasil konseling. Ketika kita mempelajari hasil secara langsung, maka sebenarnya kita menguji perbedaan-perbedaan antara dua perangkat observasi yang dibuat pada awal dan akhir dari rangkaian wawancara. Walau demikian Rogers mengatakan hasil konseling ialah konseli menjadi lebih kongruen, lebih terbuka terhadap masalah-masalahnya yang kurang defensif, yang sernua ini nampak dalam dimensi-dimensi pribadi dan perilaku. Berdasarkan hasil riset, beberapa hasil konseling antara lain:
- Peningkatan dalarn penyesuaian psikologis.
- Kurangnya keteganggan pisik dan pemikiran kapasitas yang lebih besar untuk merespon rasa frustasi.
- Menurunnya sikap defensive.
- Tingkat hubungan yang lebih besar antara self picture dengan self ideal.
- Secara, emosional lebih matang.
- Lebih kreatif.
Untuk penerapannya di sekolah, dengan mengacu pada filsafat yang melandasi teori client centered memiliki penerapan langsung pada proses belajar mengajar. Perhatian Rogers pada sifat proses belajar yang dilibatkan di dalam konseling juga telah beralih kepada perhatian terhadap apa yang terjadi dalam pendidikan. Pada dasamya, filsafat pendidikan yang diajukan oleh Rogers sama dengan pandangannya tentang konseling dan konseling, yakni ia yakin bahwa siswa bisa dipercaya untuk menemukan masalah-masalah yang penting, yang berkaitan dengan dirinya. Para siswa bisa menjadi terlibat dalam kegiatan belajar yang bermakna, yang bisa timbul dalam bentuknya yang terbaik. Jika guru menciptakan iklim kebebasan dan kepercayaan. Fungsi guru sama dengan fungsi konselor client centered kesejatian, keterbukaan, ketulusan, penerimaan, pengertian, empati dan kesediaan untuk membiarkan para siswa mengeksplorasi material yang bermakna menciptakan atmosfer di mana kegiatan belajar yang signifikan bisa bejalan. Rogers menganjurkan pembaharuan pendidikan dan menyatakan bahwa jika ada satu saja di antara seratus orang guru mengajar di ruangan kelas yang terpusat pada siswa di mana para siswa diizinkan untuk bebas menekuni persoalan-persoalan yang relevan maka pendidikan akan mengalami revolusi.
Konseling bisa diintegrasikan ke dalam kurikulum yang dibuat terpisah dari kegiatan belajar mengajar, sehingga bisa menempatkan siswa pada suatu tempat yang sentral yang menyingkirkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan diri serta nilai-nilai, pengalaman, perasaan-perasaan, perhatian dan minat para siswa yang sesungguhnya.
6. Kontribusi dan Kelemahan Pendekatan Konseling Client Centered
Pendekatan client centered merupakan corak yang dominan yang digunakan dalam. pendidikan konselor. Salah satu alasannya adalah, konseling client centered memiliki sifat keamanan. Konseling client centered menitik beratkan mendengar aktif, memberikan resfek kepada konseli, memperhitungkan kerangka acuan intemal konseli, dan menjalin kebersamaan dengan konseli yang merupakan kebalikan dari menghadapi konseli dengan penafsiran-penafsiran. Para konselor client centered secara khas merefleksikan isi dan perasaan-perasaan, menjelaskan pesan-pesan, membantu para konseli untuk memeriksa sumber-sumbemya sendiri, dan mendorong konseli untuk menemukan cara-cara pemecahannya sendiri. Jadi, konseling client centered jauh lebih aman dibanding dengan model konseling lain yang menempakan konseling pada posisi direktif. Pendekatan client centered dengan berbagai cara memberikan sumbangan-sumbangan kepada situasi-siuasi konseling individual maupun kelompok. Konselor bertindak sebagai cermin, merefleksikan perasaan konselinya yang lebih mendalam. Jadi, konseli memiliki kemungkinan untuk mencapai fokus yang lebih maju dan makna. yang lebih dalam bagi aspek-aspek dari strukur dirinya yang sebelumnya hanya diketahui sebagian oleh konseli. Teori client centered tidak terbatas pada psikokonseling. Rogers menunjukan bahwa teorinya memiliki implikasi-implikasi bagi pendidikan, bisnis, dan hubungan internasional.
Kelemahan pendekatan client centered terletak pada cara sejumlah pempraktek yang salah menafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari posisi client centered. Tidak semua konselor bisa mempraktekan client centered, sebab banyak konselor yang tidak mempercayai filsafat yang melandasinya. Satu. kekurangan dari pendekaan client centered adalah adanya jalan yang menyebabkan sejumlah pempraktek menjadi terlalu terpusat pada konseli sehingga mereka sendiri merasa kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik. Secara paradoks, konselor dibenarkan berfokus pada konseli sampai batas tertentu. sehingga menghilangkan nilai kekuatannya sendiri sebagai pribadi dan oleh karenanya kepribadiannya kehilangan pengaruh. Konselor perlu menggarisbawahi kebutuhan-kebutuhan dan maksud-maksud konseli, dan pada saat yang sama ia bebas mernbawa kepribadiannya sendiri ke dalam pertemuan konseling.
Jadi, orang bisa memiliki kesan bahwa konseling client centered tidak lebih dari teknik mendengar dan merefleksikan. Konseling client centered berlandaskan sekumpulan sikap yang dibawa oleh konselor ke dalam pertemuan dengan konselinya, dan lebih dari kualitas lain yang manapun, kesejatian konselor menentukan kekuatan hubungan terapeutik. Beberapa kritik lain terhadap client centered:
- Penggunaan informasi untuk membantu konseli, tidak sesuai dengan teori
- Tujuan ditetapkan oleh konseli, tetapi tujuan konseling kadang-kadang dibuat tergantung lokasi konselor dan konseli
- Sulit bagi konselor untuk benar-benar bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal
Namun dernikian dalam sumber lain dikatakan bahwa konseling client centered telah memberikan kontribusi dalam hal:
- Pemusatan pada konseli dan bukan pada konselor dalam konseling
- Idenifikasi dan penekanan hubungan konseling sebagai wahana utama, dalam mengubah kepribadian
- Lebih menekankan pada sikap konselor daripada teknik
- Penanganan emosi, perasaan dan afektif dalam konseling.
BAB III
TEORI GESTALT
BAB IV
TEORI ANALISIS TRANSAKSIONAL
1. Pandangan Sifat Manusia
AT berakar pada suatu filsafah yang antideterministik serta menekankan bahwa manusia sanggup melampaui pengkondisian dan pemrograman awal. Tidak hanya itu, AT juga berpijak pada asumsi-asumsi bahwa orang-orang sanggup memahami putusan-putusan masa lampaunya dan bahwa orang-orang mampu memilih untuk memutuskan ulang.
Pandangan tentang manusia ini memiliki implikasi-implikasi nyata bagi praktek AT. Konselor tidak menerima perkataan-perkatan “Saya coba”, “Saya tidak bisa membantunya”, dan “Jangan menyalahkan saya, sebab saya bodoh”. Dengan premis dasar bahwa bahwa praktek terapeutik AT tidak bisa menerima alasan akal-akalan atau penolakan terhadap kewajiban. Holland (1973) mengajukan komentarnya bahwa “seseorang konselor yang dengan cepat dan kasar menolak untuk menerima penolakan kewajiban seorang calon konseli tidak akan memproleh orang itu sebagai konselinya, kecuali jika konseli itu sungguh-sungguh berjanji untuk berubah.
Oleh karena itu, jika para konseli tidak diperbolehkan tetap pada gaya menghindari kewajibanya dalam hubungan terapeutik, maka terdapat kesempatan yang baik bagi mereka untuk menemukan kekuatan-kekuatan internal dan kesanggupanya untuk menggunakan kebebasan dalam merancang ulang kehidupannya sendiri dengan cara-cara yang baru dan efektif
2. Perwakilan-Perwakilan Ego
AT adalah suatu sistem konseling yang berlandaskan teori kepribadian yang mengunakan tiga pola tingkah laku atau perwakilan ego yang terpisah yaitu Orang Tua, Orang Dewasa, dan Anak.
Ego Orang Tua adalah bagian dari kepribadian yang merupakan introyeksi dari orang tua atau dari substitute orang tua. Jika ego orang tua itu dialami kembali oleh kita, maka apa yang dibayangkan oleh kita adalah perasaan-perasaan orang tua kita dalam suatu situasi. Ego Orang Tua berisi perintah-perintah “harus” dan “semestinya”.
Ego Orang Dewasa adalah pengolah data dan informasi. Ia adalah bagian objektif dari kepribadian, ia juga tidak emosional dan tidak menghakimi tetapi menangani fakta-fakta dan kenyataan eksternal.
Ego Anak berisi perasaan-perasaan, dorongan-dorongan, dan tindakan-tindakan spontan. Anak yang ada dalam diri kita bisa berupa “Anak Alamiah”, “Profesor Cilik”, dan “Anak yang Disesuaikan”. Ia adalah bagian dari ego anak yang intiutif, bagian yang bermain diatas firasat-firasat. Anak disesuaikan terhadap apa yang dihasilkan tergantung dari pengalaman-pengalaman teraumatik, tuntutan, latihan dan ketetapan-ketetapan tentang bagaimana memproleh belaian.
3. Skenario-Skenario Kehidupan dan Posisi-Posisi Psikologi Dasar
Skenario-skenario kehidupan adalah ajaran-ajaran orang tua yang kita pelajari dan putusan-putusan awal yang dibuat oleh kita sebagai anak,selanjutnya dibawa oleh kita sebagai orang dewasa.
Perintah-perintah orang tua adalah bagian dari skenario kehidupan kita yang mencangkup “harus”, “semestinya”, “lakukan”, “jangan lakukan”, dan pengharapan-pengharapan orang tua. Berkaitan dengan perintah-perintah orang tua tersebut ada 4 konsep dalam AT tentang empat posisi dasar dalam hidup: (1) “Saya Ok” – “Kamu Ok”, (2) “Saya OK” – “Kamu Tidak OK”, (3) “Saya Tidak Ok” – “ Kamu OK”, dan (4) “Saya Tidak OK” – “Kamu OK”. Masing-masing posisi itu berlandaskan putusan-putusan yang dibuat orang sebagai hasil dari pengalaman dini dimasa kanak-kanak. Posisi sehat adalah posisi dengan perasaan sebagai pemenang atau posisi Saya OK – Kamu OK. Dalam posisi tersebut dua orang merasa seperti pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung yang terbuka. Saya OK – Kamu Tidak OK adalah posisi orang-orang yang memproyeksikan massalah-masalahnya kepada orang lain dan mempermasalahkan orang lain. Ia adalah posisi yang arogan yang menjauhkan seseorang dari orang lain dan mempertahankan seseorang dalam penyingkiran diri. Saya Tidak OK – Kamu OK adalah posisi orang yang mengalami depresi yang merasa tak kuasa dibanding dengan orang lain, dan yang cenderung menarik diri atau lebih suka memenuhi keinginan orang lain ketimbang keinginan sendiri. Saya Tidak OK – Kamu Tidak OK adalah posisi orang-orang yang menyingkirkan semua harapan, yang kehilangan minat hidup, dan melihat hidup sebagai tidak mengandung harapan.
4. Kebutuhan Manusia Akan Belaian
Semua orang butuh belaian, baik secara fisik maupun emosional. Tidak hanya manusia, hewan juga membutuhkan belaian, jika kebutuhan akan belaian itu tidak terpenuhi, maka menyebabkan seseorang tidak berkembang secara sehat, baik emosional maupun fisikal. Oleh karena itu AT memberikan perhatian pada bagaimana orang-orang menyusun waktunya dalam usaha memperoleh belaian.
Belaian yang positif adalah esensial bagi perkembangan pribadi yang sehat secara psikologis dengan perasaan OK. Jika belaian yang kita terima itu otentik dan bersumber pada posisi Saya OK – Kamu Ok, kita akan terpelihara dengan baik. Belaian-belaian yang positif, yang bisa berbentuk ungkapan-ungkapan afeksi atau penghargaan, bisa disalurkan melalui kata-kata, elusan, pandangan atau mimik muka.
Belaian yang negatif oleh orang tua mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan anak. Belaian negatif berbentuk pesan-pesan (verbal dan nonverbal) yang merampas kehormatan dan meyebabkan seseorang merasa dikesampingkan dan tak berarti, ini yang mengirimkan pesan “Kamu Tidak OK”, menyangkut pengecilan, penghinaan,pencemoohan, dan sebagainya. Menurut Berne (1961. 1964) dan Harris (1967), ada enam transaksi yang bisa muncul di antara orang-orang, yakni penarikan diri, upacara-upacara, aktivitas-aktivitas, hiburan-hiburan, permainan-permaian dan keakraban. Teori AT menekankan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk mengadakan hubungan dalam bentuk yang terbaik melalui keakraban. Harris (1967) “ hubungan yang akrab berlandaskan penerimaan posisi Saya OK – Kamu OK di kedua belah pihak.
5. Permainan-Permaianan yang Kita Mainkan
AT mengajari orang bagian mana dari perwakilan ego yang dimiliki yang sebaiknya digunakan untuk membuat putusan-putusan penting bagi kehidupannya. Dengan menggunakan prinsip AT orang bisa sadar akan jenis belaian yang diperolehnya dan mereka bisa merubah respon-respon belain dari negatif ke positif. Salah satu sasaran AT adalah membantu orang-orang agar memahami sifat transaksi-transaksi mereka dengan orang lain sehingga mereka bisa merespon orang lain secara langsung menyeluruh dan akrab. AT memandang permainan sebagai penukaran belaian yang mengakibatakan berlarut-larutnya perasaan-perasaan tidak enak. Permaian-permaian yang umum meliputi “ Saya yang malang”, “ Pahlawan”, “Ya. tapi”, “ Jika bukan untuk kamu”, “ lihat apa yang kamu lakukan sehingga aku berbuat”, “ Terganggu”, dan “ Si Tolol”. Masalah yang timbul oleh permaian itu ialah motif yang tersembunyi tetap terpendam dan para pemain memperoleh perasaan tidak OK.
Segitiga Drama Karpman, bisa digunakan untuk membantu orang -orang memahami permainan-permaian.Pada segitiga terdapat seorang “Penuntut”, seorang “Penyelamat” dan seorang “Korban”. Berikut gambar Segitiga Drama Karpman :
Penuntut Penyelamat
Korban
6. Tujuan-Tujuan Konseling
Tujuan dasar Analisis Transaksional adalah membantu konseli dalam membuat putusan-putusan baru yang menyangkut tingkah lakunya sekarang dan arah hudupnya. Sasaran adalah mendorong konseli menyadari bahwa kebebasan dirinya dalam memilih telah dibatasi oleh putusan-putusan dini mengenai posisi hidupnya dan oleh pilihan terhadap cara-cara hidup.
Harris (1967) menyatakan bahwa “Tujuan pemberian treatment adalah menyembuhkan gejala yang timbul, dan metode treatment adalah membebaskan Ego Orang Dewasa sehingga mengalami kebebasan memilih dan pencitaan pilihan-pilihan baru diatas dan diseberang pengaruh-pengaruh masa lampau yang membatasi.
Berne (1964) menyatakan bahwa tujuan utama AT adalah pencapain otonomi yang diwujudkan oleh penemuan kembali tiga karakteristik yaitu kesadaran, spontanitas, dan keakraban.
Sama dengan Berne, James dan Jongeward (1971) melihat pencapain otonomi sebagai tujuan utama AT, yang bagi mereka berarti mengatur diri, menentukan nasib sendiri, memikul tanggung jawab atas tindakan-tindakan dan perasaan-perasaan tersendiri. Mereka menyimpulkan tujuan menjadi pribadi yang sehat sebagai berikut “Jalan manusia yang etis yang secara otonom sadar, spontan, dan mampu menjadi akrab tidak selalu mudah.
7. Fungsi dan Peran Konselor
Harris (1967) melihat peran konselor sebagai “seorang guru, pelatih, dan narasumber dengan penekanan kuat pada keterlibatan” (h.239). Konselor membantu konseli dalam menemukan kondisi-kondisi masa lampau yang merugikan yang membuat konseli membuat putusan-putusan dini tertentu. Memungut rencana-rencana hidup, dam mengembangkan strategi-staregi yang telah digunakan dalam menghadapi orang lain yang sekarang barang kali ingin dipertimbangkannya.
Claude Steiner _ menekankan pentingnya hubungan yang setaraf antara konselor dan konseli dan menunjukkan kepada kontrak konseling sebagai bukti bahwa konselor dan konseli adalah pasangan dalam proses-proses konseling. Tugas konselor adalah mengunakan pengetahuannya untuk menunjang konseli dalam hubungan suatu kontrak spesifik yang jelas, yang diprakarsai oleh konseli.
8. Pengalamam Konseli Dalam Konseling
Salah satu persyaratan dasar untuk menjadi konseli AT adalah memiliki kesanggupan dan kesediaan untuk memahami dan menerima suatu kontrak konseling. Kontrak treatment berisi suatu pernyataan yang spesifik dan konkret tentang sasaran-sasaran yang hendak dicapai oleh konseli dan kriteria untuk menentukan bagaimana dan kapan sasaran itu dicapai secara efektif. Ini berarti bahwa konselor tidak akan mencari keterangan dari riwayat hidup konseli secara tidak sah. Konseli tahu untuk apa dia datang kekonselor dan, ketika kontrak habis, hubungannya diakhiri kecuali membuat kontak baru.
9. Hubungan Antara Konselor dan Konseli
Pendekatan kontrak dengan jelas menyiratkan suatu tanggung jawab bersama. Dengan berbagi tanggung jawab dengan konselor, konseli menjadi rekan dalam treatment-nya. Konselor tidak melakukan sesuatu kepada konseli sementara konseli itu sendiri berlaku pasif ; tapi baik konseli maupun konselor aktif dalam hubungan itu. Keduanya memiliki pemahaman yang sama tentang situasi yang dihadapi. Ini berarti konseli tidak dipaksa untuk menyingkapkan hal-hal yang dipilihnya untuk tidak disingkapkan. Harris (1967) “Penerapan konseling Analisis Transaksional melalui pembentukan hubungan kontraktual memiliki pengaruh mengangkat pasien kepada status sebagai rekan konselor. Istilah ‘pasien’ dan ‘konselor’ selanjutnya berfungsi untuk menyatakan peran-peran yang berbeda dalam hubungan terapeutik alih-alih menunjukkan perbedaan-perbedaan dalm nilai, status, atau bentuk-bentuk kehomatan lainnya” (h. 384)
10. Teknik-Teknik dan Prosedur-Prosedur Terapeutik
Mereka menjadi paham atas struktur dan fungsi kepribadian mereka sendiri serta belajar bagaimana bertransaksi dengan orang lain. Harris ( 1967 ) sepakat bahwa “ treatment atas individu – individu dalam kelompok adalah metode memilih oleh analisis – analisis transaksional” ( h. 234 ) ia memandang fase permulaan kelompok AT sebagai suatu proses mengajar dan belajar serta meletakkan kepentingannya pada peran didaktik konselor kelompok sebagaimana dinyatakannya. “ karena karakter yang essensial dari kelompok adalah unsur mengajar, belajar dan menganalisisnya. Maka keefektifan AT bertumpu pada semangat dan kemampuannya sebagai pengajar dan kesiagaannya dalam mengikuti setiap komunikasi atau isyarat dalam kelompok baik verbal maupun non verbal”.
11. Prosedur-Prosedur Terapeutik
Dalam praktek AT, teknik-teknik dari berbagai sumber, terutama dari konseling Gestalt digunakan. Sebenarnyya ada prosedur-prosedur yang menyaksikan yang dihasilkan dari perkawinan antara Analisis Transaksional dengan konseling Gestal. James dan Jongeward (1971) menggabungkan konsep-konsep dan proses-proses AT dengan eksperiment-eksperiment Gestalt, dan dengan pendekatan gabungan itu, ia mendemonstrasikan peluang yang lebih besar untuk mencapi kesadaran diri dan otonomi.
Sebagian besar metode dan proses terapeutik AT ini bisa ditetapkan pada konseling individual maupun pada konseling kelompok. Bagaimana, seperti yang disinggung di atas,meskipun bisa dijalankan secara efektif diatas landasan pribadi-ke-pribadi, kelompok,adalah wahana yang penting bagi perubahan pendidikan dan terapeutik dalam praktek AT.
12. Analisis struktural
Analisis struktural adalah alat yang bisa membantu konseli agar menjadi sadar atas isi dan fungsi ego Orang Tua, ego Orang Dewasa, dan ego Anaknya. Analisis struktural membantu kllien dalam mengubah pola-pola yang dirasakan menghambat. Dua tipe masalah yangberkaitan dengan struktur kepribadian bisa diselidiki dengan analisis struktural: pencemaran dan penyisihan. Pencemaran terjadi apabila isi perwakilan ego yang satu bercampur dengan isi perwakilan ego yang lainnya.
Orang Tua mencemari Anak mencemari Orang Tua dan Anak
Orang Dewasa Orang Dewasa Mencemari Orang
Dewasa
Gambar Pencemaran
Ego Orang Tua yang konstan menyisihkan ego Orang Dewasa, dan ego anak bisa ditemukan pada orang yang begitu terikat pada tugas dan berorientasi pada pekerjaan, tetapi tugas dan pekerjaan itu tidak bisa dilaksanakannya. Orang semacam ini bisa bersifat menghalimi, moralitas, dan menuntut terhadap oranglain. Dia sering bertindak dengan cara yang mendoninasi dan otoriter. Ego anak yang knstan menyisihkan ego Orang Dewasa dan ego Orang Tua dan, pada ujungnya merupakan sosiopat tanpa nurani. Orang yang berorientasi terutama dari ego Anak yang konstan ini terus menerus bersifat kekanak-kanakan orang yang menolak untuk tumbuhan. Dia tidak bisa berpikir dan memutuskan sendiri, dan selalu berusaha mempertahankan keberuntungannya untuk menghindari tanggung jawab atas tingkah lakunya sendiri, serta berusaha menemukan orang lain yang bisa memeliharanya. Ego Orang Dewasa yang konstan yang menyisihkan ego Orang Tua dan ego Anak ditemukan pada orang yang objektif, yakni yang terus-menerus terlibat dan berurusan dengann fakta-fakta.
13. Metode-Metode Didaktik
Karena AT menekankan domain kognitif, proseedur-prosedur belajar mengajar menjadi prosedur-prosedur dasar bagi AT. Para anggota kelompok-kelompok AT diharapkan sepenuhnya mengenal analisis structural dengan menguasai landasan-landasan perwakilan-perwakilan ego. Yang juga dianjurkan kepada para kelompok AT adalah berpartisipasi dalam bengkel-bengkel kerja khusus, konfrensi-konfrensi, dan pendidikan-pendidikan yang berkaitan dengan AT.
14. Analisis Transaksional
Analisis transaksional pada dasarnya adalah suatu penjabaran atas apa yang dilakukan dan dikatakan oleh orang-orang terhadap satu sama lain. Apapun yang terjadi diantara orang-orang melibatkan satu transaksi diantara perwakilan ego mereka. Ketika pesan-pesan disampaikan, diharapkan ada respon. Ada tiga tipe transaksi: komplementer, menyilang, dan terselubung. Transaksi komplementer terjadi suatu pesan yang disampaikan oleh suatu perwakilan ego seseorang memperoleh respons yang diperkirakan dari perwakilanego seseorang yang lainnya. Transaksi menyilang terjadi apabila respons yang tidak diharapkan diberikan kepada suatu pesan yang disampaikan oleh seseorang. Transaksi terselubung yang merupakan suatu transaksi yang kompleks, terjadi apabila lebih dari satu perwakilan ego terlibat serta seseorang menyampaikan pesan terselubung kepada seseorang yang lain.
X: “aku ingin bermain luncur di atas salju bersamamu.”
Y: “Hay, itu kedengarannya menarik! Mari kita pergi!”
X Y
X: “aku ingin bermain luncur di atas salju bersamamu.”
Y: “Ah, sudahlah dan bertindaklah sesuai dengan usiamu. Aku tidak punya waktu yang dibuang percuma untuk ketololan seperti itu!”
X Y
Gambar Transaksi menyilang
“Suami kepada istri : “Maukah kamu pergi
keluar dan bermain diatas salju, atau kita
kita harus menyelesaikan pekerjaan
dirumah!”
Suami menyampaikan suatu pesan terselubung yang bisa didenger oleh istri sebagai (a) Mari kita pergi keluar dan bermain di atas salju(Anak-Anak), atau (b) Bertanggung jawab Dan selesaikan pekerjaan kita (Orang Tua-Orang Tua)
15. Kursi Kosong
“Kursi kosong” adalah suatu prosedur yang sesuai dengan analisis struktural. Konseli diminta untuk membayangkan bahwa seseorang tengah duduk disebuah kursi dihadapannya dan mengajaknya berdialog. Prosedur ini memberikan kesempatan kepada konseli untuk menyatakan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan sikap-sikapnya selama dia menjalankan peran-peran perwakilan-perwakilan egonya. Teknik kursi kosong bisa digunakan oleh orang-orang yang mengalami konflik-konflik internal yang hebat guna memproleh upaya pemecahan.
McNeel (1976) menguraikan teknik dua kursi sebagai alat yang efektif untuk membantu konseli dalam memecahkan konflik dimasa lampau dengan orang tua atau orang lain di lingkungan dia dibesarkan. McNeel menyajikan pedoman-pedoman untuk mengamati masalah-masalah dalam teknik dua-kursi dan menganjurkan penggunaan “peninggi-peninggi” untuk memperjelas masalah-masalah yang tersangkut.
16. Permainan Peran
Prosedur-prosedur AT juga bisa digabungkan dengan teknik-teknik psikodrama dan permainan peran. Dalam konseling kelompok, situasi-situasi permainan peran bisa melihatkan para anggota lain. Seorang anggota kelompok memainkan peranan sebagai perwakilan ego yang menjadi sumber masalah bagi seorang anggota lainnya, dan ia berbicara kepada anggota tersebut. Para anggota yang lain pun bisa bisa “menjalankan permainan peran serupa dan boleh mencobanya di luar pertemuan konseling. Bentuk permainan yang lainnya adalah permainan menonjolkan gaya-gaya yang khas dari ego Orang Tua yang Konstan, ego Orang Dewasa yang Konstan, dan ego Anak yang konstan, atau permainan-permainan tertentu agar memungkinkan konseli memproleh umpan balik tentang tingkah laku sekarang dalam kelompok.
17. Pencontohan Keluarga
Pencontohan keluarga, suatu pendekatan lain untuk bekerja dengan struktural, terutama berguna bagi penanganan Orang Tua yang Konstan, Orang Dewasa yang Konstan, atau Anak yang Konstan. Konseli diminta untuk membayangkan suatu adegan yang melibatkan sebanyak mungkin orang yang berpengaruh dimasa lampau, termasuk dirinya sendiri. Konseli menjadi sutradara, produser, dan aktor. Dia menetapkan situasi dan menggunakan para anggota kelompok sebagai pemeran-pemeran para anggota keluarga serta menetapkan mereka pada situasi yang dibayangkan. Diskusi, tindakan, dan evaluasi selanjutnya bisa mempertinggi kesadaran tentang situasi yang spesifik dan makna-makna pribadi yang masih berlaku pada konseli.
18. Analisis Upacara, Hiburan, dan Permainan
Analisis transaksi-transaksi mencakup pengenalan terhadap upacara-upacara (ritual-ritual), hiburan-hiburan, dan permainan-permainan yang digunakan dalam menyusun waktunya. Penyusunan waktu adalah bahan yang penting bagi diskusi dan pemeriksaan karena ia merefleksikan putusan-putusan tentang bagaimana menjalankan transaksi dengan orang lain dan memperoleh belaian. Orang yang menyusun waktunya terutama dengan upacara-upacara dan hiburan-hiburan boleh jadi mengalami kekurangan belaian dan karenanya dia kekurangan keakraban dalam transaksinya dengan orang lain. Karena transaksi-transaksi ritual dan hiburan memiliki nilai belaian yang rendah, maka transaksi sosial yang dilakukan oleh orang itu bisa mengakibatkan keluhan-keluhan seperti kehampaan, kejenuhan, kekurangan gairah, merasa tak dicintai, dan rasa tak bermakna.
19. Analisis Permainan dan Ketegangan
Analisis permainan-permainan dan ketegangan-keteganangan bagi pemahaman sifat transaksi-transaksi bagi orang lain. Berne, menjabarkan permainan sebagai rangkaian transaksi terselubung komplementer yang terus berlangsung menuju hasil yang didenifisikan dengan baik dan dapat diprakirakan. Belajar untuk memahami “penipuan” oleh seseorang dan bagaiman kaitan penipuan itu dengan permainan-permainan, putusan-putusan, dan skenario-skenario dalam konseling AT.
Penipuan terdiri atas kumpulan berbagai perasaan untuk digunakan sebagai pembenar bagi skenario kehidupan. Orang bisa mengembangkan “penipuan marah”, “penipuan sakit hati”, “penipuan rasa berdosa”, atau “penipuan depresi”. Penipuan adalah suatu perasaan tidak enak yang telah lama dikenal, sama halnya dengan perasaan-perasaan menyesal, berdosa, takut, terluka, dan tidak memadai.
Penipuan melibatkan “kumpulan cirri khas” yang nantinya ditukarkan dengan hadiah psikologis. Orang mengumpulkan perasaan-perasaan kuno (pengumpulan ciri khas) dengan memanipulasi orang lain untuk membuat dirinya merasa ditolak, marah, tertekan, diabaikan, berdosa, dan sebagainya. Orang itu mengajak orang lain untuk memainkan peran tertentu.
Apabila seseorang memanipulasi orang lain untuk mengalami kembali dan mengumpulkan perasaan-perasaan lamanya, dia mengumpulkan perasaan-perasaan tidak enak, dan penipuannya pun terdiri atas kumpulan seperti itu. penipuan sama pentingnya dengan permainan-permainan dalam memanipulasi oranglain karena penipuan itu merupakan metode utama bagi seseorang untuk menyembunyikan dirinya dari dunia nyata. Dibutuhkan seorang konselor yang ahli untuk membedakan kemarahan, kesedihan, dan ketakutan yang digunakan sebagai penipuan, dengan ungkapan-ungkapan emosi yang jujur.
20. Analisis Skenario
Skenario kehidupan atau rencana seumur hidup yang berlandaskan serangkaian putusan dan adaptasi sangat mirip dengan pementasan sandiwara. Orang mengalami peristiwa-peristiwa hidup tertentu, menerima dan mempelajari peran-peran tertentu, mengulang-ulang dan menampilkan peran-peran itu sesuai skenario. Ada casting watak, adegan-adegan, dialog-dialog, dan aksi-aksi yang menuju kepada akhir cerita. Skenario kehidupan psikologis, menggariskan kemana seseorang akan menuju dalam hidupnya, dan apa yang akan dilakukannya setibanya ditempat tujuan.
Pembuatan skenario mula-mula terjadi secara non verbal pada masa kanak-kanak melalui pesan-pesan dari orangtua. Selanjutnya, pembentukan skenario berjalan melalui cara-cara langsung maupun tidak langsung misalnya, dalam sebuah keluarga seorang anak boleh jadi menangkap pesan-pesan dari orangtua. Karena skenario kehidupan seseorang membentuk inti identitas dan nasib pribadinya, maka pengalaman-penglaman bisa mengarahkan seseorang itu kepada kesimpulan.
Analisis skenario adalah bagian dari proses terapeutik yang memungkinkan pola hidup yang diikuti oleh individu bisa dikenali ia bisa menunjukkan kepada individu proses yang dijalaninya dalam memperolah skenario dan cara-caranya membenarkan tindakan-tindakan yang tertera pada skenario. Analisis skenario membuka alternatif-alternatif baru yang menjadikan orang bisa memilih sehingga ia tidak lagi merasa dipaksa memainkan permainan-permainan mengumpulkan perasaan-perasaan untuk membenarkan tindakan yang melaksanakan menurut plot skenario. Holland menyatakan bahwa otonomi dan keakraban bisa menggantikan skenario dan permainan-permainan melalui analisis skenario dan permainan : “Satu-satunya alternatif yang menarik bagi kehidupan memainkan permainan dan skenario kehidupan yang mendorong penipuan adalah hidup dalam pola kehidupan otonom yang dipilih sendiri, yang bisa diubah menjadi pola yang lebih menarik dan sewaktu-waktu, memberikan ganjaran mencakup kemungkinan menjalin keakrababan sejati dengan orang lain. itu adalah alternatif yang oleh analisis skenario dan permainan dimungkinkan, sebab analisis itu menyajikan kemungkinan kepada pasien untuk membongkar pola hidup yang dikenalnya tetapi tidak memuaskan, guna menempatkan pola yang lebih baru dan lebih menarik ”(H.398).
Melalui penggabungan AT, konseling gestal, dan modifikasi tingkah laku. Goulding dan Goulding menemukan bahwa para konseli bisa berubah tanpa memerlukan analisis bertahun-tahun. Mereka menekankan konsep putusan-putusan ulang dengan menantang para konseli untuk menyadari anggapan bahwa skenario-skenario itu ditanamkam kedalam kepala mereka adalah suatu mitos. Goulding dan goulding menunjukkan apabila para konseli mempersepsi diri mereka adalah pembuat putusan putusan tertentu, maka mereka juga akan menggunakan kekuatan mereka sendiri untuk mengubah putusan-putusan dini. Dengan perkataan lain, para konseli memutuskan untuk menyingkirkan diri, tidak menaruh kepercayaan, atau kekanak-kanakan, dan para konseli itu pula yang mengubah semua putusannya itu melalui putusan-putusan ulang. Pengambilan putusan-putusan ulang didukung oleh penggarapan disini dan sekarang dan dengan menghindari pembicaraan tentang masa lampau.
BAB V
TEORI BEHAVIORAL
1. Konsep Dasar Tentang Manusia Menurut Teori Behaviorisme
Konsep Behavioral adalah perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkresi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya.
Pendekatan behavioral modern didasarkan pada pandangan ilmiah tentang tingkah laku. Manusia yang menekankan pentingnya pendekatan sistematis dan struktur pada konseling. Namun pendekatan ini tidak mengesampingkan pentingnya hubungan konseli untuk membuat pilihan-pilihan. Dari dasar pendekatan tersebut diatas, dapat dikemukakan konsep tentang hakekat manusia sebagai berikut :
1. Tingkah laku manusia diperoleh dari belajar, dan proses terbentuknya kepribadian adalah melalui proses kematangan dari belajar.
2. Kepribadian manusia berkembang bersama-sama dengan interaksinya dengan lingkungannya.
3. Setiap manusia lahir dengan membawa kebutuhan bawaa, tetapi sebagian besar kebutuhan dipelajari dari hasil interaksi dengan lingkungannya.
4. Manusia tidak dilahirkan dalam keadaan baik atau jahat, tetapi dalam keadaan netral, bagaimana kepribadian seseorang dikembangkan, tergantung pada interaksinya dengan lingkungan.
Dari konsep tentang manusia menurut teori behavioral terdapat ciri-ciri unik konseling tingkah laku, yaitu:
1. Pemusatan perhatian kepada tingkah laku yang tampak dan spesifik.
2. Kecermatan dan penguraian tujuan-tujuan treatment.
3. Perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah.
4. Penaksiran objektif atas hasil-hasil konseling.
Konseling tingkah laku tidak berlandaskan sekumpulan konsep yang sistematik, juga tidak berakar pada suatu teori yang dikembangkan dengan baik. Sekalipun memiliki banyak teknik, namun teori tingkah laku hanya memiliki sedikit konsep. Urusan terapeutik utama adalah mengisolasi tingkah laku masalah, dan kemudian menciptakan cara-cara untuk mengubahnya.
Dua aliran utama membentuk esensi metode-metode dan teknik-teknik pendekatan-pendekatan konseling yang berlandaskan teori belajar yaitu: pengondisian klasik dan pengondisian Operan. Pengondisian klasik atau pengondisian responden, berasal dari karya Pavlov,sebagi contoh yaitu tentang anjing. Pertama kali lampu dihidupkan anjing dikasi makan tetapi air liurnya tidak keluar, begitu seterusnya sampai akhirnya baru dihidupkan lampu air liur anjing itu keluar dengan sendirinya tetapi pemilik anjing tidak memberikan makanan,hal ini bertujuan untuk kebiasaan. pengondisian Operan, satu aliran utama lainnya dari pendekatan konseling yang berlandaskan Teori Belajar, melibatkan pemberian ganjaran kepada individu atas pemunculan tingkahlakunya (yang diharapkan) pada saat tingkah laku itu muncul. Pengondisian ini juga dikenal dengan sebutan instrumental karena memperlihatkan bahwa tingkah laku instrumental bisa dimunculkan oleh organisme yang aktif sebelum perkuatan diberikan untuk tingkah laku tersebut. Contoh- contoh prosedur yang spesifik yang berasal dari pengondisian operan adalah perkuatan positif, penghapusan, hukuman, pencontohan dan penggunaan token economy.
Pada dasarnya konseling tingkah laku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh tingkah laku baru, penghapusan tingkah laku maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang diinginkan. Karena tingkah laku yang dituju dispesifikasi dengan jelas, tujuan-tujuan treatment dirinci, dan metode terapeutik diterangkan, maka hasil-hasil konseling menjadi bisa dievaluasi. Karena konseling tingkah laku menekankan evaluasi atas keefektifan eknik-teknik yang digunakan, maka evolusi dan perbaikan yang berkesinambungan atas prosedur-prosedur treatment menandai proses terapeutik.
2. Proses Konseling Behaviorisme
Dalam proses konseling behavioral terdapat tujuan umum konseling tingkah laku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotic learned, maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh.
Hampir semua konselor tingkah laku akan menolak anggapan yang menyebutkan bahwa pendekatan mereka hanya menangani gejala-gejala, sebab mereka melihat konselor sebagai pemikul tugas menghapus tingkah laku yang maladaptif dan membantu konseli untuk menggantikannya dengan tingkah laku yang lebih adjustive (dapat disesuaikan). Tujuan-tujuan yang luas dan umum tidak dapat diterima oleh para konselor tingkah laku. Contohnya, seorang konseli mendatangi konseling dengan tujuan mengaktualkan diri. Tujuan umum semacam itu perlu diterjemahkan kedalam perubahan tingkah laku yang spesifik yang diinginkan konseli serta dianalisis kedalam tindakan-tindakan spesifik yang diharapkan oleh konseli sehingga baik konselor maupun konseli mampu manaksir secara lebih kongkret kemana dan bagaimana mereka bergerak. Misalnya tujuan mengaktualkan diri bisa dipecah kedalam beberapa subtujuan yang lebih kongkret sebagai berikut:
1) Membantu konseli untuk menjadi lebih asertif dan mengekspresikan pemikiran-pemikiran dan hasrat-hasratnya dalam situasi-situasi yang membangkitkan tingkah laku asertif.
2) Membantu konseli dalam menghapus ketakutan-ketakutan yang tidak realistis yang menghambat dirinya dari keterlibatan dalam peristiwa-peristiwa sosial.
3) Konflik batin yang menghambat konseli dari pembuatan putusan-putusa yang penting bagi kehidupannya.
Krumboltz dan Thorensen telah mengembangkan tiga kriteria bagi perumusan tujuan yang bisa diterima dalam konseling tingkah laku yaitu,
1) Tujuan yang dirumuskan haruslah tujuan yang diinginkan oleh konseli.
2) Konselor harus bersedia membantu konseli dalam mencapai tujuan.
3) Harus terdapat kemungkinan untuk menaksir sejauh mana klian bisa mencapai tujuannya.
Tugas konselor adalah mendengarkan kesulitan konseli secara aktif dan empatik. Konseling memantulkan kembali apa yang dipahaminya untuk memastikan apakah persepsinya tentang pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan konseli benar. Lebih dari itu, konselor membantu konseli menjabarkan bagaimana dia akan bertindak diluar cara-cara yang ditempuh sebelumnya. Dengan berfokus pada tingkah laku yang spesifik yang ada pada kehidupan konseli sekarang, konselor membantu konseli menerjemahkan kebingungan yang dialaminya kedalam suatu tujuan kongkret yang mungkin untuk dicapai.
Fungsi dan peran konselor
Satu fungsi penting peran konselor adalah sebagai model bagi konseli. Bandura (1969) menunjukkan bahwa sebagian besar proses belajar yang muncul melalui pengalaman langsung juga bisa diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah laku orang lain. Ia mengungkapkan bahwa salah satu proses fundamental yang memungkinkan konseli bisa mempelajari tingkah laku baru adalah imitasi atau pencontohan sosial yang disajikan oleh konselor. Konselor sebagai pribadi, menjadi model yang penting bagi konseli. Karena konseli sering memandang konselor sebagai orang yang patut diteladani, konseli acap kali meniru sikap-sikap, nila-nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan tingkah laku konselor. Jadi, konselor harus menyadari peranan penting yang dimainkannya dalam proses identifikasi. Bagi konselor, tidak menyadari kekuatan yang dimilikinya dalam mempengaruhi dan membentuk cara berpikir dan bertindak konselinya, berarti mengabaikan arti penting kepribadiannya sendiri dalam proses konseling.
Pengalaman Konseli dalam Konseling
Salah satu sumbangan yang unik dari konseling tingkah laku adalah suatu sistem prosedur yang ditentukan dengan baik yang digunakan oleh konselor dalam hubungan dengan peran yang juga ditentukan dengan baik. Konseling tingkah laku juga memberikan kepada konseli peran yang ditentukan dengan baik, dan menekankan pentingnya kesadaran dan partisipasi konseli dalam proses terapeutik.
Satu aspek yang penting dari peran konseli dalam konseling tingkah laku adalah konseli didorong untuk bereksperimen dalam tingkah lau baru dengan maksud memperluas perbendaharaan tingkah laku adaptifnya. Dalam konseling, konseli dibantu untuk menggeneralisasi dan mentransfer belajar yang diperoleh didalam situasi konseling kedalam diluar konseling.
Konseling ini belum lengkap apabila verbalisasi-verbalisasi tidak atau belum diikuti oleh tindakan-tindakan. Konseli harus berbuat lebih dari sekedar memperoleh pemahaman, sebab dalam konseling tingkah laku konseli harus bersedia mengambil resiko. Masalah-masalah kehidupan nyata harus dipecahkan dengan tingkah laku baru di luar konseling, berarti fase tindakan merupakan hal yang esensial. Keberhasilan dan kegagalan usaha-usaha menjalankan tingkah laku baru adalah bagian yang vital dari perjalanan konseling.
Hubungan antara Konseli dan Konselor
Peran konselor yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan. Peran konselor tingkah laku tdak dicetak untuk memainkan peran yang dingin dan impersonal yang mengerdilkan mereka menjai mesin-mesin yang di prrogran yang memaksakan teknik-teknik kepada konseli yang mirip robot-robot.
Dalam hubungan konselor dan konseli sebagian besar dari mereka mengakui bahwa faktor-faktor seperti kehangatan, empati, keotentikan, sikap permisif, dan penerimaan adalah kondisi-kondisi yang diperlukan, tetapi tidak cukup, bagi kemunculan perubahan tingkah laku dalam prosen terapeutik. Goldstin menyatakan bahwa pengembangan hubungan kerja membentuk tahap bagi kelangsungan konseling. Ia mencatat bahwa “hubungan semacam itu dalam dan oleh dirinya sendiri tidak cukup sebagai pemaksimal konseling yang efektif. Sebelum interpensi terapeutik tertentu bisa dimunculkan dengan suatu derajat keefektifan, konselor terleih dahulu haus mengembangkan atmosfer kepercayaan dengan memperlihatkan bahwa
1) Ia memahami dan menerima pasien,
2) Kedua orang di antara mereka bekerjasama, dan
3) Konselor memiliki alat yang berguna dalam membantu kearah yang dikehendaki oleh pasien.
3. Tehnik-tehnik dalam Konseling Behaviorisme
Salah satu sumbangan konseling tingkah laku adalah pengembangan prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yang memiliki kemungkinan untuk diperbaiki melalui metode ilmiah. Teknik-teknik tingkah laku harus menunjukkan keefektifannya melalui alat-alat yang objektif, dan ada usaha yang konstan untuk memperbaikinya. Meskipun para konselor tingkah laku boleh jadi membuat kekeliruan-kekeliruan dalam mendiagnosis atau dalam menerapkan teknik-teknik, akibat-akibat kekeliruan-kekeliruan itu akan jelas bagi mereka. Mereka menerima umpan balik langsung dari konselinya, baik konselinya itu sembuh ataupun tidak. Sebagaimana dinyatakan oleh Krumboltz dan Thorensen, “Teknik-teknik yang tidak berfungsi akan selalu disisihkan dan teknik-teknik baru bisa dicoba”. Mereka menegaskan bahwa teknik-teknik harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan individual konseli dan bahwa tidak pernah ada teknik yang diterapkan secara rutin pada setiap konseli tanpa disertai metode-metode alternatif untuk mencapai tujuan-tujuan konseli.
Teknik-teknik utama konseling tingkah laku
Desensitisasi sistematik
Desensitisasi sistematik merupakan salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam konseling tingkah laku. Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi diarahkan kepada mengajar konseli untuk menampilkan suatu respons yang tidak konsisten dengan kecemasan.
Desensitisasi sistematik juga melibatkan teknik-teknik relaksasi. Konseli dilatih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasi. Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengancam. Tingkatan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus-stimulus penghasil keadaan santai sampai kaitan antara stimulus-stimulus penghasil kecemasan dan respons kecemasan itu terhapus. Dalam teknik ini Wolpe telah mengembangkan suatu respons-yakni relaksasi, yang secara fisiologis bertentangan dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek dari situasi yang mengancam.
Desensitisasi sistematik adalah teknik yang cocok untuk menangani fobia-fobia, konseling keliru apabila menganggap teknik ini hanya bisa diterapkan pada penanganan kekuatan-kekuatan. Desensitisasi sistematik bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan, mencangkup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakutan yang generalisasi, kecemasan-kecemasan neurotic, serta impotensa dan frigiditas seksual.
Wolpe (1969) mencatat tiga penyebab kegagalan dalam pelaksanaan desensitisasi sistematik: (1) kesulitan-kesulitan dalam relaksasi, yang bisa jadi menunjuk kepada kesilitan-kesulitan dalam komunikasi antara konselor dan konseli atau kepada keterhambatan yang ekstrem yang dialami oleh konseli, (2) tingkatan-tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan, yang ada kemungkinan melibatkan penanganan tingkatan yang keliru, dan (3) ketidakmemadaian dalam membayangkan.
Konseling Implosive dan Pembanjiran
Teknik-teknik pembanjiran berlandaskan paradigma mengenai penghapusan eksperimental. Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa pemberian perkuatan. Teknik pembanjiran berada dengan teknik desensitisasi sistematik dalam arti teknik pembanjiran tidak menggunakan agen pengondisian balik maupun tingkatan kecemasan. Konselor memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan, konseli membayangkan situasi, dan konselor berusaha mempertahankan kecemasan konseli.
Stampfl (1975) mengembangkan teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran, yang disebut “konseling implosif”. Seperti halnya dengan desensitisasi sistematik, konseling implosive berasumsi bahwa tingkah laku neurotik melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil kecemasan konseling implosif berbeda dengan desensitisasi sistematik dalam usaha konselor untuk menghadirkan luapan emosi yang masih. Alasan yang digunakan oleh teknik ini adalah bahwa, jika seorang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan tidak muncul, maka kecemasan tereduksi atau terhapus. Konseli diarahkan untuk membayangkan situasi-situasi (stimulus-stimulus) yang mengancam. Dengan secara berulang-ulang dimunculkan dalam setting konseling di mana konsekwensi-konsekwensi yang diharapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus-stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotic.
Latihan asertif
Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif, yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya, memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”, mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif lainnya, merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Konseling kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku pada kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan cara-cara yang berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi interpersonal. Fokusnya adalah mempraktekkan, melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperoleh sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketakmemadainya dan belajar bagaimana mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu.
Konseling aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Kendali aversi bisa melibatkan penarikan pemerkuat positif atau penggunaan berbagai bentuk hukuman. Contoh penggunaan hukuman sebagai cara pengendalian adalah pemberian kejutan listrik kepada anak autistic ketika tingkah laku spesifik yang tidak diinginkan muncul.
Teknik-teknik aversi adalah metoda-metoda yang paling kontroversial yang dimiliki oleh para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metoda-metoda untuk membawa orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan. Kondisi-kondisi diciptakan sehingga orang-orang melakukan apa yang diharapkan dari mereka dalam rangka menghindari konsekuensi-konsekuensi aversif.
Butir yang penting dalam teknik aversi adalah bahwa maksud prosedur-prosedur aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaptif dalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternative yang adaptif dan yang akan terbukti memperkuat dirinya sendiri.
Pengondisian operan
Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang menjadi ciri organisme yang aktif. Ia adalah tingkah laku beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku operan merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari, yang mencakup membaca, berbucara, bepakaian, makan dengan alat-alat makan, bemain, dan sebagainya. Menurut Skinner (1971), jika suatu tingkah laku diganjar,maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut di masa mendatang akan tinggi. Prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laku, merupakan inti dari pengondisian operan. Berikut uraian ringkas dari metode-metode pengondisian operan yang mencakup perkuatan positif, pembentukan respons, perkuatan intermiten, penghapusan, pencontohan, dan token economy.
a. Perkuatan positif
Pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku. Pemerkuat-pemerkuat, baik primer maupun sekunder, diberikan untuk rentang tingkah laku yang luas. Pemerkuat-pemerkuat primer memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisiologis. Contoh pemerkuat primer adalah makanan dan tidur atau istirahat. Pemerkuat-pemerkuat sekunder, yang memuaskan kebutuhan-kebutuhan psikologis dan sosial, memiliki nilai karena berasosiasi dengan pemerkuat-pemerkuat primer. Contoh-contoh pemerkuat sekunder yang bisa menjadi alat yang ampuh untuk membentuk tingkah laku yang diharapkan antara lain adalah senyuman, persetujuan, pujian, bintang-bintang emas, medali atau tanda penghargaan, uang, dan hadiah-hadiah. Penerapan pemberian perkuatan positif pada psikokonseling membutuhkan spesifikasi tingkah laku yang diharapkan, penemuan tentang apa agen yang memperkuat bagi individu, dan penggunaan perkuatan positif secara sistematis guna memunculkan tingkah laku yang diinginkan.
b. Pembentukan respons
Pembentukan respons berwujud pengembangan suatu respons yang pada mulanya tidak terdapat dalam pembendaharaan tingkah laku individu. Perkuatan sering digunakan dalam proses pembentukan respons ini. Jadi, misalnya, jika seorang guru ingin membentuk tingkah laku kooperatif sebagai tingkah laku kompetitif, dia bisa memberikan perhatian dan persetujuan kepada tingkah laku yang diinginkannya itu. Pada anak autisik yang tingkah laku motorik, verbal, emosional, dan sosialnya kurang adaptif, konselor bisa membentuk tingkah laku yang lebih adaptif dengan memberikan pemerkuat-pemerkuat primer maupun sekunder.
c. Perkuatan intermiten
Di samping membentuk, perkuatan-perkuatan bisa juga digunakan untuk memelihara tingkah laku yang telah terbentuk. Untuk memaksimalkan nilai pemerkuat-pemerkuat, konselor harus memahami kondisi-kondisi umum dimana perkuatan-perkuatan muncul. Oleh karenanya jadwal-jadwal perkuatan merupakan hal yang penting. Perkuatan terus menerus mengganjar tingkah laku setiap kali ia muncul. Sedangkan perkuatan intermiten pada umumnya lebih tahan terhadap penghapusan dibanding dengan tingkah laku yang dikondisikan melalui pemberian perkuatan yang terus menerus.
Dalam menerapkan pemberian perkuatan pada pengubahan tingkah laku, pada tahap-tahap permulaan konselor harus mengganjar setiap terjadi munculnya tingkah laku yang diinginkan. Jika mungkin, perkuatan-perkuatan diberikan segera setelah tingkah laku yang diinginkan muncul. Dengan cara ini, penerima perkuatan akan belajar, tingkah laku spesifik apa yang diganjar. Bagaimanapun, setelah tingkah laku yang diinginkan itu meningkat frekuensi kemunculannya, frekuensi pemberian perkuatan bisa dikurangi. Seorang anak yang diberi pujian setiap berhasil menyelesaikan soal-soal matematika, misalnya, memiliki kecenderungan yang lebih kuat untuk berputus asa ketika menghadapi kegagalan disbanding dengan apabila si anak hanya diberi pujian sekali-kali.
d. Penghapusan
Konselor, guru dan orang tua yang menggunakan penghapusan sebagai teknik utama dalam menghapus tingkah laku yang tidak diinginkan harus mencatat bahwa tingkah laku yang tidak diinginkan itu pada mulanya bisa menjadi lebih buruk sebelum akhirnya terhapus atau terkurangi. Contohnya, seorang anak yang telah belajar bahwa dia dengan menomel biasanya memperoleh apa yang diinginkan, mungkin akan memperhebat omelannya ketika permintaannya tidak segera dipenuhi. Jadi, kesabaran menghadapi periode peralihan amat diperlukan.
e. Pencontohan
Dalam pencontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuan untuk mencontoh tingkah laku sang model. Bandura (1969) menyatakan bahwa segenap belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh secara tidak langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya. Jadi, kecakapan-kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model yang ada. Juga reaksi-reaksi emosional yang terganggu yang dimilki seseorang bisa dihapus dengan cara orang itu mengamati orang lain yang mendekati objek-objek atau situasi-situasi yang ditakuti tanpa mengalami akibat-akibat yang menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya. Pengendalian diri pun bisa dipelajari melalui pengamatan atas model yang dikenai hukuman. Status dan kehormatan model amat berarti, dan orang-orang pada umumnya dipengaruhi oleh tingkah laku model-model yang menempati status yang tinggi dan terhormat di mata mereka sebagai pengamat.
f. Token Economy
Metode token economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila persetujuan dan penguatan-penguatan yang tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan pengaruh. Dalam token economy, tingkah laku yang layak bisa diperkuat dengan perkuatan-perkuatan yang bisa diraba (tanda-tanda seperti kepingan logam) yang nantinya bisa ditukar dengan objek-objek atau hak istimewa yang diingini. Metode token economy amat mirip dengan yang dijumpai dalam kehidupan nyata dimana, misalnya, para pekerja di bayar untuk hasil pekerjaan mereka. Penggunaan tanda-tanda sebagai pemerkuat-pemerkuat bagi tingkah laku yang layak memiliki beberapa keuntungan: (1) tanda-tanda tidak kehilangan nilai insentifnya, (2) tanda-tanda bisa mengurangi penundaan yang ada di antara tingkah laku yang layak dengan ganjarannya, (3) tanda-tanda bisa digunakan sebagai pengukur yang kongkret bagi motivasi individu untuk mengubah tingkah laku tertentu, (4) tanda-tanda adalah bentik perkuatan yang positif, (5) individu memiliki kesempatan untuk memutuskan bagaimana menggunakan tanda-tanda yang diperolehnya, dan (6) tanda-tanda cenderung menjembatani kesenjangan yang sering muncul di antara lembaga dan kehidupan sehari-hari.
Token Economy merupakan salah satu contoh dari perkuatan yang ekstrinsik, yang menjadikan orang-orang melakukan sesuatu untuk meraih “pemikat di ujung tombak”. Tujuan prosedur ini adalah mengubah motivasi yang ekstrinsik menjadi motivasi yang intrinsic. Diharapkan bahwa perolehan tingkah laku yang diinginkan akhirnya dengan sendirinya akan menjadi cukup mengganjar untuk memlihara tingkah laku yang baru.
4. Peran Konselor dalam Konseling Behavioral
Jika kita perhatikan lebih lanjut, pendekatan dalam konseling behavioral lebih cenderung direktif, karena dalam pelaksanaannya konselorlah yang lebih banyak berperan.
Adapun peran konselor dalam konseling behavioral adalah :
1) Bersikap menerima.
2) Memahami konseli.
3) Tidak menilai dan mengkritik apa yang diungkapkan oleh konseli.
4) Konselor behavioral berperan sebagai guru, pengarah, dan ahli yang membantu konseli dalam mendiagnosis dan melekukan teknik-teknik modifikasi perilaku yang sesuai dengan masalah dan tujuan yang diharapkan sehingga mengarah pada tingkah laku yang baru dan adjustif.
BAB VI
TEORI RASIONAL EMOTIF
1. Konsep Dasar Tentang Manusia
Konseling rasional emotif adalah aliran yang berasumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik berpikir rasional dan irasional. Manusia memiliki kecendrungan-kecendrungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir, mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain serta tumbuh mengaktualkan diri, akan tetapi adakalanya manusia memiliki kecendrungan memiliki ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, meyesali kesalahan secra terus-menerus, takhyul, mencela diri, mengindari pertumbuhan dan aktuallisasi diri. Manusia dilahirkan dengan kecendrungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat dan kebutuhan dalam hidupnya, jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya manusia mempersalahkan dirinya sendiri atau orang lain. (Ellis, 1973a, h. 175-176). Konseling ini menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara simultan, jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan-perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang perspektif.
Pandangan konseling rasional emotif terhadap manusia dalam hubungannya dengan teori kepribadian:
a. Neurosis adalah berpikir dan bertingkah laku irasional.” suatu keadaan alami yang pada taraf tertentu menimpa kita semua”
b. Psikiopatologi mulanya dipelajari dan diperhebat oleh timbunan keyakinan irasional yang berasal dari orang yang berpengaruh selama masa anak-anak.
c. Emosi-emosi adalah hasil pikiran manusia, jika kita berpikir buruk tentang sesuatu , maka kita pun akan merasakan sesuatu itu sebagai hal yang buruk.
Konseling ini berhipotesis bahwa, karena kita tumbuh dalam masyarakat, kita cenderung menjadi korban darii gagasan-gagasan yang keliru, cenderung mereindoktrinasi diri dengan gagasan-gagasan tersebut secara berulang-ulang dengan cara yang tidak dipikirkan dan autosugesti, dan kita tetap mempertahankan gagasan itu dalam tingkah laku kita.
2. Proses Terapeutik
2.1 Tujuan Konselingutik
Ellis mrnunjukkan bahwa banyak jalan yang digunakan dalam konseling rasional emotif yang diarahkan kepada satu tujuan utama yaitu psikokonseling yang lebih baik adalah menunjukkan konseli bahwa variabelitas-variabelitas diri mereka telah dan masih merupakan sumber utama dari gangguan-gangguan emosional yang dialami oleh mereka. Proses konselingutik terdiri atas penyembuhan irasionalitas dan rasionalitas, karena individu pada dasarnya adalah mahluk rasional dan karna sumber ketidakbahagiaan adalah irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional.
2.2 Fungsi dan Peran Konselor
Akitivitas konselingutik utama konseling rasional emotif dilaksanakan dengan satu maksud utama yaitu membantu konseli untuk membebaskan diri dari gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan logis sebagai penggantinya. Sasaranya adalah menjadikan konseli menginternalisasi keyakinan-keyakinan dogmatis yang irasional dan tahayul yang berasal dari orang tuanya maupun kebudayaannya.
Dimana untuk mencapai tujuan diatas harus melakukan langkah langkah sebagai berikut:
1. Menunjukan kepada konseli bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya.
2. Membawa konseli keseberang tahap kesadaran dengan menunjukan bahwa dia sekarang mempertahankan gangguan-gangguan emosional untuk tetap aktif dengan terus menerus berpikir secara tidak logis dengan mengulang-ulang kalimat-kalimat yang mengalahkan diri, dan yang mengekalkan pengaruh masa anak-anak.
3. Berusaha agar konseli memperbaiki pikiran-pikirannya dan meninggalkan gagasan-gagasan irasionalnya.
4. Menantang konseli untuk mengembangkan filsafat-filsafat hidup yang rasional sehingga dia bisa menghindari kemungkinan menjadi korban keyakinan-keyakinan yang rasional.
3. Pengalaman Konseli dalam Konseling
Proses konselingutik difokuskan pada pengalaman konseli pada saat sekarang. Sama halnya dengan konseling-konseling client centered dan ekstensial humanistic, konseling ini menitik beratkan pengalaman-pengalaman disini dan sekarang dan kemampuan konseli mengubah pola-pola berpikir dan beremosi yang diperolehnya pada masa kanak-kanak. Pengalaman utama konseli dalam konseling ini adalah mencapai pemahaman, konseling ini berasumsi bahwa pencapaian pemahaman emosi oleh konseli atas sumber-sumber gangguan yang dialaminya adalah bagian yang sangat penting dari proses konselingutik.
Konseling rasional emotif mengungkapkan tiga taraf pemahaman, dimana tiga taraf pemahaman itu akan dicontohkan sebagai berikut:
Seorang konseli pria yang berusaha mengatasi rasa takutnya terhadap wanita.konseli merasa terancam oleh wanita yang menarik dan dia merasa takut terhadap bagaimana reaksi yang mungkin diberikanya kepada wanita yang berkuasa itu terhadap apa yang sekiranya akan dilakukan wanita itu terhadap dirinya.
Dari contoh diatas kita dapat membedakan tiga taraf pemahaman itu,yakni;
a. Konseli menjadi sadar bawha antesenden tertentu menyebabkan dia takut terhadap wanita
b. Konseli mengakui bahwa dia masih merasa terancam oleh wanita dan tidak nyaman berada diantara wanita karena dia tetap mempercayai dan mengulang keyakinan irasional yang pernah diterimanya.
c. Penerimaan konseli bahwa dia tidak akan membaik, juga tidak akan berubah secara berarti kecuali jika dia berusaha dan sungguh-sungguh dan berbuat untuk mengubah keyakinan-keyakinan irasionalnya
Konseling ini menekankan pada pemaham taraf pertama dan kedua, yakni pengakuan konseli bahwa dirinyalah yang sekarang mempertahankan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang semula menggangu dan bahwa dia sebaiknya menghadapinya secara rasional emotif, memikirkannya dan berusaha menghapuskanya.
4. Hubungan antara konselor dan konseli
Hubungan konselor dan konseli pada konseling rasional emotif memiliki ati yang berbeda dengan arti yang tedapat dalam konseling lainya. Ellis berpendapat kehangatan pribadi, afeksi, dan hubungan pribadi antara konselor dan konseli yang intens memiliki arti sekunder, beliau tidak percaya bahwa hubungan pribadi yang mendalam atau hangat merupakan kondisi yang diperlukan untuk memadai bagi psikokonseling, tetapi beliau percaya bahwa hubungan antara konselor dan konseli merupakan bagian yang berarti dari proses konselingutik, tetapi arti itu berbeda dengan konseling lainya. Ellis menyatakan bahwa konseling rasional emotif menekankan pentingnya peran konselor sebagai model pada konseli. Selama pertemuan konselor harus menjadi model yang tidak terganggu secara emosional dan yang hidup secara rasional, konselor juga menjadi model yang berani bagi konseli dalam arti secara langsung mengungkapkan system keyakinan konseli yang irasional tanpa takut kehilangan rasa suka dan persetujuan dari konseli. Konseling ini menekankan toleransi penuh dan penghormatan positif tanpa syarat dari konselor terhadap kepribadian konseli dalam arti konselor menghindari sikap menyalahkan konseli, konselor menerima konseli sebagai manusia yang pantas dihormati karena keberadaanya, dan bukan karena apa yang dicapai.
5. Penerapan Tehnik-Tehnik dan Prosedur –Prosedur Konselingutik.
5.1 Tehnik-Tehnik dan Prosedur Utama Konseling Rasional Emotif.
Tehnik konseling rasional emotif yang esensial adalah mengajar secara aktif direktif. Segera setelah konseling dimulai, konselor memainkan peran sebagai pengajar aktif untuk mereeduksi konseli, konseling rasioanl emotif adalah proses didaktik dan karenanya menekankan pada metode-metode kognitif. Ellis menunjukan bawha penggunaan metode-metode konseling tingkah laku seperti pekerjaan rumah, desensitiasti, pengkondisian operan,hipnokonseling, dan latihan asertif cenderung digunkan secara aktif-direktif dimana konselor lebih banyak berperan sebagai guru ketimbang sebagai pasangan berelasi secara intens.
a. Penerapan pada Konseling Individual
RET di terapkan pada penanganan seorang kepada seorang yang pada umumnya di rancang sebagai konseling yang relatif singkat. Ellis menyatakan bahwa kebanyakan konseli yang di tangani secara individual memiliki satu session setiap minggunya dengan jumlah antara lima sampai sepuluh session.konseli mulai dengan mendiskusikan makalah makalah yang paling menenangkan dan menjabarkan perasaan perasaan yang membingungkannya. Konselor juga mengajak konseli untuk melihat keyakinan yang irasional yang diasosiasikan dengan kejadian- kejadian pencetus dan mengajak konseli untuk mengatasi keyakinan- keyakinan irasionalnya dengan menugaskan pekerjaan kegiatan pekerjaan rumah yang dapat membantu konseli secara langsung melumpuhkan gagasan- gagasan irasionalnya.
b. Penerapan Pada Konseling Kelompok
TRE sangat cocok diterapkan pada konseling kelompok karena semua anggota diajari untuk menerapkan prinsip- prinsip TRE pada rekan- rekannya dalam setting kelompok. Mereka memperoleh kesempatan untuk mempraktekkan tingkah laku- tingkah laku baru yang melibatkan pengambilan resiko dan untuk pelaksanaan pekerjaan rumah.Dalam setting kelompok, para anggota juga memiliki kesempatan untuk berlatih bermain peran, kecakapan sosial, dan berinteraksi dengan anggota- anggota lain sesudah pertemuan kelompok. Baik para anggota lain maupun ketua kelompok dapat mengamati tingkah laku semua anggota serta memberika umpan balik atas tingkah lakunya itu.
Ellis (1969) telah mengembangkan suatu bentuk konseling kelompok yang dikienal dengan nama A Weekend of Rational Encounter, y6ang memanfaatkan metode dan prinsip Konseling Rasional Emotif. Konseling kelompok ini dibagi kedalam dua bagian utama. Bagian pertama terdiri atas 14 jam konseling rational ecounter tanpa berhenti, yanb=ng diikuti oleh waktu istirahat selama delapan jam. Bagian kedua mencangkup terrapin 10 jam lagi, selama tahap- tahap permulaan dari pertemuan akhir pecan ini para anggota mengalami serangkaian kegiatan yang diarahkan baik verbal maupun non verbal yang dirancang untuk mereka saling mengenal. Peserta diminta untuk saling berbagi pengalaman yang paling memalukan dan didorong Untuk terlibat didalam pengambilan resiko.
BAB VII
TEORI REALITAS
1. Pandangan Tentang Sifat Manusia
Pandangan tentang konseling realita berlandaskan premis bahwa ada suatu kebutuhan psikologis tunggal yang hadir sepanjang hidup yaitu, kebutuhan akan identitas yang mencakup suatu kebutuhan untuk merasakan keunikan, keterpisahan, dan ketersendirian
Menurut Glasser (1965), basis dari konseling realitas adalah membantu para konseli dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencakup “kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain”.
Maka jelaslah bahwa konseling realitas tidak berpijak pada filsafat deterministic tentang manusia, tetapi dibangun di atas asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Prinsip ini menyiratkan bahwa masing-masing orang memikul tanggung jawab untuk menerima konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri. Tampaknya, orang menjadi apa yang ditetapkannya.
2. Ciri – Ciri Pendekatan Konseling Realita
Ciri-ciri pendekatan konseling realita adalah sebagai berikut :
à Konseling realitas menolak konsep tentang penyakit mental. Glasser berasumsi bahwa bentuk-bentuk gangguan tingah laku yang spesifik adalah akibat dari ketidak bertanggung jawaban.
à Konseling realita berfokus pada saat sekarang bukan pada masa lampau. Karena masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak bisa diubah, maka yang bisa diubah hanyalah saat sekarang dan yang akan datang.
à Konseling realita menekankan tanggung jawab. Yang oleh Glasser (1965) didefinisikan sebagai “ kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri dan melakukan dengan cara yang tidak mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.
3. Proses Konseling
Tujuan – Tujuan Konseling
Tujuan umum konseling realitas adalah membantu seseorang untuk mencapai otonomi. Pada dasarnya otonomi adalah kematangan yang diperlukan bagi kemampuan seseorang untuk mengganti dukungan lingkungan internal. Konseling realitas membantu orang-orang dalam menentukan dan menjelaskan tujuan-tujuan mereka. Konselor membantu konseli menemukan alternatife-alternatif dalam mencapai tujuan-tujuan, tetapi konseli sendiri yang menetapkan tujuan-tujun konseling.
Glasser dan Zunin ( 1973) sepakat bahwa konselor harus memiliki tujuan-tujuan tertentu bagi konseli dalam pikiranya. Akan tetapi tujuan-tujuan itu harus diungkapkan dari segi konsep tanggung jawab alih-alih dari segi tujuan-tujuan behavioral karena konseli harus menentukan tujuan-tujuan bagi dirinya sendiri.
4. Fungsi dan Peran Konselor
Fungsi konseling realitas adalah melibatkan diri dengan konseli dan kemudian membuatnya menghadapi kenyataan.
Fungsi penting lainya dari konseling realitas adalah memasang batas-batas, mencakup batas-batas dalam situasi terapeutik dan batas-batas yang ditempatkan oleh kehidupan pada seseorang. Glasser dan Zunin (1973) menunjukan penyelenggaraan kontrak sebagai suatu tipe pemasangan batas, kontrak-kontrak, yang sering menjadi bagian dari proses konseling, bisa mencakup pelaporan konseli mengenai keberhasilan maupun kegagalannya dalam pekerjaan diluar situasi konseling.
a. Pengalaman Konseli Dalam Konseling
Para konseli dalam konseling realitas bukanlah orang-orang yang telah belajar menjalani kehidupan secara bertanggung jawab, melaikan orang-orang yang termasuk tidak bertanggung jawab. Meskipun tingkah lakunya tidak layak, tidak realistis, dan tidak bertanggung jawab, tingkah laku para konseli itu masih merupakan upaya utuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka akan cinta dan rasa berguna.
Para konseli diharapkan berpokus pada tingkah laku mereka sekarang alih-alih kepada perasaan-perasaan dan sikap-sikap mereka. Konselor menangtang para konseli untuk memandang secara kritis apa yang mereka perbuat dengan kehidupan mereka dan kemudian membuat pertimbangan-pertimbangan nilai yang menyangkut keefektipan tungkah laku mereka dalam mencapai tujuan-tujuan.
Setelah para konseli membuat penilaian tertentu tentang tingkah lakunya sendiri serta memutuskan bahwa mereka ingin berubah, mereka diharapkan membuat rencana-rencana yang spesifik guna mengubah tingkah laku yang gagal menjadi tingkah laku yang berhasil.
b. Hubungan Antara Konselor dan Konseli
Menurut yang dikemukakan oleh Glasser ( 1965,1969) serta Glasser dan Zunin (1973) hubungan konselor dengan konseli adalah sebagai berikut :
1. Konseling realitas berlandaskan hubungan antara keterlibatan pribadi antara konselor dengan konseli. Konselor dengan kehangatan, pengertian, penerimaan, dan kepercayaan atas kesanggupan konseli untuk mengembangkan suatu identitas keberhasilan, harus mengomunikasikan bahwa dia menaruh perhatian.
2. Perencanaan adalah hal selalu esensial dalam konseling realitas. Mereka harus membentuk rencana-rencana, jika telah terbentuk harus dijalankan.
3. Komitmen adalah kunci utama konseling realitas. Setelah para konseli membuat pertimbangan-pertimbangan nilai mengenai tingkah lakunya sendiri dan memutuskan rencana tindakan, konselor membantu mereka dalam membuat suatu komitmen untuk melaksanakan rencana-rencana itu dalam kehidupan sehari-hari mereka.
4. Konseling realitas tidak menerima dalih. Tidak semua komitmen konseli bisa terlaksan. Rencana-rencana bisa saja gagal, akan tetapi jika rencana-rencana gagal, konselor realitas tidak menerima dalih. Ia tidak tertarik untuk mendengar alasan-alasan, penyalahan, dan keterangan-keterangan konseli tentang mengapa rencana itu gagal.
5. Penerapan : Teknik – Teknik Dan Prosedur – Prosedur Konseling
a. Teknik-teknik dan Prosedur-Prosedur Utama
Dalam membantu konseli untuk menciptakan identitas keberhasilan, konselor bisa menggunakan beberapa teknik sebagai berikut :
1. Terlibat dalam permainan peran dengan konseli.
2. Menggunakan humor.
3. Mengkonfrontasikan konseli dan menolak dalih apapun.
4. Membantu konseli dalam merumuskan rencana-rencana yang spesifik bagi tindakan.
5. Bertindak sebagai model dan guru.
6. Memasang batas-batas dan menyusun situasi konseling.
7. Menggunakan “konseling kejutan verbal” atau sarkasme yang layak untuk mengkonfrontasikan konseli dengan tingkah lakunya yang tidak realistis; dan
8. Melibatkan diri dengan konseli dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif.
b. Penerapan Pada Situasi-Situasi Konseling
Glasser dan Zunin ( 1973) percaya bahwa teknik-teknik konseling tealitas bisa diterapkan pada lingkup masalah behavioral dan emosional yang luas. Mereka menyatakan bahwa prosodur – prosodur konseling realitas telah digunakan dengan berhasil pada penanganan” masalah - masalah individu yang spesifik seperti masalah kecemasan, maladjustment,dan konflik-konflik perkawinan. Konseling realitas cocok untuk digunakan dalam konseling individual, kelompok, dan konseling perkawinan.
BAB VIII
TEORI TRAIT AND FACTOR
1. Konsep Dasar Teori Konseling Trait dan Factor Tentang Manusia
Kepribadian merupakan suatu sistem sifat atau faktor yang saling berkaitan satu sama lain seperti kecakapan, minat, sikap, dan temperamen. Hal yang mendasar bagi konseling trait dan factor adalah asumsi bahwa individu berusaha untuk menggunakan pemahaman diri dan pengetahuan kecakapan dirinya sebagai dasar bagi pengembangan potensinya. Maksud konseling menurut Williamson adalah untuk membantu perkembangan kesempurnaan berbagai aspek kehidupan manusia, serta tugas konseling trait dan factor adalah membantu individu dalam memperoleh kemajuan memahami dan mengelola diri dengan cara membantunya menilai kekuatan dan kelemahan diri dalam kegiatan dengan perubahan kemajuan tujuan-tujuan hidup dan karir (Shertzer & Stone, 1980, 171).
Williamson menyebut filsafatnya sebagai “personalisme” bahwa manusia merupakan seorang individu yang unik untuk sebagian besar dapat mempengaruhi dan menguasai baik pembawaan, maupun lingkungannya. Pada tiap orang ada sifat-sifat yang umum secara manusiawi dan terdapat pada semua manusia. Di samping itu ada pula sifat yang khas terdapat pada seseorang yaitu sifat yang unik. Hal itu terjadi karena pembawaan dan lingkungan tiap orang berbeda-beda.
Dasar psikologis dari aliran trait and factor ini banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh psikologi lain, misalnya Cattell, Spearman, dan Mc Dougall, juga dipengaruhi oleh psikoanalisa. Aliran ini memandang bahwa manusia bersifat rasional dengan kemampuan berkembang kearah positif atau negatif. Manusia memerlukan bantuan orang lain dalam perkembangannya.
Perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor keturunan dan lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan belajar. Potensi pribadi seseorang relatif stabil setelah berumur 7 tahun. Eysenck mendapat pengaruh dari Alport yang menekankan adanya sistem, sruktur dan organisasi dalam perilaku seseorang. Eysenk mengemukakan batasan kepribadian sebagai berikut. Karakter adalah sistem yang sedikit banyak tetap dan berkelanjutan dari perilaku konatif (kemauan). Yang dimaksud dengan temperamen adalah sistem yang sedikit banyak berkelanjutan dari perilaku afektif (emosi). Yang dimaksud dengan intelek adalah sistem yang sedikit banyak tetap dan berkelanjutan dari perilaku kognitif (kecerdasan). Yang dimaksud dengan fisik adalah sistem yang sedikit banyak tetap dan berkelanjutan dari bentuk tubuh dan pembawaan susunan saraf kelenjar endokrin. Sedangkan Williamson memiliki pandangan tentang manusia adalah sebagai berikut:
1. Manusia memiliki potensi berbuat baik dan buruk. Makna hidup adalah mencari kebenaran dan berbuat baik serta menolak kejahatan, paling tidak menguasai keburukan dan kejahatan. Menjadi manusia seutuhnya tergantung dari derajat kewaspadaan dan penguasaan diri dan hanya bisa dicapai dalam hubungan dengan manusia lainnya.
2. Diri manusia hanya akan berkembang di dalam masyarakat dan pada hakekatnya manusia tak bisa hidup sepenuhnya di luar masyarakat.
3. Manusia ingin mencapai kehidupan yang baik. Sebenarnya pencaharian serta usaha ke arah itu pun sudah menunjukkan dan merupakan kehidupan yang baik.
2. Konsep Dasar Teori Konseling Trait-Factor
Yang dimaksud dengan trait adalah suatu ciri yang khas bagi seseorang dalam berpikir, berperasaan, dan berprilaku, seperti intelegensi (berpikir), iba hati (berperasaan), dan agresif (berprilaku). Ciri itu dianggap sebagai suatu dimensi kepribadian, yang masing-masing membentuk suatu kontinum atau skala yang terentang dari sangat tinggi sampai sangat rendah. Teori Trait dan Factor adalah pandangan yang mengatakan bahwa kepribadian seseorang dapat dilukiskan dengan mengidentifikasikan jumlah ciri, sejauh tampak dari hasil testing psikologis yang mengukur masing-masing dimensi kepribadian itu.
Konseling Trait dan Factor berpegang pada pandangan yang sama dan menggunakan tes-tes psikologis untuk menganalisis atau mendiagnosis seseorang mengenai ciri-ciri dimensi/aspek kepribadian tertentu, yang diketahui mempunyai relevansi terhadap keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam jabatan dan mengikuti suatu program studi. Dan juga istilah konseling trait dan factor dapat dideskripsikan adalah corak konseling yang menekankan pemahaman diri melalui testing psikologis dan penerapan pemahaman itu dalam memecahkan baraneka problem yang dihadapi, terutama yang menyangkut pilihan program studi/bidang pekerjaan.
Eysenck tokoh lain dari Aliran Trait-factor menyebut pula sifat sebagai konsep pokoknya. Ia memberikan batasan yang pada dasarnya sama, tetapi dengan perumusan yang agak lain. Ia menyebut sifat sebagai prinsip pengatur yang dapat disimpulkan dari pengamatan perilaku. Secara lebih sederhana ia menyebut sifat sebagai kelompok prilaku yang berkorelasi. Metode yang digunakan untuk penelitianya sama dengan Cattell ialah analisis faktor. Mengenai tipe-tipenya ia banyak mengambil dari tipelogi yang sudah ada. Jadi sifat-sifat seseorang dikaitkanya kepada tipe-tipe.
Eyseck jga memakai istilah sikap seperti Cattell, tetapi dihubungkannya dengan minat, opini (pendapat dan ideologi). Menurut pendapatnya, minat adalah sikap yang menunjukkan nilai positif terhadap sesuatu. Sedangkan sentimen sesuai dengan arti yang diberikan Mc Dougall mencangkup daerah afektif (perasaan) maupun conative (kemauan).
Williamson berpendapat bahwa kepribadian terdiri dari sistem sifat atau faktor yang saling tergantung, seperti kemampuan, minat, sikap dan temperamen. Perkembangan individu dari masa kanak-kanak ke masa dewasa maju kalau faktor-faktor tersebut diperkuat dan menjadi matang. Studi ilmiah telah dilakukan untuk mengetahui berbagai sifat individu dan membantunya mengenal dirinya sendiri serta meramalkan keberhasilanya dalam berbagai kegiatan atau jabatan.
Williamson pun memiliki konsep pokok bahwa terdapat sifat (trait) yang unik pada tiap individu dan yang harus diselidiki secara objektif dengan pengukuran yang objektif pula. Sama juga dengan tokoh-tokoh yang lainnya, ia menekankan pentingnya lingkungan, terutama masyarakat. Tujuan penyuluhan tidak dapat terbatas kepada bantuan kepada individu untuk mengenal dirinya sendiri dan mengatur dirinya sendiri saja. Dengan demikian, ia mungkin menjadi orang yang berpusat pada diri sendiri dan hanya mementingkan diri sendiri dan tak mungkin pula ia menjadi orang yang baik dalam arti yang sebenarnya.
Sifat ini merupakan konsep pokok dalam aliran yang dipengaruhi oleh Allport, karena Allport yang mulai menekankan pentingnya konsep diri. Untuk aliran ini, sifat dapat disebut struktur mental yang ditemukan melalui pengamatan perilaku dan merupakan keteraturan dan ketetapan dari perilaku tertentu. Ada beberapa jenis dan pengelompokan sifat, yaitu:
a. Sifat umum (comon traits) ialah sifat yang terdapat pada semua manusia.
b. Sifat khas (unique traits) yang terdapat pada orang-orang tertentu, yang dapat lagi dibagi menjadi:
· Sifat unik relatif, perbedaanya terjadi karena pengaturan sifat yang berbeda.
· Sifat unik intrinsik, sifat yang betul-betul berbeda dengan orang lain, yang menyebabkan keunikan seorang individu.
Sifat-sifat ini dikelompokan pula menjadi:
a. Sifat permukaan (surfacetraits) yang bisa tampak pada seseorang dan bisa diamati orang lain merupakan hasil interaksi antara pembawaan dan lingkungan dan merupakan sekelompok peristiwa perilaku yang beralan bersama.
b. Sifat asal (source trait) merupakan pengaruh struktural sebenarnya yang mendasari kepribadian, berasal dari pembawaan dan konsistusi seseorang, sifat asal yang berinteraksi dengan lingkungan ada yang tampak sebagai sifat permukaan, tetapi ada juga yang tetap intrinsik sifatnya.
Adapun tujuan dari konseling trait dan factor adalah untuk mengajak siswa (konseling) untuk berfikir mengenai dirinya serta mampu mengembangkan cara-cara yang dilakukan agar dapat keluar dari masalah yang dihadapinya. Selain itu, dimaksudkan agar siswa mengalami:
· Self-Clarification / Klarifikasi diri
· Self-Understanding / Pemahaman diri
· Self-Acceptance / Penerimaan diri
· Self-Direction / Pengarahan diri
· Sel-Actualization / Aktualisasi diri
3. Peranan Konselor dan Proses Konseling Trait dan Factor
Peranan konselor menurut aliran trait dan factor adalah memberi tahu konseli tentang berbagai kemampuannya yang diperoleh konselor melalui hasil testing pula ia mengetahui kelemahan dan kekuatan kepribadian konseli, sehingga dapat meramalkan jabatan apa atau jurusan apa yang cocok bagi konseli. Konselor membantu konseli menentukan tujuan yang akan dicapainya disesuaikan dengan hasil testing. Juga dengan memberitahukan sifat serta bakat konseli, maka konseli bisa mengelola hidupnya sendiri sehingga dapat hidup lebih berbahagia. Jadi peranan konselor disini adalah memberitahukan, memberikan informasi, mengarahkan, karena itu pedekatan ini disebut kognitif rasional.
Proses konseling dibagi dalam 5 tahap / langkah, yaitu :
1. Analisis terdiri dari pengumpulan informasi dan data mengenai siswa atau konseli. Baik konseli maupun konselor harus mempunyai informasi yang dapat dipercaya, valid, dan relevan untuk mendiagnosa pembawaan, minat, motif, kesehatan jasmani dan lain sebagainya. Alat analisis yang dapat dikumpulkan adalah :
a. Catatan komulatif
b. Wawancara
c. Format distribusi waktu
d. Otobiografi
e. Catatan anekdot
f. Test psikologi
Study kasus dapat merupakan alat analisis maupun metode untuk memadukan semua data dan terdiri dari catatan komprehensif yang mencakup keadaan keluarga, perkembangan kesehatan, pendidikan maupun pekerjaan serta minat, dan kreasi dan kebiasaan – kebiasaan. Selain mengumpulkan data obyektif, konselor memperhatikan pula cita – cita dan sikap konseli.
2. Sintesis merupakan langkah untuk merangkum dan mengatur data dari hasil analisis, sedemikian rupa sehingga menunjukan bakat siswa, kelemahan serta kekuatannya. Penyesuaian diri maupun ketaksanggupan menyesuaikan diri.
3. Diagnosis merupakan langkah pertama dalam bimbingan dan hendaknya dapat menemukan ketetapan dan pola yang menuju kepada permasalahan, sebab – sebabnya serta sifat – sifat siswa yang berarti dan relevan yang berpengaruh kepada proses penyesuaian diri. Diagnosis meliputi 3 langkah, yaitu:
a. Identifikasi masalah yang sifatnya deskriptif dapat menggunakan kategori Bordin dan Pepinsky. Kategori diagnosis Bordin
- dependence (ketergantungan)
- lack of information (kurangnya informasi)
- self conflict (konflik diri)
- choice anxiety (kecemasan dalam membuat pilihan)
Kategori diagnosis Pepinsky
- lack of assurance (kurang dukungan)
- lack of information (kurang informasi)
- lack of skill (kurang keterampilan)
- dependence (ketergantungan)
- self conflict (konlflik diri)
b. Menentukan sebab – sebab, mencakup pencaharian hubungan antara massa lalu, masa kini, dan masa depan yang dapat menerangkan sebab – sebab gejala.
c. Prognosis merupakan upaya untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi berdasarkan data yang ada. Prognosis, misal diagnosisnya kurang cerdas, prognosisnya menjadi kurang cerdas untuk pengerjaan sekolah yang sulit, sehingga mungkin sekali gagal kalau ingin belajar menjadi dokter. Dengan demikian konselor bertanggung jawab dan membantu konseli untuk mencapai tingkat pengambilan tanggung jawab untuk dirinya sendiri, yang berarti ia mampu dan mengerti secara logis, tetapi secara emosional belum mau menerima.
4. Konseling merupakan hubungan membantu bagi konseli untuk menemukan sumber diri sendiri maupun sumber lembaga dan masyarakat membantu konseli mencapai penyesuaian optimal, sesuai dengan kemampuannya. Hal ini mencakup 5 jenis konseling :
a. Belajar terpimpin menuju pengertian diri.
b. Mendidik kembali atau mengajar kembali sesuai dengan kebutuhan individu sebagai alat untuk mencapai tujuan kepribadiannya dan penyesuaian hidupnya.
c. Bantuan pribadi dari konselor supaya konseli mengerti dan terampil dalam menerapkan prinsip dan teknik yang diperlukan dalam kehidupan sehari – hari.
d. Mencakup hubungan dan teknik yang bersifat menyembuhkan dan efektif.
e. Suatu bentuk mendidik kembali yang sifatnya sebagai katarsis atau penyaluran.
Selain itu, terdapat juga proses dari pada konseling (treatment) yang berhubungan dengan pemecahan masalah konseling yaitu ada 4 langkah:
· Pengembangan alternatif masalah.
· Proses pemecahan masalah dengan menggunakan beberapa strategi.
· Pengujian alternatif pemecahan masalah. Dilakukan untuk menentukan alternatif mana yang akan diimplementasikan, sehingga perlu diuji kelebihan dan kelemahan, keuntungan dan kerugian, serta faktor pendukung dan penghambat.
· Pengambilan keputusan. Keputusan diambil berdasarkan syarat, kegunaaan, dan fleksibilitas yang dipilih konseli.
5. Tindak lanjut atau follow up mencakup bantuan kepada siswa dalam menghadapi masalah baru dengan mengingatkannya kepada masalah sumbernya sehingga menjamin keberhasilan konseling. Teknik yang digunakan konselor harus disesuaikan dengan individualitas siswa, mengingat bahwa tiap individu unik sifatnya, sehingga tidak ada teknik yang baku yang berlaku untuk semua.
4. Penerapan Langkah atau Teknik Konseling Trait dan Factor
Ada beberapa langkah konseling menurut Cattell, yaitu:
1. Selama satu jam tiap pertemuan konseli mengerjakan test buku yang objektif dan test kepribadian maupun mengadakan pengukuran fisiologis.
2. Setengah jam ia menceritakan tentang mimpi – mimpinya dengan bantuan konselor biasanya ia dapat menafsirkan mimpi – mimpinya,
3. Setengah jam terakhir konseli disuruh berasosiasi bebas tentang mimpinya.
Konseling tidak dibatasi kepada jenis konflik tertentu, dan oleh karena itu konseling mencakup berbagai teknik yang relevan dan sepadan dengan hakekat masalah konseli dan situasi yang dihadapi. Keragaman individu memunculkan keragaman teknik konseling. Di dalam proses konseling, tidak ada teknik tertentu yang dapat digunakan untuk konseling kepada seluruh siswa dan arah konseling bersifat individual. Teknik konseling harus disesuaikan dengan individualitas siswa, dan kita tidak menghindari kenyataan bahwa setiap masalah siswa menuntut fleksibelitas dan keragaman konseling.
Teknik konseling bersifat khusus bagi individu dan masalahnya. Setiap teknik hanya dapat digunakan bagi masalah dan siswa secara khusus. Teknik– teknik yang digunakan dalam proses konseling ialah :
1. Pengukuran Hubungan Intim (rapport). Konselor menerima konseli dalam hubungan yang hangat, intim, bersifat pribadi, penuh pemahaman dan terhindar dari hal-hal yang mengancam konseli.
2. Memperbaiki pemahaman diri. Koseli harus memahami kekuatan dan kelemahan dirinya, dan dibantu untuk menggunakan kekuatanya dalam upaya mengatasi kelemahanya.
3. Pemberian nasehat atau perencanaan program kegiatan. Konselor mulai bertolak dari pilihan, tujuan, pandangan atau sikap konselor dan kemudian menunjukan data yang mendukung atau tidak mendukung dari hasil diagnosis. Ada 3 metode pemberian nasehat yang dapat digunakan oleh konselor, yaitu :
a. Nasehat langsung (direct advising), dimana konselor secara terbuka dan jelas menyatakan pendapatnya. Pendekatan ini dapat digunakan kepada konseli yang berpegang teguh pilihan atau kegiatannya, yang oleh konselor diyakini bahwa keteguhan konseli itu akan membawa kegagalan bagi dirinya sendiri
b. Metode Persuasif, dengan menunjukkan pilihan yang pasti secara jelas. Penyuluh menata evidensi ecara logis dan beralasan sehingga tersuluh melihat alternative tindakan yang mungkin dilakukannya.
c. Metode Menjelaskan, yang merupakan metode yang paling dikehendaki dan memuaskan. Konselor secara hati- hati dan perlahan-lahan menjelaskan data diagnostik dan menunjukkan kemungkinan situasi yang menuntut penggunaan potensi konseli.
4. Melaksanakan rencana, yaitu menetapkan pilihan atau keputusan.
5. Mengalihkan kepada petugas atau ahli lain yang lebih berkompeten atau disebut dengan alih tangan kasus.
Menurut Eysenc, tujuan konseling ialah mempekuat keseimbangan antara pengaktian dan pemahaman sifat – sifat, sehingga dapat bereksi dengan wajar dan stabil. Teknik penyuluhan disamping penggunaan tes, penting sekali wawancara, hubungan tatap muka antara konselor dan konseli. Pendekatan konseling harus berbeda kalau berhadapan dengan anak – anak, remaja atau dewasa.
Menurut pendapatnya, hubungan konseling merupakan hubungan yang akrab, sangat bersifat pribadi dari hubungan yang akrab, sangat bersifat pribadi dari hubungan tatap muka kemudian konselor bukan hanya membantu individu mengembangkan individualitas apa saja yang sesuai dengan potensinya, tetapi konselor harus mempengaruhi siswa berkembang ke suatu arah yang terbaik baginya. Konselor memang tidak menetapkan, tetapi hanya cara yang baik yang memberi pengaruh, karena itu pula aliran ini disebut dengan konseling direktif.
BAB IX
TEORI PSIKOANALISA
1. Konsep Utama Teori Psikoanalisa Sigmund Freud.
1.1 Pandangan tentang sifat manusia
Pandangan freud tentang sifat manusia pada dasarnya manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional,motifasi-motifasi tak sadar, kebutuhan—kebutuhan dan dorongan-dorongan biologis dan naruliah, dan oleh peritiwa-peristiwa psikosek sual yang terjadi selama lima tahun pertama dari kehidupan.
Manusia dipandang sebagai sistem—sistem energi, menurut pandangan freud , dinamika kepribadian terdiri dari cara-cara energi psikis dibagikan kepada id,ego, dan superego. Karena energi psikis itu terbatas, maka satu sistem memegang kendali atas energy yang tersedia sambil mengorbankan dua sistem yang lainnya. Tingkah laku dideterminasi oleh energi psikis ini. Freud juga menekankan peran naluri-naluri. Segenap naluri bersifat bawaan dan biologis. Freud menekankan naluri—naluri seksual dan implus-implus agresif. Ia melihat tingkah laku sebagai dideterminasi oleh hasrat memperoleh kesenangan dan menghindari kesakitan. Manusia memiliki naluri-naluri kehidupan maupun naluri-naluri kematian. Menurut freud,tujuan segenap kehidupan adalah kematian; kehidupan tidak lain dalah jalan melingkar kearah kematian.
1.2 Struktur Kepribadian
Menurut pandangan psikoanalitik, struktur kepribadian terdiri dari tiga sistem: id, ego, dan superego. Ketiganya adalah nama bagi proses-proses psikologi dan jangan dipikirkan sebagai agen-agen yang secara terpisah mengoperasikan kepribadian; merupakan fungsi-fungsi kepribadian sebagai keseluruhan ketimbang sebagai tiga bagian yang terasing satu sama lain. Id adalah komponen biologis, ego adalah komponen psikologis, sedangkan superego merupakan komponen sosial.
Id
Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir. Aspek kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif. Menurut Freud, id adalah sumber segala energi psikis, sehingga komponen utama kepribadian. Id didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan, keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak puas langsung, hasilnya adalah kecemasan negara atau ketegangan. Sebagai contoh, peningkatan rasa lapar atau haus harus menghasilkan upaya segera untuk makan atau minum. id ini sangat penting awal dalam hidup, karena itu memastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi. Jika bayi lapar atau tidak nyaman, ia akan menangis sampai tuntutan id terpenuhi.
Namun, segera memuaskan kebutuhan ini tidak selalu realistis atau bahkan mungkin. Jika kita diperintah seluruhnya oleh prinsip kesenangan, kita mungkin menemukan diri kita meraih hal-hal yang kita inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan keinginan kita sendiri. Perilaku semacam ini akan baik mengganggu dan sosial tidak dapat diterima. Menurut Freud, id mencoba untuk menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh prinsip kesenangan melalui proses utama, yang melibatkan pembentukan citra mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan.
Ego
Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk menangani dengan realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id dan memastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di dunia nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar, prasadar, dan tidak sadar. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang berusaha untuk memuaskan keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan sosial yang sesuai. Prinsip realitas beratnya biaya dan manfaat dari suatu tindakan sebelum memutuskan untuk bertindak atas atau meninggalkan impuls. Dalam banyak kasus, impuls id itu dapat dipenuhi melalui proses menunda kepuasan – ego pada akhirnya akan memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam waktu yang tepat dan tempat. Ego juga pelepasan ketegangan yang diciptakan oleh impuls yang tidak terpenuhi melalui proses sekunder, di mana ego mencoba untuk menemukan objek di dunia nyata yang cocok dengan gambaran mental yang diciptakan oleh proses primer id’s.
Superego
Komponen terakhir untuk mengembangkan kepribadian adalah superego. superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua orang tua dan masyarakat – kami rasa benar dan salah. Superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian.
Ada dua bagian superego:
Yang ideal ego mencakup aturan dan standar untuk perilaku yang baik. Perilaku ini termasuk orang yang disetujui oleh figur otoritas orang tua dan lainnya. Mematuhi aturan-aturan ini menyebabkan perasaan kebanggaan, nilai dan prestasi. Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang dianggap buruk oleh orang tua dan masyarakat. Perilaku ini sering dilarang dan menyebabkan buruk, konsekuensi atau hukuman perasaan bersalah dan penyesalan. Superego bertindak untuk menyempurnakan dan membudayakan perilaku kita. Ia bekerja untuk menekan semua yang tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk membuat tindakan ego atas standar idealis lebih karena pada prinsip-prinsip realistis. Superego hadir dalam sadar, prasadar dan tidak sadar.
Interaksi dari Ego, Id dan superego
Dengan kekuatan bersaing begitu banyak, mudah untuk melihat bagaimana konflik mungkin timbul antara ego, id dan superego. Freud menggunakan kekuatan ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan ego berfungsi meskipun kekuatan-kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego yang baik dapat secara efektif mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan kekuatan ego terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras hati atau terlalu mengganggu.
1.3 Kesadaran dan ketaksadaran
Sumbangan-sumbangan freud terbesar adalah konsep-konsepnya tentang kesadaran dan ketaksadaran yang merupakan kunci-kunci untuk memahami tingkahlaku dan masalah-masalah kepribadaian. Ketaksadaran tidak bisa dipelajari secara langsung; ia bisa dipelajari dari tingkahlaku. Pembuktian klinis guna membuktian konsep ketaksadaran mencakup: (1) mimpi-mimpi, yang merupakan representasi-representasi simbolik dari kebutuhan-kebutuhan, hasrat-hasrat, dan koflik-konflik yak sadar; (2) salah ucap atau lupa misalnya terhadap nama yang di kenal; (3) sugesti-sugesti pasca hipnotik; (4) bahan-bahan yang berasal dari teknik-teknik saosiasi bebas; dan (5) bahan-bahan yang berasal dari teknik-teknik proyaktif.
Bagi Freud, kesadaran merupakan bagian terkecil dari keseluruhan jiwa. Seperti gunung es yang mengapung yang bagian terbesarnya berada di bawah permukaan air, bagian jiwa yang terbesar berada di bawah permukaan kesadaran. Ketaksadaran itu menyimpan pengalaman-pengalaman , ingtan-ingtan, dan bahan-bahan yang di represi. Kebutuhan-kebutuhan dan motivasi-motivasi yang tidak bisa dicapai yakni terletak di luar kesadaran/ juga berada di luar daerah kendali. Ferud juga percaya bahwa sebagian besar fungsi psikologis terletak di luar kawsan kesadaran.
1.4 Kecemasan
Kecemasan adalah suatu keadaan tegang yang memotivasi kita untuk berbuat sesuatu. Fungsinya adalah memperingatkan adanya ancaman bahaya-yakni sinyal bagi ego yang akan terus meningkat jika tindakan-tindakan yang layak untuk mengatasi acnaman bahaya itu tidak di ambil.
Ada tiga macam kecemasan: kecemasan relistis, kecemasan neorotik, dan kecemasan moral. Kecemasan realistis adalah ketakutan terhadap bahaya dari dunia eksternal, dan taraf kecemasannya sesuai dengan derajat ancaman yang ada, kecemasan neurotik adalah ketakutan terhadap tidak terkendalinya naluri-naluri yang menyebabkan seseorang melakukan sesuati tindakan yang bisa mendatangkan hukuman bagi dirinya. Kecemasan moral adalah ketakutan terhadap hati nurani sendiri.
1.5 Mekanisme pertahanan ego
Mekanisme pertahahan ego termasuk dalam teori psikoanalisis Sigmund Freud. Timbulnya mekanisme pertahanan ego tersebut, karena adanya kecemasan-kecemasan yang dirasakan individu. Maka, mekanisme pertahanan ego terkait dengan kecemasan individu. Adapun definisi kecemasan ialah perasaan terjepit atau terancam, ketika terjadi konflik yang menguasai ego (Boeree, 2005:42). Kecemasan-kecemasan ini ditimbulkan oleh ketegangan yang datang dari luar. Sigmund Freud sendiri mengartikan mekanisme pertahanan ego sebagai strategi yang digunakan individu untuk mencegah kemunculan terbuka dari dorongan-dorongan id maupun untuk menghadapi tekanan superego atas ego, dengan tujuan agar kecemasan bisa dikurangi atau diredakan. Mekanisme-mekanisme pertahanan ego itu tidak selalu patologis, dan bisa memiliki nilai penyesuaian jika tidak menjadi suatu gaya hidup untuk menghindari kenyataan. Mekanisme-mekanisme pertahanan ego yang digunakan oleh individu bergantung pada taraf perkembangan dan derajat kecemasan yang dialaminya. Berikut ini penjabaran-penjabaran singkat mengenai beberapa bentuk mekanisme pertahanan ego: (1) Penyangkalan, (2) Proyeksi, (3) Fiksasi, (4) Regresi, (5) Rasionalisasi, (6) sublimasi, (7) displacement, (8) represi, (9) formasi reaksi
Ø Penyangkalan: Pertahanan melawan kecemasan dengan “ menutup mata “ terhadap keberadaan kenyataan yang mengancam. Individu menolak sejumlah aspek kenyataan yang membangkitkan kecemasan. Contohnya, kecemasan atas kematian orang yang yang dicintai misalnya sering memanifestasikan oleh penyangkalan terhadap fakta kematian.
Ø Proyeksi: Mengalamatkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego kepada orang lain. Seseorang melihat pada diri orang lain hal-hal yang tidak disukai dan ia tidak bisa menerima adanya hal-hal yang itu pada diri sendiri, jadi dengan proyeksi seseorang akan mengutuk orang lain karena kejahatannya dan menyangkal memiliki dorongan jahat seperti itu.
Ø Fiksasi: Menjadi terpaku pada tahap-tahap yang lebih awal, karena mengambil langkah ketahap selanjutnya. Selanjutnya bisa menimbulkan kecemasan.
Ø Regresi: Melangkah mundur ke fase perkembangan yang lebih awal yang tuntutan-tuntutan tidak terlalu besar.
Ø Rasionalisasi: Menciptakan alasan-alasan yang baik guna menghindari ego dari cedera memalsukan diri sehingga kenyataan yang mengecewakan menjadi tidak menyakitkan.
Ø Sublimasi: Menggunakan jalan keluar yang lebih tinggi atau yang secara sosial lebih dapat diterima bagi dorongan-dorongannya.
Ø Displacement: Mengarahkan energy kepada objek atau orang lain apabila objek asal atau orang yang sesungguhnya tidak bisa dijangkau.
Ø Represi: Sebentuk upaya pembuangan setiap bentuk impuls, ingatan, atau pengalaman yang menyakitkan atau memalukan dan menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.
Ø Formasi reaksi: Melakukan tindakan yang berlawanan dengan hasrat-hasrat tak sadar jika perasaan-perasaan yang lebih dalam menimbulkan ancaman maka seseorang menampilkan tingkah laku yang berlawanan guna menyangkal perasaan-perasaan yang menimbulkan ancaman.
2. Perkembangan Kepribadian
2.1 Pentingnya perkembangan awal
Sumbangan yang berarti dari model psikoanalitik adalah pelukisan tahap-tahap perkembangan psikososial dan psikoseksual individu dari lahir hingga dewasa. Kepada konselor ia menyuguhkan perangkat-perangkat konseptual bagi pemahaman kecenderungan-kecendrungan dalam perkembangan, karakteristik tugas-tugas perkembangan utama dari berbagai taraf pertumbuhan, fungsi personal dan sosial yang normal dan abnormal, kebutuhan-kebutuhan yang kritis berikut dan frustrasinya, sumber-sumber kegagalan perkembangan kepribadian yang mengarah pada masalah-masalah penyesuaian di kemudian hari, serta penggunaan mekanisme-mekanisme pertahanan ego yang sehat dan tidak sehat. Freud telah menemukan bahwa masalah-masalah yang paling khas yang dibawa orang-orang, baik dalam kondisi-kondisi konseling individual maupun kelompok, terdiri dari: (1) ketidakmampuan menaruh kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain, ketakutan untuk mencintai dan untuk membentuk hubungan intim, dan rendahnya rasa harga diri; (2) ketidakmampuan mengakui dan mengungkapkan perasaan-perasaan benci dan marah, penyangkalan terhadap kekuatan sendiri sebagai pribadi, dan kekurangan perasaan-perasaan otonom; (3) ketidakmampuan menerima sepenuhya seksualitas dan perasaan-perasaan diri-sendiri, kesulitan untuk menerima diri-sendiri sebagai pria dan wanita, dan ketakutan terhadap seksualitas. Menurut pandangan psikoanalitik Freudian, ketiga area perkembangan personal dan sosial (cinta dan rasa percaya, penanganan perasaan-perasaan negatif, dan pengembangan penerimaan yang positif terhadap seksualitas) itu berlandaskan lima tahun pertama dari kehidupan. Periode perkembangan ini merupakan landasan bagi perkembangan kepribadian selanjutnya.
2.2 Tahun pertama kehidupan: fase oral
Freud mengajukan teori tentang seksualitas infantil. Sejak Freud, kegagalan masyarakat untuk mengakui seksualitas infantil bisa diterangkan oleh tabu-tabu kultural, dan setiap represi individu atas pengalaman-pengalaman infantile dan masa kanak-kanak berada dalam area ini. Dari lahir sampai akhir usia satu tahun seorang bayi menjalani fase oral. Menghisap buah dada ibu memuaskan kebutuhannya akan makanan dan kesenangan. Karena mulut dan bibir merupakan zone-zone erogen yang peka selama fase oral ini, bayi mengalami kenikmatan erotik dari tindakan menghisap. Benda-benda yang dicari oleh anak dapat menjadi substitut-subtitu bagi apa-apa yang sesungguhnya diinginkannya yakni makanan dan cinta dari ibunya. Tugas perkembangan utma fase oral adalah memperoleh rasa percaya kepada orang lain, kepada dunia, dan kepada diri sendiri. Cinta adalah suatu perlindungan terbaik terhadap ketakutan dan ketidakamanan. Anak-anak yang dicintai oleh orang lain hanya mendapat sedikit kesulitan dalam menerima dirinya sendiri. Sedangkan anak yang merasa tidak diinginkan, tidak diterima, dan tidak dicintai, cenderung mengalami kesulitan yang besar dalam menerima diri sendiri. Efek penolakan pada fase oral adalah kecenderungan dimasa kanak-kanak selanjutnya untuk menjadi penakut, tidak aman, haus akan perhatian, iri, agresif, benci, dan kesepian.
2.3 Usia satu sampai tiga tahun: fase anal
Fase oral metuntut untuk mengalami rasa bergantung yang sehat, menaruh kepercayaan pada dunia, dan menerima cinta, sedangkan fase anal menandai langkah lain dalam perkembangan kepribadian. Tugas-tugas yang harus diselesaikan selama fase ini adalah belajar mandiri, memiliki kekuatan pribadi dan otonomi, serta belajar bagaimana mengakui dan menangani perasaan-perasaan tang negatif. Selama fase anal, anak dipastikan akan mengalami perasaan-perasaan negatif seperti benci, hasratmerusak, marah, dan sebagainya, penting bagi anda untuk belajar bahwa perasaan-perasaan yang negatif itu bisa diterima adanya, hal yang juga penting pada fase ini adalah, anak memperoleh rasa memiliki kekuatan, kemandirian, dan otonomi. Pada fase anal ini anak perlu bereksperimen, berbuat salah, dan merasa bahwa mereka tetep diterima untuk kesalahannya itu, dan menyadari diri sebagai individu yang terpisah dan mandiri.
2.4 Usia tiga sampai lima tahun: fase falik
Kita telah melihat bahwa diantara usia satu dan tiga tahun seorang anak menyingkirkan cara-cara yang infantil, dan secara aktif maju mendaki dunia yang lain. Ini fase ketika kesanggupan-kesanggupan untuk berjalan, berbicara, berpikir, dan mengendalikan otot-otot berkembang pesat. Masturbasi yang disertai oleh fantasi-fantasi seksual adalah hal yang normal pada masa kanak-kanak awal. Pada fase falik, masturbasi itu meningkatkan frekuensinya. Eksperimentasi masa kanak-kanak adalah hal yang umum, dan karena banyak sikap terhadap seksualitas yang bersumber pada fase falik, maka penerimaan terhadap seksualitas dan penanganan dorongan seksualitas pada fase ini menjadi penting. Fase falik adalah periode perkembangan hati nurani, suatu masa ketika anak-anak belajar mengenal standar-standar moral. Selama fase falik anak perlu belajar menerima persaan-perasaan seksualitas seksualnya sebagai hal yang alamiah dan belajar memandang tubuhnya sendiri secara sehat. Fase falik ini anak membentuk sikap-sikap mengenai kesenangan fisik, mengenai apa yang “ benar “ dan “ salah” serta mengenai apa yang “ maskulin “ dan yang “ feminim”. Fase falik memiliki implikasi-implikasi yang berarti bagi konselor yang sedang menangani orang-orang dewasa. Banyak konseli yang tidak pernah sepenuhnya mampu memahami perasaan-perasaan tentang seksualitasnya sendiri. Mereka memiliki perasaan-perasaan yang sangat membingungkan sehubungan dengan indenfikasi peran seksual, dan mereka berada dalam pergulatan untuk menerima perasaan-perasan dan tingkah laku seksualnya sendiri. Denagn demikian, mereka juga akan menyadari bahwa, meskipun sikap-sikap dan tingkah laku mereka yang sekarang dibentuk oleh masa lampau, mereka tidak ditakdirkan untuk terus menjadi korban masa lampau.
3. Proses konselingutik
3.1 Tujuan-tujuan konselingutik
Tujuan konseling psikoanalitik adalah membentuk kembali struktur karakter individual dengan jalan membuat kesadaran yang tidak disadari didalam diri konseli. Proses konselingutik difokuskan pada upaya mengalami kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak. Pengalaman-pengalaman masa lampau direkonstruksi, dibahas, dianalisis, ditafsirkan, dengan sasaran merekonstruksi kpribadian. Konseling psikonalitik menekankan dimensi afektif dari upaya menjadikan ketidaksadaran diketahui. Pemahaman dan pengertian intelektual memiliki arti penting, tetapi perasaan-perasaan dan ingatan-ingatan yangberkaitan dengan pemahaman diri lebih penting lagi.
3.2 Fungsi dan Peran Konselor
Karakteristik psikoanalisis adalah, konselor atau analis membiarkan dirinya anonim serta hanya berbagi sedikit perasaan dan pengalaman sehingga konseli memproyeksikan dirinya kepada analis. Proyeksi-proyeksi konseli, yang menjadi bahan konseling, ditafsirkan dan dianalisis. Analis terlebih dahulu harus membangunkan hubungan kerja dengan konseli, kemudian perlu banyak mendengar dan menafsirkan. Analis memberikan perhatian khusus pada penolakan-penolakan konseli. Sementara yang dilakukan oleh konseli sebagian besar adalah berbicara, yang dilakukan oleh analis adalah mendengarkan dan berusaha untuk mengetahui kapan dia harus membuat penafsiran-penafsiran yang layak untuk mempercepat proses penyingkapan hal-hal yang tidak disadari. Analis mendengarkan kesenjangan-kesenjangan dan pertentangan-pertentangan pada cerita konseli, mengartikan mimpi-mimpi dan asosiasi bebas yang dilaporkan oleh konseli mengamati konseli secara cermat selama pertemuan konseling berlangsung, dan peka terhadap isyarat-isyarat yang menyangkut perasaan-perasaan konseli pada analis. Fungsi utama analis adalah mengajarkan arti proses-proses pada konseli sehingga konseli mampu memperoleh pemahaman terhadap masalah-masalahnya sendiri, mengalami peningkatan kesadaran atas cara-cara untuk berubah dan dengan demikian, memperoleh kendali yang lebih rasional atas kehidupannya sendiri.
3.3 Pengalaman Konseli dalam Konselor
Konseli harus bersedia melibatkan diri dalam proses konseling dan berjaka panjang. Biasanya konseli mendatangi konseling beberapa kali seminggu dalam masa tiga sampai 5 tahun. Pertemuan konseling biasaya berlangsung 1 jam. Setelah beberapa kali pertemuan tatap muka dengan analis, konseli kemudian diminta berbaring melakukan asosiasi bebas, yakni mengatakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Konseli mencapai kesepakatan dengan analis mengenai pembayaran biaya konseling, mendatangi pertemuan konseling pada waktu tertentu, dan bersedia terlibat dalam proses intensif. Konseli sepakat untuk berbicara karena produksi-produksi verbal konseli merupakan konseling psikoanalitik. Selama konseling konseli bergerak melalui tahap-tahap tertentu: mengembangkan hubungan dengan analis., mengalami krisis treatment, memperoleh pemahaman atas masa lampaunya yang tak disadari, mengembangkan resistansi-resistansi untuk belajar lebih banyak tentang diri sendiri, mengembangkan suatu hubungan transferensi dengan analis, memperdalam konseling, menangani resistansi-resistansi dan masalah yang tersingkap, dan mengakhiri konseling.
3.4 Hubungan antara konselor dan konseli
Hubungan konseli dengan analis dikonseptualkan dalam proses transferensi yang menjadi inti pendekatan psikoanalitik. Transferensi mendorong konseli untuk mengalamatkan pada analis “urusan yang tak selesai” yang terdapat hubungan konseli di masa lampau dengan orang yang berpengaruh. Transferensi terjadi pada saat konseli membangkitkan kembali konflik-konflik masa dirinya yang menyangkut cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan, dan dendamnya membawa konflik-konflik itu kesaat sekarang, mengalami kembali, dan menyangkutkannya pada analis. Konseli kemungkinan memandang analis sebagai figur kekuasaan yang menghukum, menuntut, dan mengendalikan. Jika konseling yang diinginkan memiliki pengaruh menyembuhkan, maka hubungan transferensi harus digarap. Proses penggarapannya melibatkan eksplorasi oleh konseli atas kesejajaran-kesejararan antara pengalaman masa lampau dan pengalaman masa kini. Jika analis mengembangkan pandangan-pandangan yang tidak selaras yang berasal dari konflik-konfliknya sendiri maka akan terjadi kontratransferensi. Kontratransferensi ini bisa terdiri dari perasaan tidak suka atau keterikatan dan keterlibatan yang berlebihan. Analisis harus menyadariperasaan-perasaannya terhadap konseli dan mencegah pengaruh-pengaruhnya yang merusak. Analis diharapkan agar relative objektif dalam menerima kemarahan, cinta, rujukan, kritik, dan perasaan-perasaan lainnya yang kuat dari konseli. Sebagian besar program latihan psikoanalitk mewajibkan calon analis untuk menjalani analisis yang intensif sebagai konseli. Analis dianggap telah berkembang mencapai taraf dimana konflik-konflik utamanya sendiri terselesaikan,dan karenanya dia mampu memisahkan kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalahnya sendiri dari situasi konseling. Sebagai hasil hubungan terapeutik, khususnya penggarapan situasi transferensi, konseli memperoleh pemahaman terhadap psikodinamika-psikodinamika tak sadarnya. Kesadaran dan pemahaman atas bahan yang direfresi merupakan landasan bagi proses pertumbuhan analitik. Konseli mampu memahami asosiasi antara pengalaman-pengalaman masa lampaunya dengan kehidupan sekarang. Pendekatan psikoanalitik berasumsi bahwa kesadaran diri ini bisa secara otomatis mangarah pada perubahan kondisi konseli.
4. Teknik-teknik terapeutik
4.1 Asosiasi bebas
Teknik pokok dalam terapai psikoanalisa adalah asosiasi bebas. Konselor memerintahkan konseli untuk menjernihkan pikiranya dari pemikiran sehari-hari dan sebanyak mungkin untuk mengatakan apa yang muncul dalam kesadaranya. Yang pokok, adalah konseli mengemukakan segala sesuatu melalui perasaan atau pemikiran dengan melaporkan secepatnya tanpa sensor. Asosiasi bebas adalah suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasn emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi-situasi traumatic dimasa lampau yang dikenal dengan sebutan kataris. Kataris hanya menghasilkan peredaan sementara atas pengalaman-pengalaman menyakitkan yang dialami konseli, tidak memainkan peran utama dalam proses treatment psikoanalitik kontemporer: kataris mendorong konseli untuk menyalurkan sejumlah perasaannya yang terpendam, dan karenanya meratakan jalan bagi pencapaian pemahaman. Guna membantu konseli dalam memperoleh pemahaman dan evaluasi diri yang lebih obyektif, analis menafsirkan makna-makna utama dari asosiasi bebas ini. Selama proses asosiasi bebas berlangsung, tugas analis adalah mengenali bahan yang direpres dan dikurung di dalam ketaksadaran.
4.2 Penafsiran
Penafsiran adalah suatu prosedur dasar dalam menganalisis asosiasi-asosiasi bebas, mimpi-mimpi, resistensi-resistensi, dan transferensi-transferensi. Prosedurnya terdiri atas tindakan-tindakan analis yang menyatakan, menerangkan, bahkan mengajari konseli makna-makna tingkah laku yang dimanifestasikan oleh mimpi-mimpi, asosiasi bebas, resistensi-resistensi, dan oleh hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi penafsiran-penafsiran adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru dan mempercepat proses penyingkapan bahan tak sadar lebih lanjut. Penafsiran-penafsiran analis menyebabkan pemahaman dan tidak terhalanginya bahan tak sadar pada pihak konseli. Penafsiran-penafsiran harus tepat waktu, sebab konseli akan menolak penafsiran-penafsiran yang diberikan pada saat yang tidak tepat. Sebuah aturan umum adalah bahwa penafsiran harus disajikan pada saat gejala yang hendak ditafsirkan itu dekat dengan kesadaran konseli. Aturan umum yang lainnya adalah bahwa penafsiran harus berawal dari permukaan serta menembus hanya sedalam konseli mampu menjangkaunya sementara dia mengalami situasi itu secara emosional. Aturan umum yang ketiga adalah bahwa resistensi atau pertahanan paling baik ditunjukan sebelum dilakukan penafsiran atas emosi atau konflik yang ada di baliknya.
4.3 Analis mimpi
Analisis mimpi adalah sebuah prosedur yang penting untuk menyikap bahan yang tak disadari dan memberikan kepada konseli pemahaman atas beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Freud memandang mimpi-mimpi sebagai “jalan istimewa menuju ketaksadaran”, sebab melalui mimpi-mimpi itu hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan-ketakutan yang tak disadari. Mimpi-mimpi memiliki dua taraf isi: isi laten dan isi manifest. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tak disadari. Karena begitu menyakitkan dan mengancam, dorongan-dorongan seksual dan agresif tak sadar yang merupakan isi laten ditransformasikan kedalam isi manifest yang lebih dapat diterima, yakni impian sebagaimana yang tampil pada si pemimpi. Proses transformasi isi laten mimpi kedalam isi manifest yang kurang mengancam itu disebut kerja mimpi. Selama jam analitik, analis bisa meminta konseli untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifest impian guna menyingkap makna-makna yang terselubung.
4.4 Analis dan Penafsiran Resistensi
Resistensi, sebuah konsep yang fundamental dalam praktek konseling psikoanalitik, adalah sesuatu yang melawan kelangsungan konseling dan mencegah konseli mengemukakan bahan yang tak disadari. Freud memandang resistensi sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh konseli sebagai pertahanan terhadap kecemasaan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkatkan jika konseli menjadi sadar atas dorongan-dorongan dan perasaan-perasaannya yang direpresi itu. Resistensi ditujukan untuk mencegah bahan yang mengancam memasuki ke kesadaran, analis harus menunjukkannya dengan konseli harus menghadapinya jika dia mengharapkan bisa menangani komplik-komplik secara realitis. Penafsiran analis atas resistensi ditujukan untuk membantu konseli agar menyadari alasan-alasan yang ada dibalik resistensi sehingga dia bisa menanganinya. Resistensi-resistensi bukanlah hanya sesuatu yang harus diatasi. Karena merupakan perwujutan dari pendekatan-pendekatan defensif konseli yang biasa dalam kehidupan sehari-harinya, resistensi-resistensi harus dilihat sebagai alat bertahan terhadap kecemasan, tetapi menghambat kemampuan konseli untuk mengalami kehidupan yang lebih memuaskan.
4.5 Analisis dan penafsiran transferensi
Sama halnya dengan resistensi, transferensi merupakan inti dari konseling psikoanalitik. Analisis transferensi adalah teknik yang utama dalam psikoanalisis, sebab mendorong konseli untuk menghidupkan kembali masa lampau dalam konseling. Ia memungkinkan konseli mampu memperoleh pemahaman atas sifat dari fiksasi-fiksasi dan deprivasi-deprivasinya, dan menyajikan pemahaman tentang pengaruh masa lampau terhadap kehidupannya sekarang. Penafsiran hubungan transferensi juga memungkinkan konseli mampu menembus konflik-konflik masa lampau yang tetapdipertahankannya hingga sekarang dan yang menghambat pertumbuhan emosionalnya. Singkatnya, efek-efek psikopatologis dari hubungan masa dini yang tidak diinginkan, dihambat oleh penggarapan atas konflik emosional yang sama yang terhadap dalam hubungan konselingutik dengan analis.